Tidak hanya aroma mi kuah memenuhi dapur sampai ruang makan. Beberapa sandingan lain seperti telur ceplok dan tempe goreng juga tersaji. Tidak lupa, tiga gelas teh panas dan satu cangkir kopi dibuat. Bersamaan dengan kesibukan Sriatun, penghuni rumah juga antre ke kamar mandi. Mereka berpikir, tidak enak rasanya makan dengan bau naga atau kotoran mata masih melekat. Terakhir, Sriatun yang menguasai kamar mandi sebelum meminta semua orang berkumpul di meja makan.
Baru kali ini mereka berkumpul untuk sarapan padahal matahari baru menembakkan semburat jingga di ufuk timur. Udara dingin bahkan masih menyelinap. Sayangnya, kecanggungan belum luruh sepenuhnya, beriring kesunyian yang terbentuk sedari pantat mereka menempel di kursi meja makan.
“Mak, Pak, aku minta maaf sudah mengecewakan kalian,” Miranda akhirnya yang memecah keheningan lebih dulu.
“Dimaafkan,” Moko membalas riang.
Detik itu juga, Moko mendapatkan dehaman Sriatun. Nyalinya sontak menciut. Dia menunduk, kemudian melalui ekor matanya melirik ke arah kakak iparnya yang hanya menggeleng kecil sambil berdecak pelan. Moko menyesali ketidakpekaannya. Sriatun pasti ingin mendengar alasan putrinya lebih dulu.
“Sebenarnya nggak pengin manjangin persoalan ini, tapi Emak pengin tahu alasan, kenapa kamu melakukannya, Mir?” tanya Sriatun kalem.
“Penasaran, mungkin jawaban yang paling tepat, Mak.”
“Setelah rasa penasaranmu hilang, apa kamu suka?”
Miranda menggeleng. “Ternyata nggak seperti yang aku bayangkan.”
“Terus, kenapa kamu nggak bilang ke Emak atau Bapak kalau mau ke tempat itu?”
“Takut nggak dapat izin.”
“Itu sudah pasti. Alasanku nggak mengizinkanmu ke sana juga masuk akal. Untuk remaja seumuranmu, kamu belum saatnya pergi ke seperti iru. Kamu masih pelajar. Tempat itu berbahaya. Terlalu berisiko. Terlalu banyak jenis manusia, yang kita nggak tahu mana yang jahat dan mana yang bajingan.” Sriatun melirik ke arah kakaknya yang diam mendengarkan. “Kalau misalnya suatu hari setelah lulus sekolah kamu mau pergi ke sana lagi, budemu bisa temani. Bukannya pergi sama teman-temanmu yang sekarang, karena Emak yakin mereka pasti seumuranmu dan belum mengerti betul arti tanggung jawab terhadap keselamatan diri sendiri.”
Sriyati sempat memelotot namanya dicatut tanpa izin. Sebab, dia tidak pernah menginjak lantai diskotek, tetapi ditelannya protesnya itu bulat-bulat karena pelototan adiknya tampak lebih menakutkan, seperti ingin mencaploknya.
“Iya, Mak.”
“Lanjut ke persoalan satunya lagi, kenapa kamu memakai uang Emak tanpa izin?”
Baru hari ini Sriyati takjub dengan kedewasaan adiknya. Sosok yang belum pernah ditunjukkan di hadapannya itu, begitu memesona. Pilihan kata-katanya dewasa sekali, batinnya. Memakai uang, bukannya mencuri?
“Yang mencuri itu, aku nggak ada alasan. Aku memang salah. Kalau Emak mau menghukumku, aku ikhlas. Tapi yang pasti, aku nggak akan mengulanginya lagi. Kapok, Mak, Pak, Bude. Rasa bersalah itu mirip hantu. Terus mengejar.”
Sriatun mendengarkan baik-baik, kemudian menimbang sebentar sebelum membuka mulutnya kembali. “Tentu saja ada hukumannya.”
Semua orang memasang telinga mereka baik-baik.
“Belajar yang baik dan nggak boleh bolos sekolah. Jadi juara umum seperti biasanya. Terus, diterima di kampus negeri impianmu. Itu hukuman berat buatmu, Miranda,” sambung Sriatun.
“Hukuman diterima!” Miranda menghormat dan semua orang tertawa karenanya.
Dalam diam, mata Sriatun sempat berkaca-kaca setelah tawanya habis.
Sementara itu, Sriyati mengusap cairan bening yang menetes di pipi. Dia tidak menyangka, keluarga adiknya yang selama ini dianggapnya karut marut, ternyata buruk hanya di pikirannya saja. “Aku juga mau minta maaf,” katanya tiba-tiba, tidak ingin berubah pikiran. “Pernah atau sering jadi Kakak, Kakak ipar, atau Bude yang menyebalkan. Aku juga mau minta maaf ke… Moko,” susah menyebut nama itu karena memang sejak dulu Sriyati merasa tidak pernah cocok, “pernah menyebutmu musang waktu marah.”