Looking for j (l) o (v) (e) b

meyniara
Chapter #2

Like a Dream

Tiga hari menjelang kepulanganku ke kampung halaman, aku mulai mempersiapkan segalanya. Pakaian mulai kukeluarkan dari dalam lemari untuk kumasukkan pada tas yang akan kubawa pulang nanti. Della masih menemaniku di kamar.

“Lo beneran, Ta?”

“Iya.”

“Gak bisa nunggu sebulan lagi, gitu?”

“Enggak, Del,” ucapku dengan yakin.”Lo bukannya berangkat kerja sana, nanti telat.”

“Iya, bentar lagi.”

“Udah jam berapa ini?” tanyaku memastikan.

“Iya, gue berangkat.” Della memelukku.

Aku hanya mengusap-usap bahunya.

“Gue berangkat, ya.”

“Iya, hati-hati.”

 Aku kembali merapikan pakaianku. Beberapa baju mulai kumasukkan ke dalam tas. Kulihat jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku mengingat lagi bagaimana raut wajah Della sebelum berangkat kerja. Dia terlihat enggan berangkat kerja, seperti yang diungkapkannya kemarin malam. Namun, aku selalu mengingatkannya untuk tetap masuk kerja. Della sangat ingin menghabiskan waktu lebih banyak lagi bersamaku, sebelum aku meninggalkan kota ini. Karena aku akan berangkat Sabtu pagi, otomatis tak banyak waktu yang Della punya bersama denganku pada hari-hari kerjanya kini. Di sela waktu aku melipat baju-bajuku, tiba-tiba saja ponselku berdering. Kulihat panggilan dari nomor yang tak kukenal.

“Halo?” tanyaku memulai percakapan.

“Halo, Gita?”

“Iya. Ini siapa, ya?”

“Ini Zyan, Ta. Gue tau nomor lo dari CV lo kemarin.”

“Oh, iya. Kenapa?”

“Sore nanti, bisa ketemuan gak? Ada yang mau gue omongin.”

“Emangnya, lo gak kerja hari ini?”

“Kerja. Nanti, pulang kerja gue jemput lo, ya?”

Aku terdiam sejenak. Aku memikirkan, bagaimana nantinya jika Della melihatnya. Jadi kuputuskan jalan lainnya.

“Emang mau ketemuan dimana? Gimana kalo ketemuan langsung di tempatnya aja?”

“Hmmm… Yaudah, deh. Nanti, gue kasih tau alamat tempatnya. Gak jauh dari kantor, sih.”

“Oh, oke.”

“Yaudah, ya. Bye.”

 Sambungan telepon telah terputus. Aku bertanya-tanya dalam hati, hal apa yang akan dibicarakan oleh Zyan.

“Hah, sudahlah.” gumamku.

 Aku kembali merapikan pakaianku tanpa memikirkan Zyan. Kemudian, ponselku kembali bergetar. Ternyata, pesan dari Zyan. Seperti janji sebelumnya, Zyan mengirimkan alamat tempat pertemuan kita nanti. Sebuah kafe yang tak begitu jauh dari kantornya menjadi tempat yang dituju. Aku meletakkan kembali ponsel ke tempat tidur, lalu menyelesaikan persiapanku hingga pukul sebelas siang.

Kira-kira pukul dua belas siang, ponselku berbunyi. Kulihat masih dari nomor yang sama. Zyan kembali meneleponku.

“Ada apa lagi?”

“Tau kan, tempatnya?”

“Iya, tau.”

“Jangan sampe gak dateng, ya.”

“Emang mau ngomongin apa sih, kalo boleh gue tau? Kenapa gak lewat telepon aja?” tanyaku penasaran.

“Pokoknya penting, deh.”

“Yaudah, iya.” ucapku pasrah.

“Oke, bye.”

Bye.” Kini aku memutuskan sambungan telepon duluan.

 Aku menuju ke teras depan, duduk merenung sendirian. Merenung, memikirkan apa yang akan kulakukan jika aku telah meninggalkan kota ini nanti. Memikirkan tentang perpisahan, dari segala hal yang terjadi di kota ini. Tentang Della. Lalu kini, Zyan. Bahkan, aku tak sampai hati berani untuk menanyakan mengenai kejelasanku bekerja di perusahaan itu. Karena waktukupun, sudah sangat dekat untuk pergi dari kota ini. Jadi, aku harus mengikhlaskan segalanya. Segala beban pikiran yang tersisa.

