Untuk membuat laporan penipuan harus menunggu antrean selama berjam-jam, sampai malam menampakkan diri.
Diserbu kelelahan dan kenyataan bahwa uang modal yang Sriatun tanam akan raib, memantik kesadarannya. Melihat suaminya duduk di sebelahnya dengan tatapan nanar, Sriatun ingin mengangkat kursi lipat dan mengepruknya saat itu juga. Namun, dia tidak ingin diseret menuju ruang tahanan karena di hadapannya kini banyak orang berseliweran. Kantor polisi sedang ramai. Banyak teriakan dan tangis menyusup dari orang-orang yang ditangkap karena berbagai kasus. Termasuk, adu urat perihal penggerebekan pasangan di hotel yang tidak memiliki surat resmi sebagai pasangan.
“Kalau uangmu nggak balik gimana, Sri?” tanya Moko dengan pandangan nanarnya.
“Ya, berarti kamu yang harus mengembalikannya,” balas Sriatun sengak.
Moko kemudian menoleh, menatap istrinya. “Butuh berapa tahun aku narik ojek buat melunasinya?”
“Kalau perlu, seumur hidupmu!” tutup Sriatun sarat akan emosi.
Dengkusan Sriyati menyelinap. Kedua orang yang duduk di sebelahnya sampai menoleh kepadanya. “Kalian ini bodoh atau bagaimana, sih? Bisa-bisanya ketipu bisnis online. Memangnya kalian nggak baca berita?”
Sriatun mengedikkan dagu ke arah suaminya. “Tahu tuh, si Bodoh ini!”
“Kamu juga sama, Sri!” Sriyati kukuh menyalahkan keduanya.
“Tapi kamu juga setuju-setuju saja pas aku pakai uangmu buat modal,” karena merasa terjepit, Moko melancarkan pembelaan dirinya.
Mendengarnya, memancing kembali emosi Sriatun. “Karena kamu janji buat balikin uangnya!”
Nyali Moko langsung menciut. Dia takut istrinya itu nekat mengepruknya dengan kursi lipat yang didudukinya.
“Kamu yang punya uang juga seharusnya paham kalau model bisnis begini ini aneh. Bodoh banget jadi orang,” Sriyati terus mengejar.
“Soalnya, sekali dua kali modalnya aman, Mbak Yati. Makanya aku nggak ragu buat meminjamkan lagi modal yang lebih besar,” Sriatun menjelaskan dengan raut geram.
“Iya, betul itu,” Moko menambahkan sambil mengangguk-angguk.
Sorot mata tajam Sriyati langsung berpindah dari adiknya ke Moko. “Kamu diam saja!”
Moko mengkeret bagai kelomang.
“Itu, tiga orang yang duduk di deret belakang, bisa diam tidak?” Seorang petugas menghentikan kegiatannya sementara waktu dan berteriak dari tempat duduknya.
Ketiga orang yang ditunjuk itu benar-benar langsung diam.
Namun, hanya sebentar.
“Dari dulu Mbak sudah bilang ke kamu supaya nurut. Sekolah yang bener, eh, malah kawin sama luwak nggak jelas ini,” Sriyati mulai mengorek luka yang belum mengering sepenuhnya di hati adiknya.
Sepasang suami istri yang sedang dibicarakan Sriyati tidak menyahut. Mereka sama-sama memandang lurus ke depan. Yang membedakan hanyalah, Sriatun mengeratkan genggaman tangan menahan emosi yang membuncah.
“Dibilangin kalau punya uang itu ditabung buat beli rumah, eh, malah pilih ngontrak. Dibilangin tinggal di kampung saja, bangun kehidupan dengan jadi petani atau membantuku di sawah, eh, malah ke kota dan kerja nggak jelas begini. Satunya pengangguran. Satunya lagi jaga kios di pasar.” Sriyati menghela napas sebentar, menahan gelembung emosinya supaya tidak pecah. “Dibilangin jangan punya anak dulu karena nanti bakalan nggak bisa menuhin kebutuhannya, eh, malah… ah, sudahlah. Kalian ini memang bebal. Sampai tua juga kehidupan kalian nggak akan beres. Soalnya-”
Sriatun sudah tidak mampu menahan emosinya yang sebentar lagi meledak. “Cukup!”
Moko hendak membuka mulut, kemudian mengatupkannya kembali begitu kakak iparnya memelotot padanya. Sriyati tidak lagi peduli menjadi tontonan orang-orang yang berada di kantor polisi.