Looking for j (l) o (v) (e) b

meyniara
Chapter #1

Dia

Rona jingga di langit sore hari ini mulai memudar, menandakan hari akan segera beranjak malam. Aku masih saja betah duduk berlama-lama di teras depan kosanku. Koran-koran yang kubeli tadi pagi masih tergeletak berantakan di meja bundar, di hadapanku. beberapa bagian sudah penuh kutandai dengan stabilo merah mudaku. Ya, bagian koran yang menampilkan info lowongan pekerjaan sudah kuwarnai semua sebagai incaranku.

"Masih belum ada kemajuan juga?" tanya Della yang datang dari dalam rumah.

Aku menggeleng tak bergairah.

"Udah dilanjut nanti aja, gih." Della duduk di sampingku dan melipat koran-koranku.

Aku beralih dengan ponselku.

"Udah, nanti aja." Della merebut ponselku.

"Iiih." gerutuku.

"Lo lagian dari pagi, dari gue berangkat kerja, sampe sore, masih betah aja di sini."

"Ya, namanya juga pengangguran, Del," aku menghela napas panjang."Gue kan, lagi usaha cari info loker. Dari koran, medsos juga."

"Iya, gue tau. Tapi, lo harus ngurusin diri lo juga, harus jaga kesehatan. Terus, jangan sampe telat makan lagi, nanti sakit."

"Rasanya mau nyerah aja, Del," aku menyandarkan tubuhku ke kursi."Cari kerja di Jakarta susah."

"Yah, jangan nyerah gitu, dong. Kan, lo masih punya banyak cita-cita yang mau lo wujudin." Della menggenggam tanganku.

Aku mencoba memaksakan senyumku.

"Gini deh, lo coba kirimin CV lo ke email gue. Terus nanti lanjut gue yang kirimin ke email perusahaan tempat gue kerja," ucap Della dengan penuh semangat."Soalnya, gue lupa alamat lengkap email tempat gue kerja. Biar nanti sekalian gue cek, pas lo udah kirimin ke email gue."

"Tapi kan, gue udah pernah kirim CV yang tulis tangan beberapa bulan lalu. Udah enam bulan malah, gak ada respon." kataku ragu.

"Ya, namanya juga usaha, Ta."

"Lagian, perusahaan kayak tempat lo kerja, emang mau nerima orang yang cuma lulusan SMA kayak gue, Del?"

"Lo gimana, sih," Della menatapku sinis."Kan, biasanya yang paling semangat diantara kita tuh, diri lo. Kenapa jadi pesimis gitu?"

"Ya abisnya, udah hampir satu tahun gue di Jakarta nganggur, belum dapet kerjaan lagi. Gue gak enak selalu nyusahin lo di sini."

"Ya ampun, Ta. Gue udah anggap lo kayak ade gue sendiri, bukan sekedar temen aja. Jadi, gak usah berpikiran kayak gitu."

"Tetep aja gue gak enak, Del. Kan, lo juga punya keperluan sendiri yang harus dipenuhi, bukan sekedar bantuin hidup gue."

"Gue bantuin lo dengan ikhlas, Ta."

"Iya, gue percaya," kataku sambil tersenyum."Tapi, kalo bulan depan gue belum dapet kerja juga, mungkin gue bakal balik ke kampung, Del."

"Hmmm... tega banget lo sama gue. Terus akhirnya, ninggalin gue sendirian di kosan ini?"

"Mau gimana lagi, Del, daripada gak ada progress di sini."

"Oke, semua keputusan sih, ada di tangan lo. Yang penting, malam ini juga, lo harus kirimin CV lo ke email gue. Biar cepet prosesnya. Nanti, gue terusin ke tempat gue kerja."

"Iya."

"Yaudah, sana. Mandi, makan." Della tertawa.

"Iya." ucapku sambil berlalu pergi ke dalam rumah.

Saat malam tiba, aku menuruti perkataan Della untuk mengirimkan CV-ku ke alamat emailnya. Setelah itu, aku memutuskan beranjak tidur lebih awal. Aku merasa lelah setelah hampir seharian tadi berkutat dengan koran-koran dan internet untuk mencari info lowongan pekerjaan.

***

Pagi ini, alarmku berbunyi pada pukul lima. Aku segera beranjak bangun untuk menunaikan sholat lalu mengerjakan beberapa pekerjaan rumah di kosan ini seperti biasanya.