Aku kembali kedalam rumah. Aku menyiapkan diri untuk pertemuanku nanti sore, setelah jam pulang kerja Zyan. Aku mengeluarkan satu kemeja berwarna biru dan satu jeans hitam dari dalam lemari yang telah kupisahkan sebelumnya untuk kukenakan saat menemui Zyan. Barang-barangku yang lainnya telah rapi kupacking untuk pulang kampung.

Baru pukul tiga sore, tapi aku memutuskan untuk merapikan diri lalu bergegas keluar rumah. Aku berencana pergi ke taman kota terlebih dahulu. Aku mengunci pintu dan meletakkan kunci itu di dalam vas bunga yang berada di meja teras depan. Tak lupa kukirimkan pesan pada Della bahwa aku pergi keluar sebentar dan tentunya tentang letak kunci itu. Aku tak memberitahukan secara detail padanya kemana aku pergi.

Sesampainya di taman, aku mencari tempat duduk yang nyaman. Di bawah pohon Akasia, kupilih kursi taman untuk kutempati. Ada empat kursi bulat lengkap dengan meja kecilnya dan aku duduk di salah satu kursi itu. Kumainkan ponselku, hingga terlintas sebuah pemikiran.

“Lebih baik, bertemu di tempat ini.” pikirku.

Aku kemudian mengirimkan pesan pada Zyan, agar menemuiku di taman setelah dia pulang kerja nanti. Kulirik lagi arlojiku, baru pukul empat sore. Akhirnya, aku pergi menuju tempat penjual makanan dan minuman yang ada di taman. Aku membeli satu botol teh dalam kemasan, lalu memesan satu porsi burger. Aku sadar, aku belum makan dari siang hari tadi. Aku duduk menunggu pesananku di kursi yang telah disediakan oleh penjual burger di sini.

“Sendirian aja, Mbak?” celetuk si penjual burger.

“Iya, lagi nunggu temen.”

“Oh…”

“Libur kerja, Mbak?”

“Saya belum kerja, Mas.” Aku tersipu malu.

“Oh, maaf. Iya sih, cari kerja itu emang gak gampang.”

Aku hanya tersenyum.

“Saya aja, jadi buka usaha burger keliling kayak gini. Gara-gara habis masa kontrak kerja dan belum dapet kerjaan lagi setelahnya.”

“Masnya masih beruntung, punya keterampilan buat buka usaha. Kalo saya mah enggak. Modal apalagi, gak punya.”

“Saya juga modal seadanya, Mbak. Uang sisa tabungan semasa saya masih bekerja.” jelasnya.

Kini dia menyerahkan burger pesananku.

“Makasih.” Aku menerima burger itu dan membayarnya.

“Semoga cepet dapet kerja ya, Mbak.” katanya sambil tersenyum.

“Aamiin. Permisi ya, Mas.” Aku pergi menuju ketempat dudukku semula.

 Aku duduk sambil menikmati makanan dan minuman yang telah kubeli. Kadang, kulihat ponselku untuk mengecek pesan masuk. Namun, tak ada balasan dari Della maupun Zyan hingga waktu hampir menunjukkan pukul setengah lima sore. Burgerku telah habis namun belum ada tanda-tanda balasan pesan dari Zyan, apalagi kedatangannya.

“Apa dia membaca pesanku? Apa dia tau jika aku mengganti tempat pertemuan ini?” tanyaku dalam hati.

Aku masih tetap setia menunggu, meski cuaca sedikit mendung di sini. Kepalaku kurebahkan di atas meja, sambil kumainkan ponselku. Kuputar-putar ponselku ke segala arah. Sesekali, aku menegakkan tubuhku kembali dan terus berulang begitu secara bergantian. Tanpa kusadari, seseorang telah datang menemaniku. Dia kini duduk di seberang kursiku.

“Maaf. Udah nunggu lama, ya?”

“Eh, enggak, kok.” Aku lantas menegakkan posisi dudukku.

“Mau pesen makanan atau minuman dulu?”

“Buat lo aja. Kebetulan, gue udah makan.”

“Bentar, ya.”

“Iya.”

