LOST

Imelda A. Sanjaya
Chapter #4

empat

Ido menemukan bolanya di semak, namun setiap ia mengejarnya bola itu terus menggelinding menjauh. Beberapa kali ia berhenti bola itu berhenti lagi. Ido kelelahan. Ia haus dan ingin pulang. Ia akhirnya berbalik pulang, namun mengapa lapangan bola tak terlihat? Ido menatap ke sekelilingnya. Suasana di sekitarnya tampak buram seolah dilapisi cahaya kecokelatan dan keabuan. Sepi, tidak ada suara adzan, tidak ada teman-temannya atau orang-orang lalu-lalang. Hanya pohon-pohon karet dan rerumputan. Seharusnya ia mengenal baik tempat ini tapi ia malah merasa ketakutan. Ido berlari kencang tapi ketika ia berhenti dan terengah, ia menyadari ia ada di tempat semula. Ido mulai menangis tersedu.

Saat itulah seorang yang dikenalnya muncul. Ibu guru. Kenapa ibu guru ada di sini di dekat rumahnya? 

“Bu guru?”

Perempuan cantik bersanggul cepol, berpakaian dinas dan berkacamata itu berjongkok lalu tersenyum. 

“Ido kenapa nangis? Yuk, ikut ibu.”

“Nggak mau. Ido mau pulang.” Ido menangis sambil mengusap air matanya.

“Ya, kita ke rumah ibu dulu. Nanti ibu antar pulang, ya.”

Ido akhirnya menurut. Bu guru menggenggam tangannya erat lalu menggandengnya, mereka berjalan menuju rimbunnya kebun karet di depan mata yang gelap sempurna. Ido tidak menyadari, dari kejauhan, jika ada yang menyaksikan mereka maka yang tampak adalah seorang anak kecil sedang berjalan digandeng oleh makhluk bertubuh amat tinggi besar, sekitar tiga meter, berambut panjang menjuntai menyapu tanah, bertangan amat panjang dan berkulit hitam kelam telanjang. Kedua makhluk berbeda jenis engan ukuran yang sangat timpang tersebut kemudian memasuki pekatnya kebun karet lalu menghilang.

*

Diman mendatangi lintah darat yang sudah lama mengejar-ngejarnya karena ia tak mampu membayar. Sudah lama setoran sewa colt saja tak mampu ia bayar kepada pemilik pick up tersebut. Kebetulan pemiliknya amat baik dan sabar. Diman sampai malu karena kesabarannya. 

Hari ini ia kena sial. Saat melewati jalan dekat kampung Godekan ia menabrak orang yang menyeberang jalan mendadak. Untung jalanan sedang sepi karena hujan. Alih-alih menolong korbannya, Diman merasa ngeri dan memilih meninggalkannya begitu saja setelah sempat memeriksanya. Gadis itu tergeletak bersimbah darah. Bukan saja tertabrak ia sempat terlindas ban depan dan kemudian ban belakang. Matanya terbelalak dan tidak terdengar suara apapun darinya sehingga Diman ketakutan. Saat itu ia melihat gadis tersebut menggenggam buku dan sesuatu yang ternyata segepok uang lima puluh ribuan yang diikat karet. Diman menoleh kanan-kiri dan rintik hujan makin deras, ia harus segera mengambil keputusan. 

Si lintah darat sedang duduk di teras rumahnya sambil memegang buku tulis yang sedang ditandainya. Ia sedikit kaget melihat Diman mendatanginya, padahal selama ini ia selalu kabur setiap dicari.

“Eh, tumben! Biasanya sulit tenan kalau dicari.”

“Permisi, Mas. Aku nyicilin yang waktu itu, ya?”

“Berapa? Seratus? Dua ratus?”

Diman meletakkan segepok uang di atas meja dekat si rentenir yang menyebut dirinya sebagai koperasi simpan-pinjam. Uangnya agak lembab, tapi itu uang. Si rentenir membuka karetnya lalu menghitung uangnya lalu terkekeh,

“Sejuta! Habis tembus togel apa nemu duit jatuh sampeyan?”

Lihat selengkapnya