LOST

Imelda A. Sanjaya
Chapter #5

lima

Kania siap dengan pakaian berbahan scuba-nya. Hanya atasan dan celana selam panjang. Mereka tentu saja tidak akan menyelam di area arung jeram ini tapi menjaga kemungkinan pakaiannya akan basah, ia memilih meninggalkan pakaian biasa di dalam tenda di area perkemahan. Instruktur jeram sudah menyiapkan rombongan. Mereka akan berangkat dengan tiga rakit dan tidak semua berpengalaman dengan arung jeram jadi instruktur memastikan semua peserta memahami standar arung jeram. Mereka mengenakan rompi keselamatan, helm dan tidak lupa masing-masing membawa dayung kecuali Kania. Ia memegang handycam-nya, yang ditabungnya berbulan-bulan sebelumnya dengan gaji rakyat jelatanya. Hari ini ia berniat duduk di ujung rakit dan memvideokan kegiatan arung jeram mereka yang pastinya akan seru. 

Dengan halus dan licin, Singgih menempatkan dirinya dan Kania dalam satu rakit. Kania tidak pernah memintanya namun ia menyadari bahwa Singgih benar menyukainya namun tidak kuasa menyampaikan perasaannya karena statusnya. Pagi ini Kania tidak lagi melihat cincin emas melingkar pada jari manis lelaki itu, namun bekas putihnya masih kentara. Kania menebak cincin tersebut pasti masih tersimpan entah di dalam saku atau tas Singgih. Ada rasa senang bercampur prasangka berkecamuk dalam dada Kania. Di satu sisi ia merasa bahwa ia cukup berarti sehingga Singgih sampai melepas cincinnya, namun di sisi lain Kania kini jadi mempertimbangkan apakah lelaki seperti Singgih yang menanggalkan cincin pernikahannya demi perempuan lain patut disukai?

Kania pura-pura menyibukkan diri dengan kamera barunya yang sudah penuh baterainya dan memilih posisi paling ujung tempat ia bisa leluasa merekam kegiatan mereka. Rakit mulai bergerak seiring para peserta mulai mendayung, Riska dari rakit lain melambaikan tangan kepada Kania ketika rakit mereka mulai terpisah. 

Awalnya rakit melalui perairan yang tenang cukup lama, para peserta mendayung pelan hanya untuk memastikan rakit berada di jalur yang benar, lalu rakit mulai terbawa cukup kencang menuju area sungai yang berbatu-batu, yang deras, kencang, memikat. Para peserta mulai merasakan atmosfer keseruan dan adrenalin berhamburan di udara, menemani mereka bercampur dalam pekik dan tawa. Semua peserta menikmatinya dan jelas-jelas melupakan bahwa Sungai Lor dihuni oleh banyak buaya. Area berbatu=batu makin sering mereka lewati, semakin menurun hingga instruktur di tiap rakit berseru,

“Taruh dayung di lantai! Pegangan pada rakit!”

Semua melakukannya, kecuali Kania yang gagap karena memegang kamera. Ia menggantungkan tali kamera pada lehernya lalu mencoba berpegangan pada rakit namun rakit keburu meluncur. Semua rakit lain meluncur mulus melompati air terjun setinggi tiga meteran itu namun rakit yang ditumpanginya malah membentur batu besar, Kania terlempar keluar dari rakit meluncur menuju telaga dalam di bawah air terjunnya.

*

Hening.

Sehening itu di dasar telaga. Kania terbenam lumayan jauh karena bantingan kuat tadi. Ia biasa menyelam lima atau sepuluh meter tapi Kepulauan Seribu adalah perairan kalem, sungai ini deras dan tumpahan ribuan galon air terjun dari atas menyebabkan tekanan kuat yang membuatnya susah naik. Air sungai kekuningan bercampur lumpur halus yang terus-menerus naik karena curahan air terjun membuatnya susah melihat dengan jelas. Kania mengambil keputusan cepat. Ia menyelam menjauh dari gemuruh air terjun, nanti pasti ada tempat dangkal di mana rompi penyelamatnya ini seharusnya bisa bekerja. Kania sudah memunculkan kepalanya ke atas air, ia melihat rombongannya di atas rakit melambai-lambaikan tangan mereka. Tampaknya instruktur rakitnya mengarahkan agar rakit menepi untuk memberinya kesempatan kembali ke rakit. Singgih melambaikan tangan dan sebentar lagi rakit mereka tampaknya akan sampai di tepian sungai. Saat itu Kania menyadari kameranya sudah terlepas dari lehernya. Pasti hilang saat ia jatuh tadi. Ia kembali menyelam hendak mencari kameranya. Singgih yang sudah melangkah keluar dari rakit dan mulai meniti bebatuan terkejut karena Kania kembali tak terlihat.

“KANIAAAA!!!!”

Kania mengarahkan tubuhnya ke dasar lubuk lalu di antara lumpur sungai yang melayang ia melihat sepintas tali kameranya di kedalaman. Kania bergerak ke titik itu dengan perlahan dan yakin, hampir meraih tali kamera tersebut tapi lalu terkejut. Ada lubang dalam berpusar menyedotnya. Ia nyaris tak bisa melakukan apa-apa, tak ada pegangan, ia tak bisa berteriak karena ia berada di dalam air sehingga ia kemudian terbawa kuatnya pusaran tersebut yang membelitnya bersama dengan kamera sialannya.

Kania hampir kehilangan kesadaran, lalu menyadari ada sebuah tangan menangkap tangannya. Tangan itu kuat. Singgih? Pikirnya dalam pikirannya yang mulai kacau karena kehabisan oksigen. Oh, Tuhan apakah ia akan mati di sini seperti puntung rokok dan sendal jepit yang dilihatnya mengapung tadi? Atau akankah ia tenggelam dan tempat ini jadi kuburannya? 

Tapi tangan itu berhasil menariknya ke atas, ia bergerak dalam keyakinan, dan kemudian memeluk pinggangnya, membawa tubuh lemahnya menjauhi pusaran dan mencapai air tenang. Ingatan terakhir Kania adalah ia tak pernah mencapai tepian karena tangan kuat itu terus membawanya berenang menjauh, jauh hingga hanya suara air bergolak di sekitar telinganya. Kania sudah bersiap untuk kematiannya.

Lihat selengkapnya