Aku melihat dia pergi menuju ke penjual minuman yang tadi kudatangi. Tak sampai lima menit, dia telah kembali dengan membawa dua botol cappuccino dalam kemasan. Dia menyodorkan satu botol kearahku.

“Gue udah minum juga kok, tadi.”

“Udah, gak apa-apa. Ambil aja.”

“Yaudah. Makasih, ya.”

Dia hanya mengangguk lalu mulai meneguk minuman itu.

“Mau ngomongin apa?” tanyaku tanpa basa-basi.

 Dia kemudian membuka tas kerjanya, mengeluarkan sebuah map yang berisi lembaran-lembaran kertas. Aku tak bisa menebak lembaran kertas apa yang dibawanya.

“Jujur, waktu tes kemarin sebenernya pada soal-soal Bahasa Inggris lo gak lolos.” ucapnya dengan nada lembut.

Hatiku mencelos. Tubuhku seakan lemas mendengarnya. Harapanku benar-benar pupus untuk bekerja di sana. Harapan untuk mendapatkan sebuah pekerjaan.

“Oh, gak apa-apa.” kataku yang berusaha terlihat baik-baik saja.

Zyan menatapku lekat, hingga aku harus mengalihkan pandanganku ke arah lain. Mungkin, dia bisa melihat mataku yang berkaca-kaca. Aku merasakan mataku mulai berat, seperti menahan air mata.

“Jangan sedih.” Dia menggenggam kedua tanganku.

“Enggak, kok.” Aku berusaha tersenyum untuk meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja.”Ya, mungkin bukan rezeki gue buat kerja di sana. Buat kerja di Jakarta juga.”

Aku menguatkan diri untuk kembali menatap Zyan.

“Terus, rencana lo selanjutnya apa?”

“Belum tau. Yang jelas, akhir pekan nanti, gue bakal balik ke kampung halaman gue.”

“Minggu ini?” Dia terlihat kaget.

“Iya.”

“Kenapa secepat itu?”

“Gue udah hampir lebih dari satu tahun di Jakarta dan sampai sekarangpun belum dapet kerjaan lagi. Jadi, gue mutusin buat balik ke kampung.”

“Lo gak mau berjuang lagi? Gak mau berusaha lebih lagi?”

“Gue udah berusaha selama ini, Yan. Mungkin, emang sampai di sini batas akhirnya gue berjuang.”

“Enggak, Ta. Semua ini belum berakhir.”

“Maksud lo?” tanyaku heran.

“Gini,” Zyan lebih mendekatkan posisi duduknya ke arahku.”Gue minta satu kesempatan lagi sama atasan gue, buat nyeleksi lo dan dia ngajuin tes lisan buat lo. Langsung ketemu sama dia.”

“Tes lisan Bahasa Inggris?”

“Ya, salah satunya. Umumnya sih, lebih kayak kemampuan komunikasi lo. Karena yang dibutuhin kan, untuk posisi resepsionis.”

“Gue tes tertulis aja udah gak lolos, gimana tes lisannya?” Aku tersenyum ragu.

“Ini kesempatan terakhir lo, Ta. Lo harus berusaha lagi, semaksimal mungkin.”

“Gue sih, realistis aja, Yan, sama kemampuan gue yang terbatas. Nyadar diri sama pendidikan akhir gue yang gak maksimal.”

“Gue bakal bantuin semampu gue, Ta. Asalkan lo juga bener-bener mau berjuang lagi. Lo enggak pesimis dan nyerah kayak gini.”

“Makasih kalo lo mau bantuin gue, Yan. Tapi, gue gak mau ngecewain lo. Gue gak mau ngecewain orang-orang yang udah baik sama gue di sini.”

“Makanya, kalo lo gak mau ngecewain gue, lo harus terima kesempatan ini.”

“Tapi, Yan….”

“Gini,” Dia menyerahkan lembaran-lembaran kertas kepadaku.”Gue udah buatin lo beberapa materi yang mendekati sama pembahasan yang nanti bakal lo temuin pas tes lisan.”

Aku membaca lembaran-lembaran materi yang tertera di kertas itu.

“Ada beberapa materi Bahasa Inggris juga. Nanti, gue bakal bantu ajarin lo, semampu gue. Sampe hari tes lo tiba.”

Kini, aku yang menatap lekat Zyan dengan beragam pertanyaan yang terlintas dibenakku pula. Mengenai semua hal yang dikatakannya dan dilakukannya.

