Tubuh Kho Bing Ong yang masih terikat di tiang gantungan basah kuyub dengan wajah membiru, dingin dan kaku. Dengan berurai air hujan, langitpun seakan turut berduka, menangis menyaksikan sebuah tragedi yang memilukan. Beberapa saat kemudian hujanpun mulai reda, tetapi udara dingin masih terasa.
“Pengawal, cepat angkat dan turunkan dia… segera kita lakukan penguburan dengan selayaknya!” perintah sang gubernur.
“Baik, Tuan,” kata Jacob.
Kemudian dia bergegas menuju lapangan eksekusi dan segera memerintahkan dua orang pasukan yang masih berada di panggung eksekusi agar segera menurunkan tubuh Kho Bing Ong.
“Aku akan mengangkat tubuhnya, kau lepaskan talinya.” kata salah seorang pasukan.
Setelah tali gantungan yang menjerat leher Kho Bing Ong terlepas, mereka segera membawa tubuhnya ke dalam ruangan yang terlindung dari hujan. Nampak tubuh yang terkulai lemas, ada bekas jeratan tali di lehernya. Kemudian salah seorang dari mereka memeriksa kondisi tubuh Kho Bing Ong. Seketika terperanjatlah prajurit itu, kaget dan heran saat memeriksa denyut nadi Kho Bing Ong dengan memegang pergelangan tangannya.
Segera dia membisikkan sesuatu kepada komandan pasukan. Sang komandan pun dibuat kaget karenanya, dengan rasa penasaran, dia segera memeriksa denyut nadi Kho Bing Ong untuk memastikan bisikan anak buahnya itu. Dan memang benar apa yang dikatakan anak buahnya tadi. Kemudian komandan bergegas pergi menuju ke ruangan sang gubernur.
“Wat (apa)?! Die kan optreden (mana mungkin terjadi)?! Onmogelijk (mustahil)! Hai, apa yang kau katakan ini benar?” tanya sang gubernur.
“Benar tuan, itu adalah yang sebenarnya.” jawab Jacob.
“Onbezonnen (kurang ajar)?!” umpat gubernur.
Sesaat kemudian gubernur bangkit dari tempat duduknya, berjalan mondar-mandir, kesana kemari, sesekali kening di wajahnya mengerut.
“Kau harus merahasiakan hal ini, jangan sampai semua mengetahuinya terutama Maria. Cepat sembunyikan dia!” perintah gubernur.
Sang komandan pun segera bergegas menuju anak buahnya yang masih menunggui tubuh Kho Bing Ong.
“Dengarkan semua, hanya kalian yang tahu akan hal ini, jangan sampai bocor ke orang lain. Jika salah satu dari kalian berani membocorkannya maka hukuman gantung akan menanti kalian. Dengar.. semua! Ini perintah Gubernur! Ayo cepat angkat dan ikuti aku!” perintah Jacob.
Kemudian kedua orang pasukan tersebut segera mengangkat tubuh Kho Bing Ong dan mengikuti ke mana komandan pergi.
Enam tahun yang lalu...
Teng… teng.... teng ! Terdengar bunyi dentang lonceng dari jam dinding yang terbuat dari kayu jati, sebanyak dua belas kali menunjukkan waktu tepat tengah malam. Suara dentang lonceng yang memecah kesunyian malam yang pekat dan dingin. Sayup-sayup terdengar suara musik klasik dari dalam ruangan gubernur. Iringan gesekan piringan hitam seolah turut menggesek hati sang gubernur yang gelisah. Matanya tak hendak mau diistirahatkan, berbagai persoalan yang rumit memenuhi seisi kepalanya.
Bagaimana tidak? Sebagai seorang gubernur Batavia, Adriaan Valckenier mendapat tekanan yang berat dari Heeren XVII (Kamar dagang VOC) agar dapat memaksimalkan jumlah pendapatan dan aliran dana segar ke kas VOC. Selain hambatan dari pihak Inggris, hambatan juga datang dari kalangan pedagang Tionghoa di Batavia.
Pelopornya adalah para tauke yang mampu membuat pemerintah VOC khawatir. Belum lagi jumlah imigran Tionghoa dari Tiongkok di Batavia yang membludak dan tidak terkendali. Dan beberapa dari mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap alias pengangguran, kerap melakukan tindakan kriminal yang mengganggu keamanan di sekitar Batavia.
“Aku tidak boleh berdiam diri. Aku harus melakukan sesuatu, jika gagal pastilah sang ratu akan menghukumku.. ya.. aku harus cepat bertindak. Aku harus segera membicarakannya dengan Raad van Indie dan pimpinan pusat... harus !“ ucap Valckenier dalam hati. Senyum menghiasi raut wajahnya yang nampak pucat dan kelelahan.
Sejenak kemudian dia mengambil sebilah pedang panjang, yang tergantung di dinding ruangan. Dengan tatapan tajam setajam mata elang, perlahan gubernur menarik pedang tersebut keluar dari warangkanya. Kilatan-kilatan menyilaukan dari pedang yang terhunus karena terpaan cahaya lampu, ditambah lagi suara gesekan badan pedang yang terbuat dari logam baja pilihan pasti menyiutkan nyali siapapun yang mendengarnya.
“Hm.. hai para pemberontak, kalian telah berani bermain api maka siap-siaplah untuk terbakar hahaha… lonceng kematian menunggu kalian!” gemertak suaranya seolah menyimpan amarah yang mendalam.
******
Sementara itu di pinggiran tembok luar kota Batavia....