 Della adalah temanku sejak satu tahun silam. Aku bertemu dengannya di kosan ini, saat masih sama-sama berjuang mencari pekerjaan di Ibukota. Nasibnya lebih baik dariku. Dia beruntung karena mendapatkan pekerjaan lebih dulu daripadaku. Setelah tiga bulan kos di sini, dia mendapatkan panggilan kerja di sebuah perusahaan properti di pusat Ibukota. Aku tidak pernah iri dengannya atas kesempatan kerja itu. Karena dia memang layak mendapatkannya. Lagipula, rezeki kan, sudah ada bagiannya masing-masing. Walaupun Della seorang Sarjana Ekonomi, sedangkan aku hanya lulusan SMA, namun Della tak pernah menyombongkan dirinya sama sekali di depanku. Della adalah sosok yang ramah, baik hati. Bahkan dia bersikap baik kepadaku, orang yang tidak mempunyai hubungan darah dengannya.

  Selama aku belum mendapatkan pekerjaan lagi, kurang lebih tiga bulan terakhir semenjak aku kehabisan uang tabungan, Della selalu membantuku. Dia yang membayar biaya kosku, biaya makan dan segala keperluan lain. Tak jarang pula, setelah gajian Della mengajakku makan di restoran atau membelikanku barang-barang lain di mall. Berulang kali aku ingin balik ke kampung halamanku, tapi Della selalu menahan kepergianku. Namun keputusanku telah bulat. Jika bulan depan aku belum mendapatkan pekerjaan lagi, aku akan tetap pergi dari sini. Kemudian, untuk sedikit membalas kebaikan hatinya, aku selalu memasak makanan untuknya dan mengerjakan pekerjaan lainnya di kosan ini. Walau tak seberapa, Della terkadang justru memarahiku untuk tidak melakukan hal itu. Seperti menyiapkan sarapan untuknya pagi ini.

“Harus berapa kali gue bilang sih, Ta? Lo itu temen gue, bukan pembantu gue!” bentaknya.

“Kalo gue temen lo, berarti lo harus makan nasi goreng buatan gue.” Aku menyodorkan sepiring nasi goreng padanya.

“Lo susah banget sih, dikasih taunya.”

“Sama kayak lo, susah banget buat biarin gue pulang kampung.” Aku tertawa.

“Kalo itu, gak ada hubungannya.” Della memberengut kesal.

“Ya jelas ada, Del. Ini sekedar balas budi gue atas kebaikan lo, walaupun gak seberapa.”

“Ta…”

“Udah, cepet sarapan. Nanti telat kerja, lho.” sergahku.

“Makasih banget atas semuanya, Ta. Tapi, jangan pernah berpikir kalo gue minta imbalan ini semua atas apa yang gue lakuin ke lo.”

“Iya, gue tau. Udah, cepet diabisin sarapannya.”

Della mulai menyantap nasi goreng buatanku. Kami sarapan berdua pagi ini dengan menu nasi goreng dan teh manis hangat. Begitu sederhana, namun terasa nikmat. Khususnya buat pengangguran sepertiku ini. Di kosan ini memang hanya ada kami berdua. Kami menempati satu rumah yang tidak begitu besar. Namun, kosan ini lengkap dengan ruang tamu, dapur , kamar mandi dan dua kamar tidur. Serta tak ketinggalan pula, teras mungil yang lengkap dengan aneka tanaman hias serta rerumputan hijau yang menyejukkan mata. Tentu, semuanya dengan ukuran yang tidak terlalu besar.

“Oiya, Ta, CV lo udah gue kirimin ke email perusahaan tempat gue kerja. Semoga aja cepet di proses ya, serta lo diterima.”

“Amin, semoga,” aku tersenyum kearahnya.”Dipanggil aja dulu…”

“Iya, semoga.”

Aku menyeruput teh hangatku, begitu juga Della. Kulihat dirinya yang selalu gelisah melirik arlojinya.

“Gue berangkat dulu, ya.” Dia bangkit dari kursinya.

“Iya, hati-hati.”

 Aku kemudian merapikan meja makan dan melanjutkan pekerjaan rumah lainnya. Seperti biasanya, ketika semua pekerjaan rumah telah selesai kubereskan, aku kembali berkutat dengan usahaku mencari info lowongan pekerjaan. Aku seperti lupa waktu. Dari pagi, petang, kadang berlanjut hingga malam menjelang, banyak kuhabiskan waktuku untuk mencari lowongan pekerjaan dan mengirim CV-ku. Meskipun kenyataannya, belum membuahkan hasil yang baik dan memuaskan untukku.

 Bola mataku seakan telah terlatih, begitu cekatan melihat setiap rangkaian kata yang tertera pada info lowongan pekerjaan. Satu-persatu deretan info itu kutandai dengan Stabilo yang dengan mantap kusangga pada jari-jemariku. Tak jarang, kusilangkan daftar itu ketika kualifikasi yang menjadi persyaratannya tidak ada pada diriku.

