Bu Handoko sedang menunggui Ido makan ketika terdengar suaminya datang. “Itu Ayah datang, Bu.” Bocah menggemaskan itu sudah hampir mengangkat pantatnya dari atas kursi tapi dicegah oleh Bu Handoko dengan gelengan.
“Ayo, makannya dihabiskan.” Ido menurut. Pintu terbuka dan Pak Handoko masuk ke dalam ruang tamu, lalu berlanjut ke ruang makan. Kedua tangannya disembunyikan di belakang, lalu mengendap-endap ingin membuat kejutan. Bu Handoko menggeleng, memberi isyarat agar kejutannya ditunda hingga bocah itu selesai makan. Pak Handoko menyembunyikan hadiahnya di balik tirai, menunggu dengan sabar sambil membaca koran. Ido menyelesaikan makannya, lalu dengan tertib membawa piringnya ke tempat cucian piring. Ia kemudian menghampiri ayahnya dan mencium tangannya. Pak Handoko sangat terkesan akan kesopanan anaknya.
“Anak Ayah, pinter banget. Tuh, Ayah bawakan oleh-oleh.”
“Mana?” Ido celingukan mencari, dengan pandangnya menyapu seluruh ruangan mencari sesuatu, lalu melihat ada bagian menonjol di balik tirai. Ido segera berlari ke arah tirai dan menyibaknya, melihat sebuah bola di dalam jaring di balik tirai. Ido langsung membuka jaringnya lalu melompat-lompat bahagia di dalam ruangan. Pak Handoko dan Bu Handoko saling pandang dengan bahagia melihat keceriaan Ido.
“Ido main bola sekarang, yaa!”
“Nanti sore saja, ya, Ido. Habis ashar.” Bu Handoko menganjurkan.
“Ingat, ya, Do. Ido sudah dewasa. Harus bisa bertanggung-jawab. Bolanya jangan sampai hilang.”
“Iya, Ayah.”
Sorenya, dengan tidak sabar Ido berlari ke kamar dan membuka lemari, mengeluarkan kaus jersey bertuliskan Zidane di belakang punggungnya, memakainya, memakai sepatu bola, lalu membawa bola barunya. Ido menghampiri ibunya, mencium tangannya untuk berpamitan.
“Ido main dulu, ya, Bun.”
Bu Handoko mengelus kepala Ido dengan penuh sayang, “Jangan jajan sembarangan. Makan di rumah saja.” Ido mengangguk lalu berlari ke luar, Bu Handoko menyempatkan diri berteriak, “Sebelum maghrib pulang, yaaa!”
Ido menyahut, “Iyaaaaa!!!!”
*
“Alhamdulillah.”
Lelaki itu menerima upahnya hari itu dengan penuh syukur. Ia menghitung uang lelahnya seminggu sekali lagi. Tujuh ratus ribu. Masih belum cukup untuk uang karyawisata Maryam, tapi sudah dekat. Ia tinggal mencari tambahan sebesar tiga ratus ribu rupiah untuk menggenapinya. Ia bangga rasanya bisa menunaikan sedikit tugasnya sebagai orang tua. Ia mendekap uangnya erat, memasukkannya ke dalam saku lalu memacu motornya pulang, mengabarkan kebahagiaan.
Ia tiba di rumah, hanya ada istrinya yang sedang menghitung uang penjualan batik. Istrinya menatap suaminya dengan tatapan berbunga, “Pak, alhamdulillah ada rezeki. Tadi grup arisan Bu Ranti ada memborong batik dua puluh lembar. Dapat empat ratus ribu!”
Suaminya mendekat dan mengeluarkan uangnya sendiri dari saku. “Aku dapat tujuh ratus. Insyaallah besok Maryam bisa bayar karyawisata, Bune.” Sekejab rumah itu dipenuhi aura kebahagiaan tak terkatakan.
Ia lalu celingukan, “Maryam ke mana?”
“Belum pulang. Katanya ke tempat temannya dulu pinjam buku.”
“Oh, ya wis. Nanti kalo pulang dia pasti senang banget bisa ke Bali.”
Sementara Maryam yang dibicarakan sedang berjalan pulang ke rumahnya sambil menenteng buku yang dipinjamnya dari teman. Hatinya masih gundah karena belum juga bisa membayar karyawisata ke Bali. Tenggat waktunya besok siang. Malu dan sedih bercampur kecewa ia rasakan saat ini, apalagi besok jika sampai batas akhir pembayaran ia gagal membayar.
Maryam menyusuri jalan dan melihat kibaran sejauh sepuluh meter di depannya. Maryam penasaran dan mendekat. Ia melihat segepok uang dalam mata uang lima puluh ribuan terikat karet gelang. Ini sebuah keniscayaan. Maryam terbelalak nyaris tidak percaya. Ia menoleh kiri-kanan celingukan lalu membungkuk mengambil uang tersebut, menghitungnya. Tepat satu juta rupiah! Maryam nyaris menjerit saking bahagianya. Apakah ini rezeki dari Tuhan? Ia menutup mulutnya dengan tangannya saking sumringahnya. Bergegas ia memasukkan uangnya ke dalam saku, lalu ia melompat-lompat kecil dengan riang. Mendadak gerimis turun, Maryam panik dan mempercepat langkahnya. Ia melihat sebuah warung kecil di seberang jalan yang bisa dijadikan tempat berteduh. Ia berniat menyeberang. Tak melihat jalan dengan benar, ia tersandung perbedaan ketinggian aspal dan tepi jalan. Terjatuh ke aspal tepat saat sebuah colt sayur melaju kencang. Ia terlindas dan terguling di jalan.