Mengingat perkataan Kartik mengenai tidak boleh ada dua matahari dalam sebuah pertemanan, tebersit di benak Sriatun ketika bercermin. Dia harus tampil maksimal saat mendatangi pesta pernikahan putri Mianah. Makanya setelah mengambil pakaian yang masih disimpannya dalam plastik, senyumnya merekah sempurna. Tampilan rok lipit di bagian dalam dan lapisan tule berwarna lilac Sriatun pilih, dipadu atasan kebaya warna senada dengan kerah tinggi, dan melengkapi penampilannya dengan hijab tumpuk berbahan lembut. Tidak lupa, dia keluarkan seluruh perhiasan dari kotak penyimpan, memilih mana yang akan dipakainya agar orang-orang nanti memperhatikannya. Dia ingin menjadi ratu pesta, ingin menjadi satu-satunya matahari. Bahkan, Sriatun sudah menyiapkan amplop tebal untuk salam tempel berisi uang lima juta.
Setelah semuanya siap, Sriatun segera mengunci pintu rumah dan berangkat menuju kediaman Mianah yang terletak tidak terlalu jauh dari rumahnya. Dia hanya harus melewati saung, menapak beberapa anak tangga sebelum melewati rumah Kartik, kemudian melalui jalan sedikit menukik sebelum akhirnya kembali mendapati beberapa anak tangga dan jalanan landai kemudian. Dari depan rumah Mianah, Sriatun mendapati tenda kerucut dan dia tahu harga sewanya mahal. Ada sedikit keraguan sebelum melangkah kembali. Dia ingat kata-kata Kartik. Bagaimana caranya bersaing dengan Mianah, jika aku sendiri merasa nggak akan mampu menandinginya? Sriatun membatin.
Cepat-cepat Sriatun melangkah sebelum berubah pikiran.
Di bagian depan, terdapat gendok atau tempat untuk memasukkan salam tempel para tamu.
Ketika Sriatun mendekat untuk menulis nama di buku tamu, dua orang yang melihatnya sempat melongo. Beberapa orang di belakangnya saling berbisik dan ketika Sriatun menoleh, mereka pura-pura melempar pandangan ke arah lain. Begitu juga dengan tamu undangan yang mulai berdatangan dan memenuhi kursi yang disediakan, memandangnya seperti alien. Kata siapa ini acara privat? Sriatun teringat ucapan suaminya.
Saat berpasang mata tetap mengekori langkah Sriatun, dia mulai sedikit terganggu.
Memang ya, matahari tuh bersinar terang sampai menyilaukan jika kelamaan dipandangi, Sriatun berkata dalam hati, melangkah dengan sedikit mengangkat dagunya. Dia tidak peduli jika orang-orang menganggap dirinya yang berjualan di pasar tidak bisa tampil memukau di pesta seseorang. Mereka salah besar.
“Sri!”
Sriatun berbalik badan untuk memastikan siapa yang memanggil namanya. Setelah tahu, mereka sama-sama mematung sebelum Durikah mendekat dan meraih tangannya. Kedua orang itu duduk di kursi yang disediakan untuk tamu undangan. Di seberang tempat duduk mereka, Santoso, suami Kartik, mengangguk untuk sekadar menghormati.
“Ngapain kamu datang ke sini?” tanya Durikah. “Kamu kan nggak diundang?” katanya, sengaja mengecilkan nada suaranya.
“Cuma mau memastikan, matahari mana yang sinarnya lebih terang, Yu Rikah.”
Durikah menahan tawa, mendengar kiasan Sriatun dan teringat omongan Kartik di pasar. Ada rasa penasaran menyembul dari dalam benak untuk mengetahui akhir cerita hari ini.
“Aduh, Sri, Sri. Kamu itu-”
“Kenapa lagi?” Sriatun lekas memotong kalimat Durikah.
“Aku dan Kartik ditugaskan supaya kamu nggak muncul di sini.” Durikah menghela napas panjang. “Sebaiknya kamu pulang sekarang daripada nanti malu.” Dia lalu melihat dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu berdecak. “Penampilanmu juga berlebihan.”
Bola mata Sriatun membulat sempurna. “Tapi aku sudah buwuh, Yu Rikah. Lima juta,” sengaja disebutnya jumlah uang salam tempel yang diberikannya supaya mereka tahu ada matahari yang bersinar terang.
Berganti Durikah yang melebarkan ekor matanya. “Kamu sudah gila!”
Belum sempat menimpali obrolan, dari jauh tampak Mianah dan Kartik berjalan mendekati Sriatun dan Durikah yang membeku di tempatnya. Durikah memberi kode kepada Sriatun untuk bangkit dari kursinya.
“Ngapain kamu di sini?” Mianah bertanya dengan tersenyum, tetapi menusuk. Dia lalu memperhatikan penampilan Sriatun dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Norak banget!”
Tidak ada ketersinggungan mendengar kalimat terakhir Mianah, tetapi detak jantung Sriatun mendadak lincah. “A-aku pikir Yu Mi lupa mengundangku ke sini, makanya-”
“Aku memang sengaja nggak mengundangmu.”
Sriatun menelan ludah dengan susah payah. “Kenapa?” suaranya bergetar.
Tidak segera ada jawaban.
Semua orang seperti menunggu dalam detik yang menegangkan.