Rumah kembali seperti semula. Sriyati pulang, berkata akan menyelesaikan urusannya lebih dulu sebelum berkunjung ke rumah adiknya kembali, entah kapan. Karena Miranda sekolah dan Moko mengojek, Sriatun menawarkan diri mengantar kakaknya ke stasiun. Setelah sampai, tidak ada pelukan di antara mereka, seperti biasanya. Sriatun sempat menawarkan diri untuk menemaninya pulang ke kampung selama beberapa hari, tetapi ketika kedua orang itu sama-sama terdiam dan berpikir sebelum bereaksi-sang Adik tampak menyesal dan sang Kakak merasa tidak perlu bantuan, keduanya tahu bahwa persaudaraan mereka tidak berjalan seperti itu walaupun keadaannya sekarang jauh lebih baik dari sebelum-sebelumnya.
Keesokan harinya, azan Subuh belum berkumandang ketika Sriatun bangun tidur, mengucek mata sambil menguap lebar lalu meregangkan otot-otot tubuh. Pekerjaan selanjutnya adalah membangunkan suaminya yang masih pulas dengan menggoyang-goyangkan lengannya. Mirip zombie, Moko berjalan sempoyongan ke kamar mandi karena nyawanya baru berkumpul.
Sudah tiga hari Moko membantu menyiapkan dagangan, memeriksa stok, dan mengantar istrinya ke pasar.
Tiga hari pula dia tidak merokok. Karena minum kopi tanpa merokok ibarat buang kotoran tanpa cebok, jadi Moko menggantinya dengan minum air putih saja. Lebih sehat dan murah, katanya, menghibur diri.
Mengojek daring juga masih Moko lakukan dengan giat.
Ditambah lagi, di luar janji-janji yang diucapkannya setelah tertipu ratusan juta, Moko juga mau membantu pekerjaan rumah walaupun ada saja kurangnya.
Makanya, ketika membonceng Moko dan memasukkan tangannya ke saku jaket, bayang-bayang Sriatun akan keluarga ideal, terkabul. Terlebih, kios kini atas namanya. Dia tidak perlu lagi pusing menyisihkan sebagian keuntungan untuk membayar sewa kios dan bisa mengalihkannya ke tabungan untuk kuliah Miranda kelak. Dalam hal ini, Sriatun juga bersyukur kakaknya dengan amat sangat memaksa dan penuh ancaman ingin patungan menanggung biaya kuliah keponakannya. Sriatun lega mendengarnya, meskipun hati kecilnya meraung, sebab tidak ingin memiliki utang budi kepada wanita ular itu.
Miranda juga bertanggung jawab dengan menjual ponsel mahalnya dan menggantinya dengan gawai baru yang lebih terjangkau, dan mengembalikan sisa uang penjualannya kepada emaknya dengan menambahkan uang dari tabungannya sendiri yang tidak seberapa itu. Menilik niatan Miranda mengembalikan uang yang digunakannya tanpa izin, Sriatun memutuskan menghapus sisa utang-Miranda sendiri yang menyebutnya seperti itu-dan meminta putrinya untuk rajin belajar.
Pasar Sidomukti di pagi hari tampak menyemut, terutama di jajaran kios sayur mayur dan daging. Setelah beres menyiapkan barang dagangan dan bersih-bersih bersama-sama, Sriatun dan Moko tengah bersiap berjualan.
Sebuah isyarat dari Durikah membawa langkah Sriatun mendekati kiosnya selepas izin sebentar ke suaminya untuk meninggalkan kiosnya sendiri sebentar.
“Ada apa, Yu?” tanya Sriatun lirih. Tanpa perlu belajar di sekolah, dia tahu jika Durikah sudah mengerjap-ngerjapkan mata dan mengangkat satu ujung bibirnya ke atas, berarti ada berita penting yang akan disampaikannya.
“Tahu kenapa kios Kartik tutup?”
Sriatun mengangguk.
Kekecewaan mampir sebentar di wajah Durikah. “Apa?” tantangnya, karena yakin Sriatun membual.
“Pulang ke kampung soalnya lagi ngambek sama Kang Santoso. Ternyata, uang simpanan yang harusnya buat bayar sewa kios dan pinjaman ke saudaranya, raib setelah kena tipu. Mereka lagi sama-sama menenangkan diri.”
“Lengkap banget. Dapat beritanya dari mana?”
Menggunakan dagunya, Sriatun mengedik ke arah suaminya yang sibuk menata sampai presisi barang dagangannya. Dasar kurang kerjaan. “Dari yang sesama kena tipu.”
“Kok kamu sama Mokondo… eh, Mas Moko nggak pakai ngambek segala?”
“Buat apa?”
“Ya, buat ngasih pelajaran ke sumiamu. Kalau aku jadi kamu, sudah aku tinggalkan dia.”