“S1,S1,S1.” kataku lirih sambil memberikan tanda X pada info itu.

“Koran….”

Aku mendongak, lalu bergegas menuju ke gerbang rumah untuk membeli koran dari penjual langgananku yang lewat di depan kosan setiap pagi. Setelah membayarnya, aku kembali duduk di teras. Aku kembali mengecek info lowongan pekerjaan pada koran yang terbit di tanggal itu.

“Yang dibutuhin cowok.” gumamku melihat baris pertama pada info loker di koran yang baru saja kubeli.

Aku kini beralih pada ponselku, membuka sosmed. Lebih tepatnya, akun-akun yang menawarkan info lowongan pekerjaan. Beberapa kucatat, yang sekiranya dari kualifikasi itu sesuai denganku. Namun, lagi-lagi banyak lowongan kerja yang kutemui dengan kualifikasi minimal pendidikannya D3 atau S1. Tentunya, lengkap dengan pengalaman kerja di bidangnya masing-masing.

“Huh.” Aku menyandarkan tubuhku pada kursi, seraya beristirahat sejenak.

Kulirik jam pada ponselku, ternyata sudah pukul setengah satu siang. Akupun merapikan koran-koran yang berserakan di meja. Aku lalu masuk ke dalam rumah untuk melaksanakan sholat zuhur dan dilanjutkan memasak untuk makan sore nanti. Memasak menu untuk dimakan Della nanti setelah pulang kerja. Kali ini menu masakan yang kubuat adalah ayam goreng dan sayur sop. Selesai memasak, aku merebahkan tubuhku di sofa ruang tamu. Namun, nampaknya aku tertidur pulas setelahnya. Saat itu, aku melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul lima sore. Kulihat Della telah berada di sofa yang berseberangan denganku.

“Eh, Della udah pulang,” aku menegakkan tubuhku.”Maaf ya, aku ketiduran.”

“Kenapa harus minta maaf sih, Ta. Ada juga gue yang harusnya minta maaf,” Della tertawa.”Gue udah makan duluan masakan lo, gue laper banget pulang kerja.”

“Iya, gak apa-apa, Del. Itu kan, emang sengaja gue masak buat kita makan sore ini.”

“Yaudah makan gih, sana.”

“Nanti ajalah, gue belum laper.”

“Jangan telat makan, lho.”

“Iya.”

“Oiya Ta, tadi gue udah ngomong sama si-iceman buat ngecek email, ngecek CV lo. Siapa tau kan, memenuhi kriteria yang dibutuhin.”

“Si-iceman, siapa?” tanyaku heran.

“HRD di perusahaan gue.”

“Owh. Kok, lo manggilnya iceman, sih?”

“Dia itu, cowok terdingin di kantor gue, Ta. Tapi gue naksir, sih.” Della tersenyum sumringah.

Aku balas tersenyum.

“Kayaknya sih, tuh cowok belum punya pacar, Ta.”

“Sok tau lo, kayak peramal.”

“Iyalah, mana ada cewek yang mau sama cowok dingin kayak Dia.”

“Lha, itu lo mau?” Aku tertawa meledek.

“Iya sih,” Della tertawa menimpali.”Abis, gak tau kenapa gue jatuh hati, Ta. Sejak pertama ketemu Dia.”

“Emang, kira-kira umur berapa, Del?”

“Paling seumuran kayak lo, Ta. Ya, satu tahun di bawah gue.”

“Owh, berarti termasuk masih muda, ya?”

“Ya, begitulah.”

“Yaudah, lo gebet sana.” ledekku.

“Tapi gak tau, ah.” Della menggeleng.”Tuh cowok kayaknya susah dideketin. Dia gak bisa ditebak. Soalnya, sikapnya dingin ke cewek-cewek. Terutama di kantor."

“Mungkin, karena lo belum kenal deket sama dia. Jadi, dia lo anggap iceman.” Aku tertawa lagi.

“Gak taulah, Ta. Nanti lo juga bakal ketemu sama dia kalo lo dipanggil buat interview.”

“Oh, jadi ceritanya, seorang Della jatuh hati sama si-iceman-HRD itu?”

“Entahlah.”

Aku hanya tersenyum melihat ekspresi Della.

Hari-hari setelah saat itu, aku masih mengerjakan aktivitas seperti biasanya, begitupun dengan Della.

***

Beberapa minggu setelah Della mengirimkan CV-ku ke perusahaan tempatnya bekerja, tiba-tiba aku mendapatkan telepon untuk panggilan interview kerja.

“Halo, selamat pagi.” sapa suara seorang lelaki yang terdengar begitu ramah.

“Pagi.”

