Pagi hari yang cerah. Matahari bersinar hangat sementara angin bertiup lembut, menerbangkan ujung kerudung mahal Sriatun. Dia sedang mengurusi pekarangannya yang kini menghijau karena sering dirawat dan disiram. Cita-citanya memiliki taman hijau kecil di pojok rumah sebentar lagi tercapai.
Dua minggu Sriatun tidak ke pasar untuk membuka kios dan berjualan. Dia hanya datang sekali ke kantor manajemen pasar untuk membayar pembelian kios setelah meminta Miranda mentrasfer sejumlah uang, menyelesaikan tanda tangan beberapa berkas, lalu menyapa sebentar Durikah dan Kartik dan mendapatkan gosip, serta mengorek keadaan Mianah yang mulai sibuk mempersiapkan pernikahan putrinya. Kata teman-temannya, hanya dua kali Mianah berkunjung ke pasar dan menanyakan kenapa kios Sriatun tutup. Mianah menceletuk, apakah uang warisan sudah habis dan nggak bisa bayar sewa kios? Telinga Sriatun sempat memerah mendengarnya dan ingin membawa surat-surat resmi kepemilikan kios lalu menghamburkannya di depan wajah Mianah. Namun, Sriatun masih waras untuk tidak melakukannya.
Ternyata, hidup nyaman yang didambakannya selama ini sumbernya adalah uang.
Sekarang, Sriatun merasa tidak perlu lagi khawatir menghadapi hidup setiap kali mengingat tabungannya sudah cukup untuk membantu pendidikan Miranda sampai ke bangku kuliah, suaminya juga sudah bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dengan menarik ojek dan berbisnis kecil-kecial bersama Santoso, sedangkan bulan depan dia akan mulai berkonsentrasi lagi berdagang karena uang akan tetap habis jika tidak diputar atau dicari.
Sembari meluruskan punggung setelah duduk di dingklik cukup lama untuk membabat habis rumput, Sriatun kembali masuk ke rumah.
Meja untuk tatakan tivi sudah diganti. Cat rumah sudah diremajakan. Beberapa perabot diganti, baik memang sudah waktunya diganti atau karena bosan saja. Moko juga sudah menggunakan sepeda motornya sendiri untuk mengojek, tetapi tiga hari ini dia libur karena ingin berkonsentrasi dengan bisnis barunya. Sriatun sempat ragu ketika meminjamkan sejumlah uang untuk modal suaminya, tetapi karena dalam tiga hari uang tersebut telah kembali, ada perasaan lega membubung tinggi melihat keseriusan suaminya dalam mengais rezeki. Makanya, dia tidak ragu meminjamkan kembali modal sebanyak dua kali lipat karena Moko berjanji akan mengembalikannya seminggu kemudian. Benar saja, kemarin lusa, uang modal tersebut kembali. Bahkan, Moko melebihinya untuk Sriatun membeli baju baru, kerudung baru, kalung emas, atau cincin permata, terserah.
Sedangkan Miranda akhir-akhir ini sibuk belajar kelompok karena katanya materi untuk kelas tiga kebanyakan presentasi di depan kelas secara kelompok menggunakan makalah. Makanya, dia sering pulang malam. Bahkan, Miranda pernah pulang pukul setengah sebelas malam. Meskipun Sriatun merasa ada yang aneh karena mata panda putrinya tampak mengganggu, dia mencoba untuk tidak terlalu ambil pusing. Sebab, sekali waktu, Sriatun memeriksa keadaan putrinya di kamar. Miranda sedang ketiduran di meja belajar dengan tugas sekolah terhampar. Seraya menutup kembali pintu kamar putrinya, Sriatun tahu betapa keras usaha putrinya untuk lulus sekolah dengan nilai terbaik dan masuk universitas negeri impiannya.
Di tengah-tengah rasa bersyukur atas segala karunia yang diberikan, Sriatun berdoa semoga cobaan kemiskinannya usai dan sekarang adalah cobaan hidupnya di kala mampu. Dari dulu, kalau boleh memilih, sebenarnya Sriatun ingin diuji dengan kekayaan saja. Dia selalu terkekeh setiap kali mengingat bayangan dirinya yang kaya raya. Duji diujo, begitu kata pepatah.
“Sriatun istriku yang paling cantik sedunia!” panggil Moko dengan langkah tergopoh-gopoh, sampai panci yang Sriatun pegangi meluncur dari tangan dan pipinya bersemu merah mendengar pujian suaminya.
Dari posisinya berdiri di dapur sekarang, Sriatun membalas singkat, “Ada apa, Mas?” dengan suara lembut dan membuat Moko terperangah sebentar sebab berekspektasi akan mendapatkan auman dan amukan.
Moko lekas terdiam, memandangi istrinya yang masih menatapnya kembali dengan kerjap hangat. Apakah podcast Nikitha Wili yang elegan dan kerap ditontonnya akhir-akhir meresap sampai ke otaknya dan mengurangi hobi marah-marahnya? pikirnya, menerka-nerka.
“Ditanya kok malah melamun,” imbuh Sriatun karena tidak juga mendapatkan jawaban dari suaminya.
“Kamu nggak marah?”
Dahi Sriatun berlipat. “Aku nyoba jadi wanita yang sabar buat suami dan anakku.” Dia lalu berdeham, membasahi tenggorokannya. “Atau, kamu mau istrimu yang galak kayak biasanya?”
“Eh, nggak usah. Aku mau Sriatun yang ini saja.”
Sontak, lipatan di dahi Sriatun semakin kentara. “Memangnya istrimu yang kemarin kenapa?”
Aduh, keliru ngomong nih, Moko membatin dan kecemasan mulai memenuhi rautnya.
“Bercanda, Mas,” sambung Sriatun lalu tergelak. Dengan kode berupa kedikan dagu karena tertawa sendirian selama beberapa detik, akhirnya Moko menimpali dengan ikut tertawa karena tidak ingin mengundang kembali sosok istrinya yang bertanduk.
“Mau dibantuin apa, Sri? Mumpung aku lagi luang,” Moko menawarkan diri setelah tawanya tiris.
“Tumben?” Sri berbalik badam dan kembali sibuk memasak untuk makan siang, membelakangi suaminya yang berdiri kebingungan.