Mereka dibohongi!
Handoko meyakini hal itu setelah kesekian kalinya mereka berputar di tempat yang sama, lapar, kehausan dan lelah. Handoko resah membayangkan bagaimana jika Ido juga mengalami hal yang sama berputar-putar tak jelas di tempat ini? Handoko memerhatikan langit dan menyadari ia melupakan sholatnya sesiangan ini. Ia lalu beringsut sedikit dari rombongan, menepukkan telapak tangan ke atas tanah, meniupnya sedikit lalu mulai bertayamum. Setelah itu ia melihat arah matahari, mengatur posisi lalu melakukan sholat beralas tanah dan hamparan dedaunan karet. Rombongannya yang semula memerhatikan saja akhirnya satu-persatu melakukan hal yang sama. Mereka menjadi makmum di belakangnya, menunaikan sholat yang khusyuk.
Selesai memberi salam Handoko mendoakan Ido putranya, agar ia dijaga oleh Sang Maha Penjaga, dilindungi oleh Yang Maha Kuat. Handoko sepenuhnya bersimpuh, memohon dengan air mata berlimpah keluar dari pelupuknya. Ia juga mendoakan keselamatan mereka. Lalu samar-samar mereka mendengar suara orang-orang. Semua anggota rombongan saling berpandangan. Suara tersebut dekat!
Mereka bangkit dan menghambur ke arah suara tadi lalu melihat grup Pak Samsul yang sedang sibuk mengulur tali untuk diturunkan ke jurang. Semua kebingungan.
“Kenapa dari tadi kalian tidak kelihatan?”
“Kami juga nggak dengar apa-apa dari sini.”
Pak Ustadz tersenyum bijak lalu bertanya, “Apa tadi ada ketemu orang di jalan?”
“Iya, Pak ustadz. Penderes getah karet. Tapi kami malah dibuat nyasar.”
Pak Ustadz tersenyum, “Kami juga sepertinya diputar-putar, makanya baru sampai tempat ini jam segini. Padahal jurang ini nggak sampai setengah kilo dari lapangan.”
Akhirnya mereka berfokus pada tali tambang yang satu ujungnya sedang diikatkan ke batang pohon karet dan satu lagi ke badan sukarelawan. Ada dua tali yang digunakan dan ada dua sukarelawan yang akan turun ke dasar jurang. Mereka dilengkapi dengan senter pada kepala dan golok, kalau-kalau ada ular yang ikut serta eksis selama pencarian. Tali mulai diturunkan dan Pak ustadz mengangkat tangan berdoa, Handoko mengawasi sukarelawan yang turun dengan hati dan perasaan bercampur-aduk. Penuh harapan sekaligus ketegangan. Bagaimana jika Ido ditemukan tapi dalam keadaan tidak bernyawa? Tuhan, rasanya ia tidak siap. Air matanya yang sudah susut usai sholat tadi kini membanjir lagi, rasa perih, sedih dan bersalah karena gagal melindungi anaknya bercampur-baur sementara kedua relawan mulai turun menembus lebatnya pakis dan tanaman rambat liar.
*
Ido menangis karena tangannya pegal luar biasa. Ia lelah bergantung pada pinggir jurang dan mulai menangis. Ia lelah dan lapar.
“Ido, kenapa di situ?” Bu guru muncul lagi dengan pakaian seragam dinasnya dan sepatu berhak hitam. Ia mengulurkan tangannya hendak meraih Ido. Ido menggeleng. Entah kenapa perasaannya tidak enak. Tahu-tahu yang ada di depannya adalah Ibunya Karim. Ia juga mengulurkan tangan, tapi lagi-lagi perasaan Ido tidak enak. Tatapan perempuan itu agak kosong seperti orang melamun. Uluran tangannya lemah. Sekali lagi Ido menggeleng dan kini ibunya yang berada di depan mata.
“Ido, sini, nak. Ayok kita pulang.”
“Ibuuuuuu...” Ido menangis sekaligus lega melihat ibunya di depan mata. Ia sudah menjulurkan satu tangan hendak meraih ibunya saat ia menyadari sesuatu. Perut orang yang mirip ibunya ini ramping sedangkan ibunya sedang mengandung adik bayi. Terbesit ragu, Ido menarik tangannya lagi dan kali ini makhluk di depannya berubah menjadi sangat mengerikan.
*
Sambil mengawasi turunnya sukarelawan, Handoko teringat obrolannya tadi malam dengan Pak Samsul tentang makhluk yang disebut sebagai kalong wewe tersebut.
“Kalong...wewe?”
“Iya, Pak Handoko. Kalau di zaman kakek-nenek kita dulu memang anak-anak tuh harus pulang sebelum magrib, pakaian nggak boleh dijemur di luar malam-malam semuanya ada sebabnya. Ada banyak setan dan jin di luar sana. Kalong wewe salah-satunya.”