“Gue cuma bisa ngajarin lo pas weekend aja. Selebihnya, lo belajar sendiri. Tapi, gue janji. Gue akan berusaha maksimal juga buat bantuin ngajarin lo. Kita cuma punya waktu sebulan kedepan dan mungkin gak sampe sepuluh kali pertemuan gue bisa ngajarin lo. Hanya beberapa kali selama weekend dalam satu bulan, Ta.” jelasnya.

“Yan, gak usah. Ini nanti, cuma ngerepotin lo aja. Tanpa jaminan pasti gue bisa melaluinya atau enggak.”

“Selama kita mau berusaha, kita gak akan pernah nyesel berjuang, Ta. Lo yakin, mau lewatin kesempatan ini?”

“Kenapa lo mau repot-repot ngelakuin ini semua, Yan?”

“Gak repot, Ta. Lagian, apa salah, gue mau bantuin temen gue sendiri?”

“Apa ini gak berlebihan, Yan?” Aku memasukkan lembaran-lembaran kertas itu ke mapnya lagi.

“Enggak, Ta.”

Aku diam tak berkata apa-apa.

“Udah, kertas-kertas itu lo bawa pulang. Lo coba baca-baca dulu. Nanti pas weekend, baru kita bahas sama-sama. KIta bahas mana yang sekiranya ada yang gak lo pahami.”

 Aku menghela napas panjang, “Oke.”

“Nah, gitu dong. Yang semangat juga, tapinya.” Zyan tersenyum lebar.

“Makasih ya, lo udah mau bantuin gue.”

“Mau gua anter pulang?” Zyan melihat jam tangannya.

“Boleh.”

Kamipun berjalan meninggalkan taman menuju ke mobil Zyan.

“Gak nyangka deh, bisa ketemu lo lagi,” kataku memulai percakapan.”Dan sekarang, lo udah sukses. Sedangkan gue masih sibuk cari kerja.”

“Kalo gue sukses, gue punya perusahaan sendiri, Ta.” Zyan mulai mengemudikan mobilnya.

“Seenggaknya lo lebih baik dari gue, Yan.”

“Ya, gak gitu juga, lah.”

Aku kini menatap keluar kaca mobil, menatap jalan yang mulai diterangi lampu-lampu karena hari mulai beranjak gelap.

“Tambah cantik aja lo, Ta, sekarang.”

Aku menoleh kearah Zyan, menatapnya dalam-dalam lalu tertawa,”bisa aja, lo.”

“Serius.”

“Makasih. Tapi gue sih, enggak ngerasa gitu.”

“Ya, terserah lo, deh.” Zyan tersenyum.

Mobil mulai berbelok arah ke kanan, ke sebelah Barat menuju ke arah kosanku.

“Lo tau jalan ke arah kosan gue?” tanyaku heran.

“Iya, gue pake aplikasi Maps. Terus gue kan, liat alamat kosan lo dari CV lo juga.”

“Oh.”

“Nanti, berenti di depan gang aja, ya.” Aku menunjuk sebuah gang dengan gapura yang dihiasi kesenian khas Jakarta.

“Kenapa?”

“Mobil gak bisa masuk sampe ke dalem.”

“Oh, gitu. Yaudah.”

Mobil berhenti tepat di gang yang kumaksud.

“Makasih banyak ya, Yan. Makasih atas semuanya.”

“Iya.”

Aku turun dari mobilnya. Tak lama kemudian, Zyan kembali melanjutkan perjalananya. Mobilnyapun berlalu pergi dari hadapanku. Aku kini menyusuri jalan menuju kosanku. Suasana begitu sepi, namun tak menggentarkan langkahku melewati area ini.

Pintu gerbang kubuka secara perlahan. Dari kejauhan, telah kulihat Della duduk di teras depan.

“Lo kemana, sih, Ta?” Della berdiri menghampiriku.

“Kan, gue udah WA lo. Udah gue kabarin.”

“Iya. Tapi sore setelah gue balik kerja, gue teleponin lo, gak bisa.”

“Iya, sorry. Hp gue mati.”

“Yaudah. Syukur lo udah balik dan gak kenapa-napa.”

“Iya. Makasih udah khawatirin gue.”

Kami berdua masuk ke dalam kosan lalu duduk di ruang tamu.

“Emangnya lo darimana, sih?”

