Lompat Kelas

heriwidianto
Chapter #29

Dua Puluh Sembilan

Sudah empat hari ini Miranda seperti kembali ke pengaturan awal. Dia berangkat pagi dengan santai, malamnya belajar dan tidur cukup. Duduk di bangku sambil mencari informasi terbaru serta kisi-kisi dan berbagai macam cara untuk menembus kampus incarannya. Mendengarkan cerita-cerita Enggar yang terkadang tidak menyentuh radar pengetahuannya. Yang sedikit membedakan hanyalah, di sepanjang koridor beberapa siswa masih menyapa dan Miranda merasa harus menjawab sapaan mereka dengan sama ramahnya.

Dan, hari ini ada yang berbeda.

Beberapa menit sebelum bel masuk kelas berbunyi, dua dayang Wine mendekatinya. Karena Enggar sudah memperingatkan tidak mau pergi dari kursinya selama bukan dia yang menginginkannya, Sasa dan Katia tidak berani memaksa. Mereka memilih berdiri di sebelah Miranda.

“Kata Wine, dia pengin minta maaf jadi kamu diminta ke mejanya,” Sasa membuka obrolan. “Wine juga mau jelaskan situasinya supaya kamu nggak salah paham.”

Tawa Enggar menyembur. Sasa dan Katia menoleh, kompak memasang wajah galaknya supaya Enggar berhenti tertawa, tetapi sepertinya gagal. Enggar semakin terpingkal. Meskipun teman sebangku Miranda itu belum atau tidak tahu ujung pangkal cerita sebenarnya, tetapi mendengar seseorang bersedia mewakili temannya sebagai juru bicara membuat perutnya tergelitik.

Sementara Enggar tertawa, kekesalan Miranda kembali hadir mengingat kejadian beberapa hari lalu itu.

Karena sebal mendapatkan nilai jelek saat ulangan harian, mood Miranda lumayan terpengaruh. Saat itu, Wine menyadarinya. Dia mengajak ketiga temannya itu nongkrong di kafe sepulang sekolah dan main ke mal sebentar, sampai Magrib dan berakhir di rumah Wine setelahnya karena kedua orangtuanya sedang ke luar kota.

Di ruang tengah rumah Wine yang luas, mereka duduk selonjoran sambil disuguhi saluran tivi kabel. Namun, tidak ada yang menonton. Semua pandangan terpaku pada gawai masing-masing.

“Aku juga sering kok dapat nilai jelek,” Katia mendongak dan menatap Miranda, mencoba menghiburnya. “Pasti ada saatnya kamu dapat nilai jelek. Minimal, sekali seumur hidup.”

“Tapi kamu kan nggak pernah dapat juara paralel, Tia!” Sasa menimpali dengan kenyataan dan mengakhirinya dengan tawa mengejek. “Beda sama Miranda. Pasti dia kaget dapat nilai jelek perdana.”

Miranda mengangguk dan mengerucutkan bibirnya, sok cantik. Dipelajarinya itu dari Katia ketika merajuk.

Karena kesal, Katia menepak lengan Sasa sampai mengaduh sebagai respons kalimat menjengkelkannya.

“Ulangan harian berikutnya kamu pasti dapat nilai sempurna, Mir,” Katia ikut menghibur.

“Pasti, Mir. Jadi, jangan khawatir lagi, ya,” Sasa menambahkan.

Kembali Miranda mengangguk. Kali ini menambahkan senyum sambil memamerkan jempolnya.

“Kalian berisik!”

Suara Wine yang lantang membuat teman-temannya menoleh dan berhasil menghentikan kegiatan menghibur Miranda dalam satu waktu. Katia bahkan sampai menggeser posisi duduknya mendekati Sasa dan sedikit menjauhi Miranda. Untuk mengurai kecanggungan yang mulai terbentuk, sebenarnya ada niatan mengembalikan perhatian ke layar ponsel pintar masing-masing, tetapi karena Wine tidak juga melakukannya, otomatis hal itu menjadi larangan tertulis untuk tidak melakukannya.

“Miranda dapat nilai jelek satu kali juga tetap jadi juara kelas,” Wine melanjutkan kalimatnya sambil menatap semua teman-temannya. “Palingan cuma turun peringkat juara paralel. Jadi, nggak usah terlalu ribut soal itu!”

Kecuali Miranda, semuanya mengangguk.

Hanya suara tivi yang terdengar. Keheningan mulai menyelubungi keempat orang itu.

“Bosan, nih!” Wine kemudian berdiri.

Dua dayang-dayangnya langsung ikut berdiri. Miranda yang masih berselonjor, kebingungan dan mengerjap, memandangi ketiga temannya.

Lihat selengkapnya