2006
Angin bertiup agak lebih kencang daripada biasanya. Bu Handoko bergegas membuka pintu belakang dan memeriksa jemuran-jemuran pakaian yang terjember pada tali-tali tambang plastik. Karena kencangnya angin pakaian-pakaian tersebut terontang-anting, Bu Handoko sampai menutup wajahnya karena angin juga membawa debu dan daun-daun kering bersamanya. Lalu angin berhenti, begitu saja.
Bu Handoko memeriksa satu demi satu pakaian, memilih mana saja yang dianggapnya kering, mengangkatnya dan mengumpulkannya dalam keranjang pakaian plastik yang dibawanya keluar bersama. Selembar pakaian tersisa di jemuran, pakaian Ido anaknya. Tadi siang Ido berbuat kenakalan lagi mengejar-ngejar angsa peliharaan tetangga lalu ia terjerembab jatuh ke kubangan. Siang-siang Bu Handoko mencuci baju si semata wayangnya itu agar nodanya tidak menetap, akibatnya pakaiannya masih basah. Bu Handoko membiarkan kaus pemain bola Ido tergantung saja pada tali jemuran, mengangkutnya ke dalam hanya akan membuatnya apek. Saat itu angin kencang mendadak berhenti bertiup. Tenang setenang-tenangnya. Bu Handoko mengangkut keranjang pakaian ke dalam lalu menutup pintu, karena hari sudah gelap. Beberapa lama setelah ia menutup pintu, saat senja turun menggantikan petang, semilir angin aneh datang. Angin yang menerpa pakaian Ido yang tersisa pada jemuran, menggoyang-goyangkannya dengan aneh sampai tali jemuran terguncang-guncang walaupun tiada daun atau ranting di sekitar sana yang ikut tergoyang.
*
Ido, nama panggilan dari Ridho, tujuh tahun, sedikit gemuk, lincah dan sedang lucu-lucunya. Ido baru saja menerima rapor kenaikan kelasnya. Usai liburan, ia akan menjadi siswa kelas dua. Bu Handoko sedang mengandung anak keduanya, sebentar lagi Ido akan menjadi kakak sehingga tak bosan-bosannya ia dan suaminya mengajari Ido mulai bertanggung-jawab atas apa-apa yang dilakukannya. Bu Handoko sedang melipati pakaian-pakaian yang tadi sore diangkatnya, memilah-milah mana yang cukup dilipat dan mana yang sebaiknya disetrika sementara Handoko menemani Ido yang tengkurap di lantai, menggambar di atas kertas buram dengan pensil warna. Televisi tabung di ruang tengah sedang menyiarkan kegiatan kunjungan Presiden Megawati ke suatu daerah.
“Gambar apa itu, Do?” Handoko bertanya.
“Gambar pemain bola, Yah. Ini Zidane.” Ido memamerkan hasil gambarnya, sebentuk lidi berkepala gundul dan berbaju biru. Handoko tidak bisa mencegah dirinya untuk tersenyum tapi ia tetap memuji.
“Bagus, Do.”
Ido meletakkan kertasnya lalu menagih utang ayahnya. “Katanya kalau Ido naik kelas dibelikan bola betulan.”
Handoko melirik istrinya, istrinya memberi syarat bahwa sudah saatnya mereka menepati janji mereka.
“Iya, Ayah belikan besok. Tapi Ido janji dulu, Ido tanggung-jawab sama bolanya. Sehabis main bolanya harus dibawa pulang, nggak boleh hilang. Bisa?”
“Bisa!” Ido bersemangat.
“Harus bawa bolanya pulang, ya. Janji?”
Ido memicing curiga sedikit, rasanya tidak mungkin ayahnya memberi hadiah semudah ini, “Ini bola betulan, kan? Kayak di piala dunia? Bukan bola plastik?”
“Iya, ayah janji.” Handoko menawarkan telapak tangannya dan Ido membalasnya dengan tepukan ceria. Ia langsung bangkit dan berlarian keliling ruangan rumah sambil meneriakkan kebahagiaannya. Handoko dan istrinya saling pandang sambil tersenyum. Hidup mereka rasanya begitu sempurna saat itu.