Aku terdiam.

“Ta?”

“Abis ketemu Zyan.” Aku akhirnya menjawab jujur.

“Ngapain?”

“Dia minta ketemuan sama gue, ngebahas masalah tes kemarin.”

“Di kantor? Kok, gue gak liat lo berdua sama dia ya, tadi.”

“Bukan di kantor.”

“Pantes.” wajah Della terlihat masam.

Aku mengerti perasaan Della yang menyukai Zyan. Mungkin, dia cemburu akan hal ini. Entahlah.

“Terus, gimana? Diterima?” Della bertanya tanpa menatapku.

“Dia bilang, tes Bahasa Inggris gue gak lolos.”

“Udah, gitu doang?” Della kembali menatapku.”Dasar, iceman.”

“Katanya, gue masih punya kesempatan sekali lagi, kesempatan terakhir. Terus, dia kasih materi ini, buat gue belajar sebelum tes nanti.” Aku memperlihatkan lembaran-lembaran kertas itu.

Della mengeluarkannya dari map yang kubawa. Lalu, kertas itu dilihatnya secara berulang-ulang.

Aku tak menjelaskan secara detail kepadanya, tentang Zyan yang akan membantu mengajariku juga. Aku mencoba menjaga perasaan Della. Aku takut menyakiti hatinya jika benar dia merasa cemburu akan hal itu.

“Tuh orang, emang bener-bener, ya.” Della menggerutu kesal.

“Kenapa, Del?”

“Iya, mentang-mentang dia itu lulusan dari fakultas Sastra Inggris. Sampe tespun, Bahasa Inggris harus seperfect ini?"

“Mungkin, prosedur perusahaan kali, Del.”

“Lo kayaknya belain dia mulu, deh.” Della tertawa sinis.

“Bukan belain. Kan, dia juga kerja di perusahaan itu. Mungkin, dia hanya menjalankan tugasnya.” jelasku.

“Iya, kerja di calon perusahaannya sendiri.”

“Calon perusahaan sendiri?” tanyaku heran.”Maksudnya?

“Asal lo tau ya, Ta, “ Della menyerahkan kembali kertas-kertas itu kepadaku.”Zyan itu udah dijodohin. Gue juga baru tau, sih. Calon tunangannya Zyan itu, ternyata anak dari owner perusahaan di sana. Jadi secara gak langsung kalo mereka bener-bener nikah, perusahaan itu juga milik Zyan, dong?”

“Calon tunangan? Jadi, Zyan telah memiliki kekasih hati? Bahkan, untuk hubungan ke arah yang lebih serius lagi?” batinku.

Aku begitu terkejut mendengar hal itu.

“Mungkin, cinta pertamaku tak akan menjadi cinta terakhirku.” batinku lagi.

“Itulah kenapa, gue gak mau berharap lebih juga sama perasaan gue ke Zyan, Ta.”

Aku kembali terkejut untuk yang kedua kalinya.

“Jadi, Della benar-benar jatuh cinta dengan Zyan?” tanyaku dalam hati.

“Yaudah, Ta. Gue mau istirahat di kamar, ya.” Della berlalu pergi dari ruang tamu.

“Iya.” balasku cepat.

“Jangan lupa belajar, tuh.” Della lalu menutup pintu kamarnya.

 Aku kini merapikan lembaran-lembaran kertas itu dan memasukkannya kembali ke dalam map. Aku segera masuk ke kamarku. Tas dan map kuletakkan di atas tempat tidur. Tubuh ini tak lupa kurebahkan di sampingnya, untuk melepas lelah. Mataku belum bisa terpejam, walau kantuk mulai menghinggapiku. Aku masih memikirkan perkataan Della barusan. “Sebenarnya, apa yang kucari nanti? Pekerjaan?” tanyaku dalam hati.”Atau cinta?”

Aku memiringkan tubuhku, menatap ponselku lalu membuka galeri fotoku. Kulihat lagi foto-foto kenangan masa SMA yang masih kusimpan sebagian di memori ponsel ini. Beberapa foto dengan teman-temanku di sekolah, dari kelas satu hingga kelas tiga SMA. Tak ketinggalan, beberapa foto kenang-kenangan antara aku dan Zyan. Karena kebetulan juga, Aku dan Zyan berada di kelas yang sama selama tiga tahun. Kami cukup dekat, namun hungan kami tak lebih dari seorang teman. Namun, hati ini tak pernah cukup mengerti untuk hal itu. Hati ini terasa menginginkan lebih.

