LOST

Imelda A. Sanjaya
Chapter #6

enam

Singgih berdiri putus asa di tepi sungai dengan wajah muram. Di sekelilingnya tampak kelompok darai Tim SAR sedang melakukan penyisiran di Sungai Lor. Hari sudah menjelang sore dan arus sungai yang makin deras karena hujan di hulu ditambah koleksi buaya sungai tersebut amat terkenal membuat tim SAR memutuskan melanjutkan pencarian esok hari. 

Singgih mendekati Riska yang sedang menangis tersedu tak henti. Singgih tak bisa menyalahkan Riska yang begitu terpukul. Semua salahnya, seandainya ia tidak mempromosikan tempat ini kepada Kania maka Kania mungkin sedang berada di kamarnya, menikmati semangkuk mie hangat sambil meminum teh dengan aman dan nyaman. Kania yang seperti itu bakalan membosankan tetapi itu ribuan kali lebih baik daripada Kania yang hilang tanpa jejak. Suara serangga malam mulai terdengar. Singgih mengedarkan pandang ke sekeliling lalu bergumam,

“Kamu di mana, Kania?”

Kania terbangun setelah mendengar suara Singgih terngiang di telinganya. Tapi ia terbangun tanpa Singgih di sisinya. Ia menyadari dirinya terbaring dalam sebuah gua, yang kanan kiri dindingnya dipasangi obor. Obor? Tahun berapakah ini dan di mana ada gua yang bagai dihuni seperti ini lengkap dengan obor segala? 

Kania mengangkat punggungnya yang berat dan mencoba duduk. Saat itu ia menyadari ada sesosok tubuh duduk membelakanginya. Mungkin karena gerakan Kania ia jadi menoleh mereka lalu saling bertatapan. Lelaki itu memakai ikat kepala dan pakaian putih seperti destar, juga celana putih yang tanpa noda. Ia tampan.

“Sudah bangun kah?” logatnya terdengar seperti Melayu kuno.

“Iya.” Kania bertanya-tanya dalam hatinya siapakah orang ini dan mengapa ia berada di sini bersamanya. Apakah ia penduduk setempat? Tampaknya lelaki itu memahami pikiran Kania, ia tersenyum lalu menjelaskan tanpa diminta.

“Aku sedang duduk memancing di pinggir sungai saat melihat adik tenggelam terbawa pusaran jadi aku mencoba menolong adik.”

Sekarang Kania bisa mengingat pusaran tepat di bawah air terjun tersebut. Kepalanya langsung pening. Mungkin karena terlalu banyak air masuk ke hidungnya tadi. 

“Di mana teman-temanku?”

“Teman-teman? Saya tidak lihat satu pun.”

Apakah ia terseret begitu jauh sehingga lelaki penolong ini bahkan tidak melihat rombongannya? Kepalanya berdenyut lagi. Kamia memegangi dahinya sambil menahan sakit, tampaknya ia harus bermalam di sini di goa ini dengan orang asing ini hingga pagi tiba. Dengan malu-malu lelaki itu berkata, “Kita sebaiknya pulang ke rumah saja.”

“Rumah?”

“Eh, iya. Rumahku dekat dari sini. Amak tinggal di rumah, kalau aku tak pulang nanti ia khawatir.”

Kania tampaknya tidak punya pilihan. Ia mengangguk lalu mencoba bangkit, lelaki itu dengan sigap membantunya berdiri lalu memapahnya berjalan menuju mulut goa. Tangannya tegap tapi raihannya sopan terkendali dan penuh kesabaran. Kania tertatih mengikuti arahannya tanpa menyadari di belakangnya, di bagian ujung goa ada onggokan tulang-belulang hewan bertumpuk menggunung. 

*

Bu Handoko menangis tanpa henti. Sudah seminggu Ido hilang. Suaminya sudah melaporkan kehilangan kepada polisi, mencetak selebaran dengan foto Ido semasa TK dan menempelnya di mana-mana, ia minta izin ke kantor dan dengan motornya berkeliling setiap hari mencari, mengumpulkan informasi ke seluruh penjuru kota sekiranya ada petunjuk tentang Ido. Beberapa kali mereka tertipu orang yang katanya ingin memberikan informasi tapi ternyata meminta uang. Mereka juga pernah mendapat informasi palsu di mana katanya ada yang melihat Ido dibawa oleh seorang lelaki secara paksa ke dalam mobil yang dilarikan kencang-kencang. Pak Handoko sulit memercayainya. Wilayah tempat Ido bermain bola dikelilingi hutan karet yang rapat. Satu-satunya jalan yang mungkin dilalui mobil adalah jalan menuju perumahan dan mustahil ada mobil bisa lewat bahkan mengebut tanpa terlihat oleh Ibunya Karim yang sore itu pulang duluan.

Ditemani orang kampung Pak Handoko menyusuri juga hutan karet siang-malam, memanggil, meneriakkan namanya, mengorek, melongok ke atas pepohonan. Apa saja asal mereka bertemu Ido yang hilang tanpa bekas. Ini sudah hari ketiga pencarian mereka saat ia pulang dengan tangan hampa. Rumah tampak terang dan agak ramai. Mertuanya, ibunya dan adiknya sudah beberapa hari menginap di rumah menemani istrinya. Tetangga juga ramai datang bergantian bahkan membawakan makanan. Handoko agak kelelahan saat ia memasuki rumah. Ada Pak Samsul sedang duduk di ruang tamunya. Pak Samsul penduduk asli kampung sekitar. Ia dan keluarga besarnya sudah bergenerasi menghuni area ini sebelum kemudian sebagian dijadikan perumahan baru. 

“Assalammualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Lihat selengkapnya