Lompat Kelas

heriwidianto
Chapter #19

Sembilan Belas

Azan Subuh terlewat karena ucapan “lima menit lagi bangun”.

Begitu cahaya matahari melewati celah ventilasi dan sinarnya menyilaukan, Sriatun terbangun dengan tivi menyala. Setelah sempat kebingungan mencari remot tivi di balik punggung dan mematikannya, dia melompat dari kursi panjang ruang keluarga. Menilik urgensinya, tujuan pertama Sriatun adalah kamar Miranda lalu Moko.

Suara Sriatun lantang, menggelegar. Rumah langsung terasa keributannya. Semua orang bergerak lintang pukang. Beberapa kali Moko terantuk kaki meja dan berjalan terpincang-pincang sambil meringis menahan sakit. Sedangkan dua perempuan di rumah itu sibuk berebut masuk toilet duluan.

Sembari sibuk dengan persiapan masing-masing-Sriatun akan pergi ke pasar, Miranda sekolah, dan Moko pertama kali akan mengojek daring-penghuni rumah saling menyalahkan satu sama lain, terutama karena hierarki tugas membangunkan orang rumah adalah Sriatun, Miranda, dan terakhir Moko.

Karena tidak ingin merusak mood, Sriatun menulikan telinga dan sibuk membuat sarapan. Telur mata sapi adalah pahlawannya. Begitu sarapan terhidang di meja makan, mereka telah siap dengan kostum masing-masing-Sriatun dengan baju baru, Miranda berseragam, dan Moko sudah mengenakan jaket pinjaman Bandi. Ketiga orang itu segera menikmati sarapan dalam hening. Hanya Miranda yang makan sambil menatap gawainya.

Suara pintu diketuk, terdengar. Kegiataan sarapan terhenti sementara. Mereka kompak menoleh ke arah pintu depan yang membuka. Lalu, menyambung suara Bandi setelahnya.

“Mas Moko!”

Kunyahan Moko lantas mirip macan kelaparan, padahal telur dan nasi di piringnya masih dalam keadaan panas.

“Tunggu sebentar, Ndi. Duduk dulu di teras. Aku masih sarapan!” balas Moko dari tempatnya duduk dan mendapatkan pelototan anggota keluarganya yang lain karena berisik.

“Tumben Bandi ke sini pagi-pagi?” Sriatun bertanya di sela-sela kegiatannya mengunyah.

“Iya, aku mau antar Bandi ke kantornya,” terang Moko singkat, mencoba mengunyah secepat mungkin karena pantang baginya tidak menghabiskan sarapan. Selain belum memiliki uang, bisa-bisa Sriatun mengutuknya jadi batu.

“Buat apa?”

“Nanti aku pakai sepeda motornya buat ngojek. Sementara ini aku jadi tukang antar jemput Bandi ke kantornya,” balas Moko.

Sriatun mengernyit, lalu menunjuk sepeda motor yang terparkir di ruang tamu menggunakan kedikan dagu. “Terus, sepeda motor barunya buat apa?”

Moko menyelesaikan satu kunyahan penuh terlebih dulu sebelum berdiri dan menarik ritsleting jaket sampai hampir menyentuh leher sebelum menjawab, “Oh, aku lupa jelasin semalam. Jadi, sepeda motor barunya belum bisa dipakai mendaftar ojek daring karena belum ada STNK asli dan aku belum punya uang untuk buka rekening tabungan. Karena dua persyaratan itu belum terpenuhi, Bandi nawarin minjemin akun yang sudah didaftarkannya plus sepeda motor.”

“Oh,” Sriatun berkomentar singkat, sebenarnya tidak terlalu paham dengan penjelasan suaminya karena dahinya sedikit mengerut, tetapi malas bertanya lebih jauh.

Karena perhatian Sriatun masih tertuju padanya, Moko menembak langsung pemenuhan persyaratan ojek daring yang sempat membuatnya pusing. “Soal buka rekening, kira-kira aku harus pakai uangmu atau nunggu uang hasil ojekku nanti terkumpul?”

“Berapa rupiah?”

“Lima ratus ribu.”

“Pakai uangku saja.” Sriatun kemudian mengarahkan pandang ke Miranda yang sejak tadi tidak ikut mengobrol. “Mir, kalau makan jangan sambil hp-an. Itu kan aturan di rumah ini. Lupa?” ucapnya.

Miranda gelagapan dan hampir tersedak karena terkejut, sembari menjejalkan ponsel pintarnya langsung ke dalam tas. Selain lupa, Miranda tidak mengira emak dan bapaknya tidak menyadarinya sejak tadi makan sambil melihat gawainya. Dia melanjutkan mengunyah sambil menggerutu dalam hati.

“Mira, kartu ATM Emak mana?” sambung Sriatun.

Kali ini, Miranda benar-benar tersedak setelah mendengar perkataan emaknya. Bola matanya melebar dan untungnya makanan di mulutnya sudah tertelan. Kalau tidak, sudah menyembur dan mengotori meja makan. “Kartu ATM-nya masih ada kok, Mak,” balasnya setelah menenggak air putih dan tenggorokannya lega. “Di dompetku. Di tas,” lanjutnya, mencoba bicara senormal mungkin karena belum tahu akan dibawa ke mana persoalan kartu ATM ini.

“Nanti kamu mampir ke ATM, ya. Ambilin bapakmu uang lima ratus ribu-”

“Uangnya nggak dilebihin, Sri? Buat beli rokok, gitu?” Moko menyela omongan istrinya sambil lekas memasang tampang memprihatinkan supaya permintaannya dituruti.

“Nggak ada ya, uang rokok!”

Lihat selengkapnya