Selama puluhan tahun menyewa kios di pasar, baru kali ini Sriatun menyiapkan barang dagangannya dengan bersenandung. Dia bahkan tidak merasa kedinginan saat berangkat dari rumah sebelum Subuh, menembus kabut dan jalanan ramai pekerja pabrik yang sedang berangkat kerja, dan dengan ringannya menyapa orang-orang yang ditemuinya di sepanjang jalan di pasar. Mungkin karena efek bahagia, atau uang, jadi tidak ada residu kepahitan hidup.
Pembeli mulai berdatangan setelah Sriatun duduk di singgasananya sambil mengibas-kibaskan tangan di atas barang dagangan sambil berdoa dalam hati, semoga diberi kelancaran dan rezeki melimpah. Dengan enteng dia menanggapi perihal tawar menawar yang tidak manusiawi. Bahkan, tidak terdengar dengkus dan hanya senyuman tampak di bibirnya yang bergincu oranye. Sesekali diliriknya cincin yang melingkar di jari. Sering kali tangan Sriatun meraba lehernya, memastikan bandul kalungnya masih tersemat di sana.
Agak siang, pembeli berangsur surut dan Sriatun baru bisa bernapas lega sembari membetulkan hijabnya. Setelah menghitung pendapatan hari ini dan menyunggingkan senyum, dia jejalkan bendelan uang ke dalam tas selempang. Sriatun menoleh ke kanan kiri, lalu melongok ke sepetak jalan lurus yang membelah tiap deretan kios. Saat menangkap tatapan Durikah, pemilik mata bening itu tidak membalas menatapnya, seakan menghindar. Timbul pertanyaan dalam hati, Salah apa aku? Pasti ada yang nggak beres waktu kios aku tinggal libur.
Dengan pertanyaan berhamburan di dalam benak, Sriatun melangkah mendekati Durikah yang pura-pura sibuk menggosok telur-telur bebeknya dengan kain perca. Mendapatinya, semakin bertambah dalam saja kerut di dahi Sriatun. “Yu, ada gosip apa tentangku?” tanpa basa-basi, bertanya.
Ekor mata Durikah melebar. Dia menengok ke kanan kiri terlebih dulu sebelum meletakkan jari telunjuk di depan bibir. Durikah kemudian menarik lengan Sriatun supaya mendekat dan mengambil sepucuk surat dari dalam tasnya. Surat undangan.
“Ini undangan pernikahan Mardiyah dan Mister Darsy,” Durikah mencicit.
Kelegaan menyelubungi hati Sriatun. Senyuman tipis menghiasi bibirnya yang cukup tebal saat mengulurkan tangan. “Undanganku dititipin ke Yu Rikah, ya? Kapan nikahnya?”
Sigap, Durikah menarik kembali undangan miliknya. “Kayaknya kamu nggak diundang Yu Mi, Sri.”
Selarik kalimat yang diucapkan tanpa tendensi apa-apa itu, bagai sebilah pisau mengiris hati. Hal yang mungkin menurut sebagian orang sepele, seketika menyurutkan senyum di bibirnya. Memang, ada banyak hal di dunia ini yang terkadang mampir ke hati bagai jarum racun, tetapi Sriatun berhasil mencarikan penawarnya hingga tidak sampai merusak. Dia juga tahu betul, dunia ini harus berjalan seimbang. Ada senang, ada susah. Dua hal bertolak belakang itu, sepertinya sedang menyambangi kehidupannya sekarang.
“Ja-jangan bercanda, Yu Rikah.” Sriatun mencoba untuk tidak menggetarkan suaranya ketika bicara, tetapi gagal. Dia bahkan menambahkan tawa di ujung kalimatnya.
Durikah menggeleng. “Yu Mi sendiri yang bilang.”
“Alasannya apa dia nggak mengundangku? Kita ini semua kan… teman?”
Sebuah tepukan pelan mendarat di bahu Sriatun. Karena terlalu berkonsentrasi, kedua orang yang sedang mengobrol itu tidak menyadari kedatangan Kartik.
“Kartik tahu alasannya,” Durikah mencoba cuci tangan. “Kenapa Sriatun nggak diundang Yu Mi,” jelasnya melanjutkan.
“Itu karena nggak boleh ada dua matahari dalam satu pertemenan.”
Durikah mengangguk-angguk, sementara Sriatun mengernyit. “Maksudnya?”
“Kamu saingan Yu Mi, Sri,” Kartik menerangkan. “Dalam pertemanan nggak boleh ada dua orang yang menonjol.”
“Tapi aku nggak sekaya, secantik, dan seberuntung Yu Mi. Semua orang tahu itu,” Sriatun membalas dengan nada pasrah.