LOST

Imelda A. Sanjaya
Chapter #9

sembilan

Maryam berjalan terseok dengan kaki kanannya yang terpuntir terseret-seret dan leher patah membuat kepalanya miring ke kiri. Darah terus menetes dari tubuhnya tapi tak juga habis dan ia tak juga mati. Atau ia sudah mati? Langkahnya terhenti saat melihat sebuah gundukan. Ia menyeret tubuhnya mendekati gundukan tersebut lalu menyadari bahwa itu kuburan baru dengan nisan dan namanya tertulis di atas nisan. 

Saat itu tiba-tiba ia melihat ibu dan bapaknya yang malang, menangis di depan makamnya. Nyaris tak berkesudahan. Ia memanggil-manggil mereka tapi mereka tak mendengar.

Sementara di dunia nyata, orang tua Maryam juga sedang bersimpuh di depan kuburannya, ibu menangis meraung-raung dan bapak terduduk lemas tak berdaya. Setelah seminggu lebih berjuang di rumah sakit, Maryam akhirnya berpulang. Tak ada yang lebih menyakitkan dari pada orang tua yang kehilangan anaknya. Anak yang kehilangan ayah disebut yatim, anak yang kehilangan ibu disebut piatu. Tapi tak ada sebutan bagi orang tua yang ditinggal mati anak mereka. Itu terlalu kejam. Anak adalah masa depan yang dilanjutkan, kehilangan anak tujuan hidup orang tua terputus pada mereka. Hanya menunggu tua dan mati. Hujan mendadak turun dengan deras. Orang-orang yang berada di sekitar pemakaman segera bubar. Bapak Maryam menepuk pelan pundak istrinya,

“Bu, ayo berteduh. Nanti kamu sakit.”

Seorang ibu tidak akan tega meninggalkan anaknya, tapi sudah seminggu ia kekurangan tidur, tertekan dan akhirnya kehilangan buah hatinya. Ia menuruti suaminya lalu beringsut mencari tempat berteduh.

Di tempat sukmanya berada Maryam merasakan tetesan air hujan, makin lama makin deras. Lalu ia mendengar suara berdebam. Maryam menoleh, makhluk besar yang ia lihat sebelumnya menggerogoti nenek-nenek itu kini mendekatinya dari belakang, semakin dekat. Maryam melihat kedua orang tuanya bersiap pergi karena hujan deras.

Pak, Bu. Jangan pergi. Tolong aku. Jangan pergi.

Ia memohon lirih tapi suaranya tak keluar. Ia lalu melihat ayahnya bangkit, membantu ibunya berdiri lalu mereka berlari menembus hujan menjauhi makam.

Tolong.

Ia menggapaikan tangannya tapi tak bisa melangkah. Makhluk itu semakin mendekat lalu mencengkeram punggungnya dengan kukunya yang tebal. Sakit, Bu. Sakit, Pak. Batinnya untuk yang terakhir kalinya, harapnya hilang ditelan rinai hujan.

*

“Masih hujan sangat deras.” Kata lelaki yang disebut “pangeran” oleh para pelayannya itu menjelaskan kepada Kania mengapa mereka tidak bisa kembali ke lokasi tempatnya hilang. 

“Apa tidak ada payung di sini?”

“Payung?”

“Iya, payung.”

Pangeran mengangkat bahunya, “Saya rasa tidak ada, dik. Nanti saja jika hujannya agak reda kita pergi ke sana.”

Kania tidak bisa berkata apa-apa. Ia tidak tahu jalan pulang karena tidak ingat bagaimana ia bisa sampai kemari sebelumnya. Ia hanya memegang pagar teras rumah panggung itu dengan galau, menatap keluar tempat di mana puluhan pasang mata dari rumah panggung-rumah panggung lainnya sedang menatapnya tanpa ekspresi. 

Siang itu ia kembali diberi makan buah-buahan dan Kania sungguh kelaparan. Ia ingin makan nasi, burger, mie atau karbohidrat apa saja asal mengenyangkan. Tahu-tahu pintu diketuk dan seorang pelayan memberinya senampan ubi jalar dan kacang rebus hangat mengepul. Kania benar-benar berbahagia dan tanpa menunda melahap makanan tersebut sampai kekenyangan. Malamnya si pangeran yang menyebut dirinya Muara Perak mengajaknya makan malam yang lagi-lagi berisi menu ubi-ubian dan buah-buahan. Kania sungguh tidak enak untuk protes jadi ia diam saja dan memakan makanan tersebut sekedar mengisi perutnya. 

Ketika ia kembali ke kamarnya ia mendengar suara riuh dari bawah rumah serta bau daging. Ia mengintip dari celah lantai kamarnya dan melihat para pelayan, lelaki dan perempuan sedang mengelilingi meja dan melahap telur ayam kampung rebus dan daging ayam rebus. Baunya sungguh mengundang selera. Daging dan telur itu begitu berlimpah namun mereka berebut dengan ganas, menggeram, memukul seolah takut tidak kebagian. Kania bahkan melihat seorang pelayan perempuan naik ke atas meja dan mengunyah seekor ayam rebus utuh sambil berdiri, caranya memakan daging itu seperti hewan. Kania memerhatikan dengan teliti dan heran mengapa sekarang sorot mata mereka terlihat buas dan pupil mata mereka seperti mata predator?

*

“Berbeda dengan buaya sungguhan, makhluk in hanya makan seminggu atau sebulan sekali dan mereka hanya memakan daging ayam dan telur ayam. Biasanya almarhum kakek buyutku akan memberi peliharaannya makan telur atau ayam setiap malam keempat belas bulan purnama. Sekarang tanggal empat belas, jadi pasti mereka sedang makan sesajian pemberian pemelihara mereka.”

Singgih, Pawang, Pak Kepala Dusun dan beberapa penduduk desa berbincang di rumah Pak Kepala Dusun. Kopi, teh dan berbagai rebusan hangat menemani mereka mengurangi dinginnya malam karena derasnya hujan.

“Bagaimana jika tidak ada yang memelihara?”

“Pasti ada. Orang kampung sini walaupun tidak memelihara siluman buaya tetap memberikan semacam sesaji agar tidak diganggu, atau nanti ada saja yang mencuri makanan manusia.”

Tahu-tahu istri Pak Pawang muncul dari dapur,

“Dari siang tadi saya kehilangan ubi jalar dan kacang rebus. Tadi siang sepiring, sekarang dua piring, Pak. Coba besok ditanya dulu apa ada yang mau makanan khusus?”

Lihat selengkapnya