Lompat Kelas

heriwidianto
Chapter #20

Dua Puluh

Hari ini, Miranda langsung menuju meja Wine dengan napas ngos-ngosan. Tidak ingin menabuh genderang perang, sebab Enggar akan me-reog kalau sampai bangkunya dikuasai lagi. Kemarin, dia sudah mengultimatum tidak akan mau disuruh pergi dari kursinya jika bukan atas kemauannya sendiri.

Selama perjalanan menggunakan angkot, Miranda seperti dikejar setan. Wine mengirimkan banyak pesan supaya dia segera datang dan Miranda panik usai turun dari angkot menuju gerbang sekolah dengan berlari. Beberapa kali dia harus bilang permisi ketika menembus gerombolan yang sedang berjalan santai. Bahkan, Miranda sampai harus menyeimbangkan tubuh ketika tali sepatu lepas dan hampir menjegal langkahnya sendiri.

“Akhirnya, datang juga pahlawanku!” Wine berseru lalu melebarkan kedua tangan menyambut Miranda, kemudian melirik ke arah Yola. Tanpa diminta, teman sebangkunya itu langsung beranjak. “Duduk, Mir!”

Sasa dan Katia yang duduk di bangku depan Wine, ikut menyapa sekadarnya.

“Kalian sudah kerjain PR?” tanya Miranda.

“Sudah,” balas Sasa dan Katia pendek, serempak, sebelum berbalik badan dan melanjutkan obrolan dengan suara rendah.

Kenapa Wine nggak pinjam PR mereka aja? Miranda membatin, bingung.

Setelah duduk dan mengeluarkan pekerjaan rumah dari dalam tas untuk Wine, Miranda melirik ke arah Enggar dan Yola. Sama seperti kemarin, mereka tidak saling mengobrol. Keduanya sibuk dengan gawai masing-masing sebelum mengamankannya karena aturan tidak boleh bermain ponsel saat pelajaran berlangsung.

Miranda masih menoleh ketika tatapannya bersirobok dengan Enggar. Enggar menyipit dan Miranda langsung mengembalikan pandangan ke depan dengan detak jantung meningkat, membayangkan kelak Enggar akan mencekik atau menghantamnya dengan tangan kosong.

“Yola nggak masalah aku duduk di sini?” tanya Miranda sambil menyeka keringat di dahi menggunakan punggung tangan.

Tanpa memandang penanya, Wine membalas, “Anak itu komplain ke kamu?”

“Nggak, sih. Aku sungkan aja.”

“Oh, berarti nggak apa-apa kamu duduk di sini.”

“Kalian… masih musuhan?” tanya Miranda ragu-ragu.

Sesaat setelah Wine meneleng dan menatap tajam, Miranda hanya sanggup meneguk ludahnya. Dia sadar telah salah bertanya. Untungnya, Wine segera mengembalikan pandangan ke pekerjaan rumah yang disalinnya. Kalau tidak, canggung.

Beberapa menit menyalin dan Miranda sibuk menggulir layar gawainya, Wine selesai. Wine lalu bicara, “Aku sengaja nggak ngajak ngobrol Yola soalnya sudah malas lihat mukanya. Sebisa mungkin aku nggak berinteraksi. Aku juga minta bantuan Sasa dan Katia supaya nggak mengajaknya mengobrol. Biar dia tahu kesalahannya dan nggak betah di sini. Minimal, pindah bangku atau maksimal pindah sekolah. Aku juga nggak paham kalau anak itu ternyata bebal, masih mau sebangku denganku.”

Ketika Wine menjelas duduk perkara versinya, Sasa dan Katia menghadap ke belakang dan mengangguk kecil.

Rasa ketidaknyamanan sebelumnya mendapatkan sedikit jawaban. Setelah mendengar penjelasan Wine, Miranda merasa tidak boleh macam-macam dengan siswi cantik itu jika ingin berteman dengannya selama mungkin. Miranda mencatatnya dalam benak supaya tidak salah melangkah.

Bel masuk terdengar.

Suara obrolan, tawa, dan seruan teman-teman sekelasnya menipis kemudian menghilang.

Itu artinya, Miranda harus kembali ke kursinya sendiri.

Di tengah perjalanan pertukaran kursi itu, Miranda merasa Yola tampak cuek. Bahkan, tidak meliriknya ketika berselisih jalan.

Kuat banget mentalnya, Miranda membatin seraya mengempaskan pantatnya di kursi.

Lihat selengkapnya