Menunggu adalah hal paling menyebalkan di dunia – yang lelah meunggu, Joana.
Haruskah aku bersyukur atau berduka saat mendapatkan mutasi. Aku bersyukur di pindah tugaskan ke kota tempatku dilahirkan, itu artinya aku bisa makan masakan ibu sesukaku. Aku berduka, itu artinya si Iqbal itu akan terus-terusan merong-rongku soal pertemuan selanjutnya. Oh dan jangan lupakan anak SMA bernama Miler yang akhir-akhir ini semakin aktif mengirimiku pesan bahkan saudaranya yang bernama Biru juga aktif mengirimiku pesan. Beberapa kali bahkan meneleponku mempercayakan hal random soal warna kesukaan, makanan favorit dan hal-hal random lainnya. Dan jangan lupakan insiden panggilan video tiga hari yang lalu, saat Miler terang-terangan memata-matai kakaknya dan saat sang kakak membuka kausnya ia mengarahkan kamera sialan itu ke kakaknya. Alhasil mataku tercemar oleh pemandangan kakak Midler tanpa kaus sambil berceloteh soal kopi habis dan ibunya yang belum kembali dari arisan yang sesekali ditanggapi sang adik dengan tawa cekikian. Jujur awalnya aku risih dan sempat mengakhiri panggilan itu secara sepihak, akan tetapi anak itu terus terusan meneleponku aku pun menyerah dan mendengarkan interaksi mereka sembari membaca buku.
Oh dan masih ada lagi, aku hampir melupakannya. Ingat sepupuku Vivi yang membuatku eksisi di aplikasi kencan? Sudah seminggu ini dia sering menyatroni rumahku demi menanyakan kesan kencan pertama dengan Iqbal dan menuntut cerita selengkap-lengkapnya. Ah, dan tuntutannya bertambah saat akhir-akhir ini aku lebih sering tidak membalas pesannya dan sibuk tertawa di telepon.
“Halo cantik, masuk kapan masih stay di rumah aja bukanya masa cuti udah habis?” Vivi tiba-tiba muncul di pintu kamarku sembari membawa satu kresek gorengan dan makanan ringan lainnya.
“Rumah mu bisa bersih-bersih sendiri? Ini masih pagi loh kok sudah bertamu.” Sindirku. “Iya harusnya aku udah masuk hari Rabu kemarin, eh malah kena mutasi buat isi Posisi manajer area di sini.” Jawabku pelan.
“Oh mohon maaf, rumahku bisa bersih sendiri tanpa aku sentuh. Lagi pula kamu berhutang dua cerita padaku.”
Aku jengger tubuh memberi tempat untuk Vivi untuk ikut duduk di atas ranjangku. “Nggak ada cerita, lagi lupa engga bisa sehari saja tanpa jadi Miss Kepo?”
“Engga.” Jawabnya sembari menunduk kecil untuk mengintip isi kresek yang ia bawa. Setelah menemukan pisang goreng yang ia cari Vivi meletakkan kerek penuh minyak itu di atas kasur tanpa alas apapun. “Ayolah Sayang ceritakan, pasti ceritanya luar biasa. Kencan sukses, telponan tiap hari, bau-bau resepsi sudah di depan mata nih.”
Aku mengerling, anak ini imajinasinya liar juga. Yah, apa boleh buat aku tidak menjelaskan apapun padanya.
“Singkat deh engga apa-apa. Jangan bikin aku mati penasaran.”
“Oke, tenang sedikit.” Jawabku menyerah. “Satu kata buat mendeskripsikan kencan minggu lalu adalah HANCUR.” Ujarku sengaja menekan kata ‘Hancur’
Vivi mendesah jengkel. “Aku tahu aku yang meminta penjelasan singkat tapi ya tolong. Itu tidak menjelaskan siapa yang mengantar pulang, dan yang kamu ajak bicara setiap hari.”
“Mereka dua orang yang berbeda.” Jawabku singkat.
“Jelaskan dong pelit amat sih ya tuhan.” Keluhnya dengan kesal.
Aku menarik napas keras-keras, apanya yang singkat ujung-ujungnya minta dijelaskan kayak gebetan ditinggal pas lagi sayang-sayangnya.
“Oke Iqbal, genteng di datang tepat waktu. Tapi sayangnya di banyak kesempatan obrolannya dan cara tangannya bertindak terus-terusan ke arah ranjang. Beberapa kali ia bahkan memaksa ku untuk meraba tubuhnya, dan begitu pula sebaliknya. Lalu ada anak SMA baik hati yang menyelamatkanku pada akhirnya aku berkencan dengan dia dan dia juga yang mengantarku pulang. Dia dan kakaknya bernama Banyu yang suka meneleponku setiap hari. Untuk hal-hal tidak penting ala anak SMA yang lagi nggak punya pekerjaan.” Jelasku cepat.
“Wait, lo kencan sama anak SMA?” Tanya Vivi dengan raut muka keheranan. “Sejak kapan doyan sama bocah?”
Tentu saja, setlah menyebutkan anak SMA Vivi akan berubah berapi-apai. “Why dia cute, baik dan setidaknya membuatku terus tertawa karena hal tidak berguna.” Belaku
Vivi mengelus dada tanda ia sedang mencoba untuk bersabar. “Sadar Jo, dia masih bocah lo udah tante-tante. ingat umur, ingat dosa.”
Aku tidak bisa untuk tidak tersenyum, terkadang menyenangkan menggoda ibu dua anak ini. “Ngomong-ngomong malam ini aku ada agenda nonton sama dia, jadi aku mohon kau membantuku berdandan untuk terlihat cantik di hadapan dia. Oke.”