Aluna Zevanya, aku seorang perempuan mahasiswi perguruan tinggi swasta yang berusia 20 tahun. Aku hidup berdua hanya dengan seorang perempuan sekitar usia 40 tahun, yaitu Mama. Papa meninggalkan kami berdua karena Papa sering berbeda pendapat dengan Mama. Banyak sekali perbedaan diantara keduanya, baik hal kecil sampai hal besar.
Mama yang cita-citanya dulu menjadi seorang perawat atau guru harus gagal, karena kendala biaya. Waktu itu, nenek tidak sanggup membiayai kuliah Mama.
Maka dari itu, sekarang Mama mengharapkan anaknya menjadi salah satu dari itu. Yang pertama perawat, aku sangat amat menolak itu. Karena aku takut dengan darah dan hal-hal yang berhubungan dengan rumah sakit.
Dan yang kedua adalah, guru. Ya, aku menerimanya. Awalnya aku tidak setuju dengan kuliah pendidikan, namun lambat laun aku menyetujuinya. Aku mengambil prodi Pendidikan Guru Anak Usia Dini, dan sekarang sudah semester 3. Alasannya simpel, karena aku rasa prodi ini sangat penting bagiku dimasa depan untuk mendidik anak dengan cara yang baik dan benar.
"Ma, aku berangkat dulu. Nanti kalo mama berangkat kerja kuncinya taruh di pot tanaman biasanya ya."
Sudah menjadi rutinitasku setiap hari menggunakan jasa ojek online untuk pergi ke kampus. Karena aku tidak punya motor atau mobil, aku tidak mau menambah beban Mama untuk menyicilnya. Yang terpenting hidup kami sudah tercukupi itu lebih dari cukup.
"Sudah siap mbak?" Tanya sang bapak ojek online.
"Sudah pak."
Motor melaju dengan kecepatan normal, tidak lambat dan tidak cepat. Hari ini kota Surabaya lumayan padat, duduk diatas motor dan melihat hiruk pikuk kendaraan dijalan raya membuatku selalu berpikir.
"Apa hidup orang-orang pernah bahagia ya?"
"Semester berapa mbak?" Tiba-tiba bapak ojek online bertanya padaku.
"Semester 3 pak."
"Kuliah yang semangat ya mbak, kasihan orang tuanya kalau kuliahnya cuman dibuat main-main."
"Iya pak pasti."
Sang bapak terdiam sebentar,
"Harusnya tahun ini anak saya juga masuk kuliah mbak, cuman nggak bisa."
Aku sedikit memajukan kepalaku, "Kenapa pak?"
"Mahal mbak, saya nggak kuat. Saya jadi merasa bersalah jadi orang tua nggak bisa ngasih pendidikan yang tinggi buat anak."
Aku diam membisu, tidak tau harus berkata apa.
"Pak, kalau bapak nggak bisa nguliahin anaknya bukan berarti bapak gagal. Nggak semua anak sarjana bernasib baik kok pak, banyak yang cuman lulusan SMA dapat gaji yang tinggi, tinggal kita aja yang usaha sama berdoa. Sabar ya pak, semoga hal-hal baik selalu datang dikeluarga bapak."
Aku melihat senyum diwajah sang bapak dari kaca spion,
"Makasih ya mbak, semoga mbaknya juga selalu bertemu dengan orang baik."
Aku hanya tersenyum.
"Amin, semoga." Ucapku dalam hati.
***
Sebelum menuju kelas, aku hampir lupa bahwa aku belum sarapan. Dan aku langsung menuju kantin.