Sunarsih duduk di atas jok motornya yang disembunyikan di balik alang-alang. Suaminya berdiri tidak jauh dari motor mereka sambil mengisap rokok. Mereka sudah menaruh segepok uang dalam dompet cokelat yang ditaruh di jalanan agar dipungut orang. Sunarsih masih terngiang ucapan Bopo Ageng beberapa hari yang lewat.
“Jadi sampeyan taro pancingan berupa duit. Kalau ada yang ambil uang itu, berarti dia yang akan terpilih menjadi tumbal.”
“Apakah nggak apa-apa mengorbankan orang yang nggak dikenal, Bopo?”
Bopo Ageng meletakkan kopinya, lalu menatap Sunarsih tajam. Sunarsih bergidik diberi tatapan yang berbeda dengan sebelumnya. Atmosfer ruangan itu jadi semakin menyeramkan. Bopo Ageng bersuara lagi, kali ini suaranya menjadi serak dan lirih.
“Orang yang mengambil duit yang bukan haknya adalah pendosa. Mereka pantas dikorbankan.”
“I..iya, Bopo.”
“Begitu uangnya diambil, kamu bacakan jampi-jampi ini di ruangan tertutup dengan sesaji ayam kampung, kembang sembilan rupa dan rokok lisong.”
“Baik, Bopo.”
“Kalau gagal, yang terambil nanti malah keluarga sendiri.”
*
Maryam menendang batu di depannya dengan kesal. Ibu tidak punya uang untuk mendaftarkan dirinya mengikuti karyawisata ke Bali. Tadi di kelas Bu Syarifah menyindir dengan sedikit tajam sesiapa yang belum mendaftarkan diri ikut karyawisata.
“Coba yang belum daftar karyawisata ke Bali apa nggak mau jalan-jalan sama teman-temannya?”
Siapa sih yang tidak mau pergi? Masalahnya ibu benar-benar sedang kesulitan uang. Bapak sudah beberapa bulan lalu di-PHK karena pabrik tempatnya bekerja selama puluhan tahun bangkrut dan jualan kain batik ibu sedang sepi. Barang yang sudah ada tidak laku-laku sedangkan modal sudah terpakai untuk makan sehari-hari. Walaupun menurut sekolah biaya sejuta tidak lah besar, tetap saja bagi keluarganya yang sedang kesusahan, uang sebesar itu tak terbayangkan. Maryam mencapai rumahnya yang sederhana, membuka pintunya yang berderit lalu mengucapkan salam.
“Assalammualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Terdengar suara kompak kedua orang tuanya.
Bapak sedang duduk menghadap meja makan, menyantap nasi berlauk tempe dan sambal. Uang pesangon tak lagi tersisa banyak setelah berbulan-bulan menganggur jadi makan berlauk tempe sudah merupakan sesuatu yang harus disyukuri, begitu kata ibu. Ibu sedang duduk di kursi sebelah bapak sambil menghitung kain batik yang tersisa hari itu. Maryam mendekat lalu mencium tangan ibu.
“Makan, nduk.”