Zyan walau bukan pacar pertamaku, namun kurasa dialah yang menjadi cinta pertamaku. Karena berawal dari dirinyalah, aku mulai merasakan getar cinta itu. Merasakan cinta yang begitu dalam, walau dia tidak bisa menjadi milikku. Entah bagaiman awal mulanya aku bisa jatuh hati padanya. Yang jelas, cinta pertama itu akan tetap tersemat untuknya. Tersemat jauh di dalam relung hati dan pikiranku.

Sekarang, di saat harusnya aku merasa senang karena aku telah kembali bertemu dengan cinta pertamaku yang seperti ada dalam harapan dan mimpiku, namun kenyataannya tak semanis itu. Aku harus dihadapkan pada hal yang mungkin akan menyakitkan buat diriku sendiri. Della, teman terbaikku yang sudah kuanggap seperti sahabat dan saudara perempuanku sendiri, ternyata menaruh hati juga padanya. Lalu perihal calon tunangannya itu, aku tidak pernah tau sama sekali. Bahkan, untuk membayangkan jika Zyan telah menambatkan hatinya pada orang lain saja, rasanya aku tak mau. Apalagi untuk menuju ke jenjang pernikahan, antara dirinya dengan wanita lain selain diriku.

Aku tak tau bagaimana seharusnya perasaanku kini. Mungkin, sepatutnya aku bahagia bisa bertemu dengan cinta pertamaku lagi. Di lain sisi, aku merasa waktu pertemuan ini tidak tepat bagiku. Aku merasa, cinta pertamaku lebih baik dariku. Aku merasa belum siap untuk bertemu lagi dengannya di saat seperti ini. Aku masih sibuk mencari pekerjaan, di saat dia telah jauh lebih baik di depanku. Belum lagi, kenyataan lain yang harus kujalani saat telah dipertemukan kembali dengannya. Terasa begitu pahit, tak mengenakkan hati. Di saat takdir telah berjalan seperti ini, telah menuntun pertemuan sejauh ini, telah menciptakan hal-hal yang terjadi semuanya kini, aku harus bagaimana?

Perihal Zyan, perihal cinta pertamaku dan keadaanku kini, lantas apa yang akan kugapai? Apa yang harus kulakukan setelah pertemuan ini?

“Apakah aku fokus mencari pekerjaan atau cinta?” batinku kembali.

Aku menutup galeri foto itu dan memutuskan untuk beranjak tidur dengan segera. Sejenak melupakan hal-hal yang membebani hati dan pikiranku.

***

Beberapa hari setelah pertemuanku dan Zyan di taman, aku mulai mempelajari materi yang diberikan Zyan kepadaku. Aku belajar sendiri, seperti yang disarankannya. Lusa, adalah pertemuan pertamaku dengan Zyan untuk membahas materi ini yang tidak kupahami saat belajar sendiri. Kegiatan lainku di kosan tak berubah seperti biasanya, begitupun dengan Della. Dia masih ramah kepadaku. Setelah sebelumnya kukira dia akan cemburu atau marah perihal pertemuanku dengan Zyan.

Kulihat lembar pertama materi yang dibuatkan oleh Zyan. Ternyata, tenses Bahasa Inggris. Ada pula beberapa soal di halaman berikutnya. Aku coba menjawab sedikit demi sedikit sesuai batas yang bisa kukerjakan. Selama itu, tak ada pesan ataupun kabar lainnya dari Zyan hingga hari Minggu tiba. Dia memintaku untuk bertemu di taman seperti sebelumnya dan tentu saja aku menuruti permintaannya.

Hari itu, aku berangkat pukul sembilan pagi dari kosanku. Kebetulan, Della tidak ada di rumah. Dia menginap di rumah tantenya yang berada di Jakarta Selatan sejak Jumat sore. Kunci kosanpun kubawa dalam tasku saat itu. Tiba-tiba saja ponselku berdering.

“Halo, Ta?” sapa Zyan.

“Iya, ada apa?”

“Lo udah sampe di taman?”

“Belum. Gue masih di kosan, baru mau jalan ke sana.”

“Oh, bagus deh.”

Lihat selengkapnya