Kania mengikuti langkah-langkah pemuda berpakaian kuno tersebut melewati jalan kecil tepi sungai di tengah hutan. Lelaki itu membawa obor dan berjalan memimpin di depan, sesekali berhenti dan menoleh ke belakang, menunggu Kania. Setelah beberapa lama mereka akhirnya melihat kelip di kejauhan. Terang-benderang. Sebuah kampung kini tersaji di depan mereka. Rumah-rumah di sana berbentuk panggung, terbuat dari kayu dan beratap sirap dan rumbia. Tidak ada yang beratap genteng atau seng seperti rumah panggung yang pernah dilihatnya di beberapa daerah di Indonesia. Perkampungan ini tampaknya kuno sekali. Di depan setiap rumah ada semacam tiang tempat obor ditancapkan. Rupanya inilah yang membuat kampung terlihat terang-benderang tadi. Tidak ada kabel ataupun tiang listrik yang terlihat.
Begitu memasuki kampung, satu-persatu penghuni kampung keluar dari rumah mereka, turun dari rumah panggung, mengalir bagai air tua-muda, lelaki-perempuan. Seperti lelaki tadi, semuanya berpakaian putih dan terlihat amat kuno. Yang lelaki memakai destar dan celana panjang atau atasan dan celana selutut. Mereka semua memakai ikat kepala. Yang perempuan berkain sarung diikat sedada, ada juga yang berbaju kurung dan berkain tapi semuanya berpakaian putih. Mereka menatap Kania dengan tatapan ingin tahu yang luar biasa, Kania tidak berani menatap balik. Mereka terlalu misterius.
Lelaki yang bersamanya tadi tidak menyapa orang kampungnya sama-sekali. Ia melewati mereka begitu saja dengan acuh dan kepercayaan diri yang luar biasa. Kania mengekorinya saja sampai mereka menembus kampung dan mencapai sebuah rumah yang paling besar, beratap sirap dan berdinding papan kayu hitam. Seorang perempuan tua berbaju kurung turun dari tangga rumah panggung menyambut mereka. Sehelai selendang dilipat di atas kepalanya.
“Amak.” Lelaki itu menyapa perempuan tua tadi. Perempuan itu menatap dan memerhatikan Kania lalu kembali menatap si lelaki muda tadi dengan penuh tanya. Si lelaki bersuara lagi.
“Kami mau masuk dan rehat.”
Yang disebut Amak tidak menjawab lagi, ia membiarkan Kania dan lelaki muda tadi memanjat tangga dan memasuki rumah panggung tadi. Rumah itu adalah rumah panggung terbesar di kampung tersebut. Di dalam rumah ternyata ada beberapa pelayan wanita, Kania bisa tahu mereka adalah pelayan karena mereka langsung menunduk hormat ketika lelaki tadi memasuki rumah. Kania menurut saja ketika salah-satu dari mereka mengarahkannya ke sebuah kamar di mana ada ranjang besi bertiang dan berkelambu menanti. Ada pelita pada dinding-dinding kamar itu. Pelayan tersebut kemudian menaruh bejana keramik berisi air lalu menyerahkan sebuah bungkusan lalu pamit keluar. Kania membuka bungkusan tersebut yang ternyata berisi pakaian ganti. Sebuah baju kurung dan sarung berwarna putih. Kania ingin bertanya banyak hal seperti apakah orang-orang di sini tidak mengenal daster daripada berpakaian seperti hendak menyambut hari raya saja, tetapi ia terlalu lelah.
Ia membuka pakaiannya, mencuci tubuhnya sebisanya dengan air hangat di dalam bejana. Ia menemukan beberapa goresan bekas luka dan lebam di beberapa bagian tubuhnya. Besok ia akan menanyakan betadine atau minyak tawon untuk mengurangi perihnya. Kania kemudian mengurai rambutnya lalu memakai baju bersih yang tadi diberikan kepadanya. Ia menemukan sisir tanduk di sebelah bejana tadi, menyisir rambutnya lalu membaringkan tubuh letihnya di atas kasur dan terlelap.
*
Pak Samsul sudah membawa seorang ustadz setengah baya bersamanya. Ia juga ditemani beberapa orang yang membawa kentongan, gong dan piring kaleng. Semua yang menimbulkan bunyi-bunyian. Setelah berdoa bersama, rombongan pencari bergerak memasuki kebun karet lalu mulai memanggil-manggil Ido sambil memukul kentongan. Pagi itu jadi agak berisik di kebun karet. Pak Samsul menunjukkan arah jurang berada, meminta semua pencari berhati-hati lalu membagi pencarian dalam dua rombongan.
“Jangan terpisah dari rombongan!” pintanya kepada para pencari.
Handoko sendiri mengikuti satu grup dan setelah mencari selama setengah jam mereka menyadari bahwa mereka tidak bisa menemukan jurang seperti yang ditunjukkan oleh Pak Samsul. Mereka tersesat.
“Kita nyasar?” tanya salah-seorang pencari kepadanya.
Handoko juga tidak mengira bahwa kebun karet bisa seluas ini, kemarin saat pencarian pertama rasanya tidak sejauh ini. Lalu nampak di kejauhan seseorang bertopi caping sedang menyadap getah karet. Handoko mendekat lalu bertanya.
“Permisi, Pak.”
“Ya.” Orang itu menjawab tanpa menoleh, ia berfokus pada garis deresan yang ia buat pada batang.
“Numpang tanya apa bapak liat anak kecil sekitar umur tujuh tahun setinggi ini?” Handoko mengira-ngira tinggi Ido dengan tangannya. Orang itu melirik sedikit, kembali menggurat batang karet. “Nggak.”
Handoko agak kesal dengan responnya, “Kalau jurang? Bapak tahu jurang di sebelah mana?”
Lelaki itu berhenti menggurat lalu menunjuk ke satu arah dengan yakin. Ke sebelah sana ada jurang. Kelompok Handoko menoleh ke arah yang ditunjuk. Ternyata sudah dekat.
Mereka lalu dengan bersemangat melaju ke arah jurang tersebut terus berjalan, terus berjalan sampai kelelahan dan mereka akhirnya terduduk lemas. Mereka tidak menemukan jurang ataupun jalan pulang.
“Kenapa kita malah makin tersasar?”
Handoko juga cemas. Seharusnya luas kebun karet tidak sebesar ini. Melihat gelagatnya, dari tadi mereka hanya berputar-putar di area yang sama sejak tadi pagi. Matahari meredup tanda sore menjelang sehingga Handoko memutuskan mengajak rombongannya pulang.