Lompat Kelas

heriwidianto
Chapter #17

Tujuh Belas

Sore hari. Rumah sepi. Hanya ada Moko sedang memandikan sepeda motor yang dibelikan Sriatun secara tunai dengan rendaman bunga di pekarangan rumahnya. Siang selepas bertelepon dengan ibunya dan menceritakan singkat tentang sepeda motor yang baru dibelinya, sang ibu menyuruh Moko memandikannya dengan rendaman kembang supaya aman dan berkah. Awalnya, Moko menolak karena tidak percaya hal klenik seperti itu. Apalagi, itu benda mati dan Moko harus melaksanakan kegiatan tersebut saat tengah malam. Namun karena cerita menyeramkan yang menyertai omelan panjang ibunya, otomatis, dia akan melaksanakannya daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Setelah bernegosiasi akan melakukan pemandian sepeda motor di sore hari karena harus membeli bunganya dan mendapatkan dengkusan kasar dari sang ibu, dan terjadi perdebatan sampai akhirnya Moko baru mau melakukannya setelah ibunya membalas dengan “terserah”.

Tepat saat Moko mengeringkan sepeda motor menggunakan kanebo, Bandi melongok dari pagar samping rumahnya. Tatapan mereka tepat beradu. Sudut bibir Moko melengkung naik sementara Bandi menghela napas panjang, curiga kerepotan apa lagi yang akan menantinya.

“Sini sebentar, Ndi! Aku butuh bantuanmu.” Moko berlari cepat ke dalam rumah untuk mengambil ponsel pintarnya. Saat kembali ke pekarangan, Bandi sudah tiba di sana, mengamati plat nomor polisi sementara dan beberapa bunga kenanga dan melati yang jatuh di tanah becek.

“Mas percaya sama beginian?” Bandi bertanya sembari menunjuk temuannya itu.

“Percaya nggak percaya.”

Dengan kedikkan alisnya ke sepeda motor baru, Bandi seolah menuntut jawaban lebih terang benderang.

“Kata Ibuku, ada beberapa hal berkaitan sama mitos atau kepercayaan, yang jelek-jelek sebaiknya jangan dicoba-coba. Nanti, kalau sial, kita juga yang bakalan kena balanya.”

“Misalnya?” kejar Bandi.

“Ah, sudahlah. Nggak penting. Aku cuma menjalankan apa yang Ibuku minta. Titik.” Moko kemudian mengarahkan tatapannya pada layar ponsel yang dibawanya sebagai tanda dia tidak mau memperpanjang penjelasan.

Belum sempat Moko bertanya soal apa pun, Bandi sudah lebih dulu berkata, “Kalau mau daftar ojek daring, harus punya uang deposit, Mas,” terangnya sebelum diminta.

Moko mendongak, kemudian menyipit. “Uang apalagi, Ndi? Itu jasa buat kamu bantu aku daftar aplikasinya atau untuk bayar ke Pak Kaji?” wajahnya mendadak kesal. “Kok kamu nggak ngejelasin dari awal? Kalau begini kan, kesannya kamu nyari kesempatan dalam kesempitan.”

Bandi melongo sebentar, lalu menggeleng tidak percaya. “Bukan uang buat jasaku apalagi buat Pak Kaji. Memang begitu aturan dari sononya, Mas, dari pemilik aplikasi ojek daringnya. Aku nggak ngejelasin karena Mas Moko nggak tanya. Dan, nggak ada, ya, tuduhan kesempatan dalam kesempitan itu-”

Sebelum Moko membuka mulutnya kembali untuk melanjutkan protes, Bandi sudah lebih dulu meraih ponsel pintar tetangganya itu dan memotong sendiri niatannya untuk menjelaskan perkara sebelumnya.

Tidak butuh waktu lama, dengan telaten Bandi membuka aplikasi ojek daring, mengunduh dan berniat mendaftarkan Moko langsung menjadi mitra. Untung saja sekarang pendaftaran bisa dilakukan lewat aplikasi dari ponsel pintar langsung dan tidak perlu ke kantor ojek daringnya. Sementara Bandi sibuk, Moko hanya mengamati dari tempatnya duduk, tanpa berkomentar apa-apa karena takut Bandi tidak mau membantu. Namun ketika membaca persyaratan yang harus dipenuhi, ada segurat kekecewaan menyembul dari raut Moko ketika Bandi bertanya mengenai STNK dan rekening bank. Dua syarat itu belum dimilikinya.

Sembari mengembalikan ponsel, keduanya lalu tafakur. Moko memandang jauh ke depan, lalu mengembuskan napasnya dalam-dalam. Bandi tidak tahu harus bereaksi seperti apa selain diam. Sepertinya Moko tidak perlu penghiburan.

Sekelebat, ide menguntungkan pun muncul dalam benak Bandi. Dia menepak pelan lengan Moko sebelum kembali bicara, “Aku ada ide, Mas!”

Karena terkejut, Moko sempat ingin membalas perlakuan Bandi, tetapi diurungkannya setelah mendengar kata ada ide. “Apa?” tanyanya, dengan nada sengak.

“Mas beneran pengin ngojek, kan?” Bandi memastikan sekali lagi.

Moko mengangguk.

“Jadi, aku kan sudah punya akun, nih. Seumpama Mas Moko masih berminat, boleh pinjam akunku dulu kalau memang seniat itu pengin narik ojek daring, tapi-”

“Ada syarat lain lagi nggak dari kamu?” Moko memotong percakapan cepat dan memancing senyum lebar Bandi.

“Pinter banget jadi orang, padahal cuma lulusan SMP.”

“Setan!”

Lihat selengkapnya