Lompat Kelas

heriwidianto
Chapter #21

Dua Puluh Satu

Di sepanjang jalan mengantar Bandi sampai ke kantornya di daerah Manukan, Moko mendengar banyak petuah darinya. Mulai dari sebisa mungkin tidak mengajak mengobrol penumpang ojeknya jika tidak diajak bicara duluan. Meminimalisir kontak fisik apalagi kontak mata, bahkan kalau bisa mengucapkan terima kasih dengan menangkupkan kedua tangan di depan dada, bukan bersalaman. Dilarang menolak apalagi pilih-pilih orderan, bahkan tidak boleh komplain apalagi berlaku merendahkan ketika mendapatkan pengguna ojek yang tidak sesuai ekspektasi. Dan yang terakhir, hati-hati di jalan karena sepeda motor itu bukan miliknya sendiri.

Selesai mengantar, Moko pamit melanjutkan perjalanan menuju tempat Pak Kaji.

Setelah melewati jalanan ramai lancar dengan panas matahari menyengat, Moko tiba juga di paguyuban. Sebentar beramah tamah setelah mencium punggung tangannya, Pak Kaji dengan perhatian mengiringi Moko menggunakan sepeda motornya sendiri menuju tempat tongkrongan menunggu orderan.

Tidak jauh dari paguyuban, mereka sampai juga di satu lincak di tepi jalan di dekat terminal. Di sana, bercokol beberapa orang tukang ojek daring sedang menatap gawai masing-masing. Sapaan Pak Kaji membuat semua orang mendongak. Mereka lalu berdiri, bergantian mengecup punggung tangan Pak Kaji dengan hormat. Setelah ditanya keperluannya apa datang ke tongkrongan, Pak Kaji langsung menjelaskan ada anggota baru dan mendorong pelan punggung Moko supaya maju selangkah. Moko memperkenalkan diri secara singkat. Dia lalu duduk di ujung lincak selepas Pak Kaji pamit. Ketika melirik, Rais, orang yang duduk di sebelah Moko, menoleh.

“Kuliah di mana, Mas?” Rais bertanya duluan, sampai Moko terkejut dibuatnya.

“Oh, kebetulan saya nggak kuliah, Mas.”

Rais mengangguk-angguk. “SMA mana? Atau, SMK?” Dia kembali bertanya, sekadar memanjangkan obrolan.

“Kebetulan saya cuma lulusan SMP.”

“Oh….”

Moko mengernyit, mencoba memahami reaksi lawan bicaranya yang berkumis tipis itu, yang sesekali gemar menyisir rambut halusnya menggunakan jari dan menatap dengan bola mata jernih. Saat berniat menanyakan reaksi "Oh" tersebut, aplikasi ojek daring milik Moko menyala.

Rais menoleh, berkata sambil tersenyum. “Rezekimu, Mas. Ambil!”

Mengingat cara yang diajarkan Bandi ketika memperoleh notifikasi, Moko mengangguk dan mengambil orderan tersebut. Hatinya bungah mendapatkan pelanggan pertama. Setelah menerima pesan berisi lokasi dan ciri pemesan ojek daringnya, lekas dia memacu sepeda motornya. Tak lupa, Moko menaruh ponselnya di penahan gawai setelah memperhatikan peta penunjuk lokasi.

“Atas nama Mbak Aisyah?” tanya Moko begitu melihat seorang perempuan berdiri di pinggir jalan dengan ciri sama persis yang diterima melalui pesan.

Perempuan itu mengangguk. Senyumnya mengembang, tampak lega.

Moko ikut-ikutan menghela napas lega. “Terima kasih sudah order ojek saya, Mbak. Eh, Kak.”

Dahi Aisyah mengerut.

Menyadari kesalahannya, Moko menyesal telah larut dalam gembira sampai melupakan petuah Bandi untuk tidak bicara duluan. Atau, Mbak Aisyah ini semacam orang yang tidak mau dipanggil Mbak karena merasa seperti asisten rumah tangga ketika mendengarnya? “Maaf, saya nggak bermaksud menyinggung-”

“Tenang, Mas. Saya tadi cuma agak kaget, baru kali ini dapat tukang ojek ramah kayak Mas.…” Aisyah melirik sebentar ke ponselnya untuk membaca nama tukang ojek yang menjemputnya. “Mas Bandi?”

Kedua sudut bibir Moko perlahan naik. “Iya, Mbak Aisyah. Salam kenal.”

Setelah menerima uluran helm dan membonceng Moko, perempuan itu tidak mengajaknya mengobrol sampai lampu lalu lintas menyala merah dan sepeda motor berhenti. Aisyah baru bertanya, “Sudah lama ngojeknya, Mas?”

“Baru hari ini saya narik dan Mbak adalah orang pertama yang nyantol di aplikasi saya.”

Lihat selengkapnya