*
Sunarsih meremas-remas tangannya dengan gelisah. Seluruh persendiannya terasa ngilu karena merangkak sejak dari luar pendopo yang halamannya memiliki tangga berundak-undak. Dukun sakti di depannya ini memiliki kesombongan yang luar biasa, tamunya yang ingin berkonsultasi harus merangkak dari tangga terbawah hingga ujung ruang tamu yang luas di mana ia duduk bersila sambil mengopi. Bopo Ageng, begitu panggilannya adalah mantan santri yang diusir gurunya dari pesantren karena dianggap sesat. Sesungguhnya ia memang sesat sejak lama, alih-alih belajar ilmu agama di dalam pesantren ia malah menjadikan tema-teman pondokannya bahan percobaan usil imu hitam yang sudah diwarisinya dari almarhum kakeknya sejak kecil. Ia mulai dari menjahili mereka dengan tuyul-tuyul yang menyembunyikan uang dan barang-barang mereka. Barang hilang di dalam pondok itu sangat sensitif, teman-temannya saling tuduh dan bertengkar. Ia menyukai keributan semacam itu. Betapa manusia awam mudah sekali dipermainkan. Puncaknya ia mengajak beberapa teman pondoknya bermain ke hutan, beberapa kilometer dari pesantren. Ia kerap bertapa di sana mencari wangsit, tentu saja tanpa sepengetahuan siapapun di pesantren. Wangsit terakhir yang didapatnya mengatakan bahwa ia akan mendapatkan ilmu yang ia inginkan jika ia menumbalkan beberapa orang.
Rencana itu bocor, karena salah-satu calon tumbal merasa ada yang tidak beres dan ketakutan. Ia ketakutan, kabur dengan sepeda motor lalu memberi tau Romo Yai yang dengan beberapa pengasuh pensantren dan santri lainnya menyusul ke hutan dan menggagalkan rencananya. Ketiga calon tumbal sedang terbaring di atas batu besar, siap ia korbankan saat kepalanya dilempar batu sebesar sepatu oleh Romo Yai. Prosesi gagal dan teman-teman pondokannya bisa dibilang selamat kecuali satu orang bernama Satim. Satim kehilangan kesadaran, dan setelah beberapa minggu dirawat tanpa kemajuan di rumah sakit, Satim meninggal. Ia kemudian dikabari oleh sang pemberi wangsit bahwa tumbalnya diterima dan Satim sudah menghuni hutan larangan sebagai jaminan ilmunya. Ia tidak menyesal dikeluarkan dengan tidak hormat oleh Romo Yai walaupun tidak pernah bisa melupakan insiden pelemparan batu yang menyebabkan pelipisnya terluka dan meninggalkan jejak panjang yang ditutupinya dengan kain ikat kepala.
Hari ini dia sudah melayani konsultasi dua tamu. Satu minta disingkirkan lawan politiknya, satu lagi―seorang terapis spa―minta pengasihan agar mendapatkan suami kaya. Ia sudah tiga puluh empat, sudah bosan meladeni pelanggan mesumnya. Tamu ketiga ini udah ia ketahui maksud kedatangannya bahkan sebelum ia mencapai pagar pendopo. Jin pembisiknya mengatakan bahwa Sunarsih terbelit utang, ia membutuhkan jimat pesugihan agar usaha soto suaminya berjalan lancar.
“Jadi sampeyan ke sini mau apa?” Bopo Ageng tetap bertanya.
“Ampun, Bopo. Saya kemari mau minta tolong.” Sunarsih melirik takut-takut, tapi lelaki berkumis tipis dan berikat kepala itu tampaknya santai saja. Ia menghirup kopi hitamnya dengan ekspresi puas. Di dekat lelaki itu ada anglo kecil yang sedang dipakai membakar kemenyan. Bau magis memenuhi ruangan kayu itu.
“Tolong apa?” orang membutuhkannya adalah candu bagi Bopo Ageng. Ia merasa seperti Tuhan di mana orang-orang mau melakukan apa saja demi permohonan mereka.
“Anu...usaha dagang suami saya tidak berkembang. Saya mau minta tolong agar dagangannya laris, Bopo.”