LONCENG KEMATIAN

DENI WIJAYA
Chapter #1

PROLOG : SOLIDEO GLORIA #1

Dengan nafas terengah-engah dan bermandikan keringat dingin di sekujur tubuhnya, Kho Bing Ong terbangun dari tidurnya, tersadar dari mimpinya. Rupanya dia baru saja bermimpi, entah mimpi apa hingga membuatnya ketakutan dan tertekan. Untuk sesaat dia termangu dan merenungi mimpi yang baru saja dialaminya.

”Ya Tuhan, terimakasih, Engkau masih memberiku kesempatan untuk menghirup udara-Mu hari ini, meskipun sebentar lagi mungkin Engkau berkehendak untuk mengambil nyawaku. Ya Tuhan jika hari ini telah tiba waktuku, ijinkan aku untuk menjemput kematianku dengan senyuman,” ucap Kho Bing Ong.

Dalam kegelapan bilik penjara yang pengab dan bau, dia terlelap dalam nikmatnya bercengkrama dengan sang pemilik jiwa. Penjara yang sempit serasa bagaikan di sebuah taman yang indah. Tembok penjara yang kokoh bagaikan tirai kain sutra yang melambai. Dia pun semakin terlena dalam kepasrahannya, dia serahkan segenap jiwa dalam kehendak Tuhan.

Pagi itu, pelupuk matanya mengerjap-ngerjap seperti klilipan. Sudut-sudut matanya masih digerayangi sisa-sisa mimpi semalam. Sel tempat dia dikurung memang sangat tidak memungkinkan untuk mengetahui dengan pasti pergantian setiap detik, menit, jam, bahkan hari.

Kho Bing Ong mengambil napas panjang. Ditatapnya langit-langit penjara yang rendah, dengan bau lembab, mata-mata sendu para penghuni penjara yang perlahan-lahan mungkin menjadi buta karena terbiasa hidup di kegelapan. Kho Bing Ong melangkah berat menuju lubang bilik berjeruji besi.

Di luar sana, ekor matanya segera hinggap pada lalu-lalang prajurit kompeni yang sibuk mengepulkan asap rokok. Sesekali tampak menggerombol, berbincang-bincang, tertawa-tawa, lantas menyebar ke bilik-bilik, menatap para napi dengan wajah garang dan tak bersahabat.

Sementara dari dalam bilik sel, setiap siang dan malam, Kho Bing Ong bisa mendengar suara dinding yang dikikis perlahan. Sebenarnya mereka pun sadar bahwa mustahil dan sia-sia belaka untuk melubangi tembok penjara yang kokoh dan tebal itu, namun mereka tetap saja berusaha mengikisnya. Bahkan cara itu sudah seperti ritual keagamaan bagi mereka, cara untuk meyakini bahwa masih ada kehidupan yang indah di luar sana. Sementara itu para prajurit kompeni yang berjaga hanya mondar-mandir di sepanjang lorong, menyeret-nyeret langkah mereka seperti bayi kurus.

Tak terasa sang surya mulai terbangun dari tidurnya, dengan diiringi suara nyanyian sang ayam jantan, pagi pun datang tanpa diundang. Tibalah detik-detik eksekusi untuk menjemput nyawa dari sang pesakitan. Dan pagi itu, dari jauh, sayup-sayup terdengar suara langkah kaki, decit sepatu, berpasang-pasang, tetapi teratur. Semakin lama semakin keras, semakin dekat, menggema di segenap tembok lorong penjara. Memecah kesunyian pagi yang meruang. Menyadarkan jiwa-jiwa para pesakitan yang masih terlelap.

Berpasang-pasang mata dari balik jeruji besi memandangi mereka dengan penuh tanda tanya, siapa lagi pagi ini yang akan menemui takdirnya untuk memenuhi panggilan sang lonceng kematian. Soli Deo Gloria, begitulah orang-orang Belanda biasa menyebut lonceng itu.

Entah kapan waktu mereka tiba, yang pasti hal itu akan terjadi. Semua suara sepatu itu berhenti tepat di depan pintu bilik penjara.

Stop…!” teriak Jacob, sang komandan pasukan eksekusi.

Terdengar pintu besi dibuka, nyaring sekali…. cekling… kriek… blang. Sesaat terdengar suara datar menyapanya.

“Selamat pagi Ong!” sapanya dengan suara logat Belandanya.

“Selamat pagi!” jawab Kho Bing Ong seraya bangkit dari pembaringannya.

“Perkenalkan namaku Albert. Aku seorang pendeta, aku ditugaskan oleh gubernur Andriaan Valckenier untuk memberikan pencerahan kepadamu sebelum pelaksanaan eksekusi mati. Bing Ong, aku banyak mendengar cerita tentangmu dan aku turut bersimpati kepadamu. Aku hanyalah seorang pendeta, meskipun aku seorang Belanda tetapi aku adalah orang yang menentang kesewenang-wenangan!” kata pendeta Albert.

“Aku mengerti pendeta, pastilah engkau adalah orang yang baik,” ucap Kho Bing Ong.

“Kho Bing Ong maukah kamu kubacakan beberapa ayat dari kitab Injil?” tanya pendeta Albert.

“Terimakasih pendeta, tapi mohon maaf… ” jawab Kho Bing Ong.

“Tidak apa-apa, aku mengerti, kamu adalah seorang muslim yang baik, andaisaja kita semua bisa hidup berdampingan dan mengasihi meskipun saling berbeda tanpa ada tindakan yang sewenang-wenang pastilah hidup ini akan damai.. andaisaja…” kata pendeta Albert.

“Bing Ong apakah kamu takut?” tanya pendeta Albert.

“Mengapa harus takut, pendeta, nyawa ini hanyalah titipan yang sewaktu-waktu dapat diambil oleh pemiliknya, kita tidak tahu kapan hidup kita akan berakhir. Bukankah kematian itu adalah sebuah takdir. Usia datang dan pergi tanpa permisi. Jadi mengapa aku harus takut? Aku pasrah pada Tuhanku !” jawab Kho Bing Ong.

“Aku kagum padamu, di saat-saat seperti ini, engkau tetap tegar dan tenang!” puji pendeta.

“Pendeta, Anda pasti setuju, semua yang berjiwa pasti akan merasakan mati, sesungguhnya kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan,” jawab Kho Bing Ong.

Mendengar hal itu pendeta Albert hanya tersenyum dengan ekpresi wajah penuh arti.

“Pendeta, maukah kamu menolongku?” kata Kho Bing Ong.

Lihat selengkapnya