“Benar dengan Mbak Juliani Gita Ayralia?”

“Iya, benar. Ada apa, ya?”

“Menanggapi CV yang Mbak kirimkan beberapa pekan lalu ke perusahaan kami, kami mengharapkan kedatangan Mbak besok pagi untuk melaksanakan proses tes dan interview kerja.” jelasnya.

“Iya, Pak. Jam berapa, ya?” tanyaku dengan semangat.

“Untuk lebih lengkapnya, saya akan kirimkan melalui email yang tertera pada CV Mbak. Mohon dicek dan diikuti persyaratannya. Saya rasa, hanya itu yang saya bisa infokan untuk saat ini.”

“Baik Pak, terimakasih.”

Lalu sambungan telepon terputus.

   Pukul dua belas lebih lima belas menit, aku menghubungi Della. Aku ingin memberitahukan kabar ini pada saat jam makan siangnya.

“Halo, Del. Tadi, gue dapet telepon dari kantor lo. Besok, gue disuruh dateng buat tes dan interview kerja.”

“Oh, bagus dong. Syukurlah. Semoga lancar ya, besok.”

“Iya. Makasih ya, Del.”

“Iya, sama-sama. Udah dulu ya, gue mau lanjut makan siang.”

“Oke, maaf ya kalo gue ganggu jam makan siang lo.”

“Engga, kok. Bye.”

Bye.”

  Aku kemudian menyalakan laptopku untuk mengecek email masuk. Benar saja, ada satu pesan masuk yang berisi persyaratan apa saja yang harus kubawa untuk melaksanakan tes dan interview besok. Tentunya, lengkap dengan tempat serta jam pelaksanaannya. Setelah mencatat hal yang kurasa diperlukan, aku mulai mempersiapkan apa saja yang akan kubawa besok. Termasuk menyiapkan pakaian yang akan kukenakan pada proses seleksi esok hari.

“Selesai!” seruku dengan bahagia usai menyiapkan semuanya.

  Aku kini melangkah ke teras depan ketika jam menunjukkan pukul lima sore. Sejenak, aku menikmati senja yang mungkin saja menjadi senja terakhirku di masa menganggur ini, semoga.

   Langit sore ini begitu indah, seindah rasa bahagiaku untuk menyambut hari esok. Pengharapan yang begitu tinggi kugantungkan untuk beberapa jam ke depan. Lalu, mataku beralih ke depan gerbang. Beralih pada sosok yang semakin kukenal hingga sekarang. Della baru saja pulang kerja. Senyuman ramahnya telah kulihat dari kejauhan. Tiba di teras, Dia langsung menghampiriku dan duduk di sampingku.

“Udah disiapin perlengkapan buat besok?” Della membuka heels hitam lima sentinya yang digunakannya untuk bekerja.

“Udah semua, sih. Cuma, gue adanya heels tiga senti.”

“Ya, gak apa-apa, pake aja,” ucapnya santai.”Oiya, jam berapa besok tes dan interviewnya?”

“Jam 8.30.”

“Yaudah, bareng gue aja berangkatnya. Jadi, lebih awal lo tiba di sana.”

“Oke.”

“Sip. Kalo gitu gue mandi dulu ya, sekarang.” Della melangkah pergi ke dalam rumah.

Aku hanya mengangguk mengiyakan.

 Aku kembali menatap ke langit tinggi. Binar senja semakin memudar, digantikan dengan rona gelap yang mulai membayangi. Sore hari akan segera cepat berganti. Lampu-lampu di jalan depan mulai menyala. Tak banyak lagi orang berlalu lalang. Bahkan, hampir tak ada lagi. Begitu sepi. Aku memutuskan untuk segera masuk ke dalam rumah.

 Sesampainya di dalam rumah, Della mengajakku untuk segera menuju ke meja makan. Dia membawakan makanan untuk makan sore ini, nampaknya. Akupun duduk berhadapan dengannya.

“Ini, tadi gue beli teriyaki dari resto jepang deket kantor. Abisin, ya.” Della menyodorkan makanan itu ke arahku.

“Lo gak makan?”

“Gue udah makan di sana, tadi. Bareng temen kantor gue, sebelum pulang. Terus, ini gue beliin buat lo makan di rumah.”

“Makasih ya, Del.”

“Iya,” Della tersenyum memperhatikanku yang kini mulai menyantap makanan yang dibelinya untukku.”Jangan lupa, dicek lagi nanti sebelum tidur perlengkapannya. Jadi, besok pagi tinggal berangkat.”

Aku hanya mengangguk sambil mengunyah makanan.

“Jangan tidur terlalu malem juga. Istirahat yang cukup, biar besok fit.”

Lihat selengkapnya