Kecanggungan terbentuk. Semua orang saling menghindar ketika sengaja atau tidak sengaja berpapasan. Semuanya bergerak cepat agar tidak perlu bersinggungan dengan yang lain. Namun apes, Sriatun dan Moko harus sekamar, Miranda dan Sriyati juga harus satu kamar karena keterbatasan ruang. Alhasil ketika waktu tidur tiba, mereka saling beradu punggung.
Seperti malam ini saat Miranda menggosok-gosokkan tangan ke dinding seperti kebiasaannya sebelum tidur, Sriyati merasa sedikit terganggu. Begitu mendengar dengkusan dari budenya, Miranda segera menghentikan kegiatannya.
“Kenapa kamu nekat ke diskotek segala sih, Mir? Padahal Bude kira kamu tuh nggak akan tertarik sama dunia itu, walaupun Bude tahu beberapa remaja memang seringnya membuat ulah dengan mencoba-coba hal baru,” Sriyati sudah tidak betah mengobrol sekadarnya dengan keponakannya itu. “Bude kira kenakalan remajamu nggak akan ke arah situ.”
Dengan gerakan perlahan, Miranda mengubah posisi tidurnya menjadi telentang. “Percaya atau nggak, aku cuma iseng, Bude. Ikut teman seperti yang aku jelaskan di ruang tivi lalu. Sejujurnya aku juga malas sama musiknya yang berisik dan asap rokok yang bikin sesak napas. Belum lagi tiap jalan harus senggolan sama pengunjung lain.”
Sriyati mengikuti gerakan Miranda dengan mengubah posisi tidurnya menjadi telentang. “Siapa nama temanmu?”
“Wine, sama dua teman cewek lain.”
“Oh, cewek semua?”
Miranda mengangguk, lalu mengubah posisi tidurnya menjadi menyamping dengan menumpukan kepalanya di telapak tangan sambil menatap budenya. “Bude pikir aku keluar sama cowok?”
Sriyati terkekeh. “Ada baik dan buruknya sih, Mir, keluar sama cewek atau cowok. Menurut Bude, lain kali kalau mau ke sana lagi, jangan sama teman-teman cewek saja. Sama cowok juga, biar nggak terlalu berbahaya, Minimal, ada yang jagain kalau kalian kenapa-kenapa. Orang jahat kan nggak pakai name tag.” Kemudian, dia berpikir sejenak sebelum melanjutkan, “Eh, tapi kalau cowoknya rusak juga bahaya, sih. Intinya, kamu harus pilih-pilih teman kalau mau jalan ke tempat seperti itu.”
“Paling aman emang nggak usah keluar malam sih, Bude.”
Jari telunjuk Sriyati menjawil hidung ponakannya, gemas. “Nah, itu tahu.”
Mereka tersenyum.
Setelahnya, kedua orang itu mengambil jeda dengan menghela napas hampir bersamaan.
Miranda kemudian memasang tampang serius. “Bude kecewa, ya, sama Miranda?”
“Tentu saja. Selain soal ATM, Bude yakin kamu nggak minta izin ke orangtuamu pas pergi ke diskotek.”
Miranda mengangguk.
“Tapi kekecewaan Bude cuma sedikit, mungkin beda sama yang dirasakan Emak atau Bapakmu. Dan, kekecewaan Bude hampir habus setelah kamu mau diajak mengobrol begini. Kangen, tahu, Mir,” sambung Sriyati sembari melunakkan ucapannya.
“Aku juga kangen sama Bude.” Kelopak mata Miranda mulai mengerjap sebelum air mata meluruh. “Maafin Mira ya, Bude.”
Sebelum sesenggukan Miranda terbentuk, Sriyati sudah mengubah posisi tidurnya menyamping dan spontan mendekap keponakan kesayangannya itu erat. Meluruhlah segala sesak yang mengendap di dada Miranda begitu Sriyati mengelus-elus pucuk kepalanya.
Hampir setengah jam Miranda menangis, sampai akhirnya dia menggeser tubuhnya dari pelukan Sriyati karena engap.
“Bude pikir, kalau kamu sudah siap, kamu harus benar-benar minta maaf ke emakmu. Maaf yang kemarin itu, sepertinya nggak dihitung, karena kesan yang kami tangkap kamu mengatakannya karena sedang terjepit,” ucap Sriyati lembut.
Miranda mengiakan. “Apa Emak bakal maafin aku, Bude?”
“Minta maafnya yang iklhas, Miranda. Cuma itu yang bisa Bude sarankan ke kamu. Orang kalau minta maaf yang ikhlas, kerasa, kok. Minta maaf karena takut pun kita juga bisa meraskannya. Emosi yang tulus tuh susah diduplikat.”
Obrolan pun terjeda. Miranda sedang memikirkan perkataan Sriyati.
“Kamu tahu kan, Bude-mu ini lebih keras daripada emakmu. Kalau Bude saja bisa paham, emakmu pasti juga akan mengerti. Asal, kamu dulu yang meminta maaf karena memang kamu sadar telah berbuat salah. Perkara dimaafkan atau nggak, itu hak sepenuhnya emakmu,” sambung Sriyati bijak.