Ido menahan perih pada tangannya yang terluka karena bergantung pada semak yang berduri, sebelah sepatunya terlepas dan jatuh meluncur bebas. Ia dalam dilema yang berat. Jika ia merayap ke atas ia akan bertemu dengan makhluk itu lagi tapi jika ia melepaskan pegangan, ia bisa saja mati. Ido menangis sekeras-kerasnya. Bagaimanapun ia adalah seorang anak berusia tujuh tahun.
Rombongan pencari sudah mencapai dasar jurang dan mereka menyusuri, menyibak apapun yang ada di bawah sana. Ada tengkorak kambing, mungkin kambing ternak orang yang jatuh ke sana dan tak ketahuan pemiliknya, atau dibiarkan saja mati di sana karena sulit mengangkatnya. Tapi selain tengkorak itu dan batu-batu serta tanaman liar, tidak ada tanda-tanda kehadiran seorang manusia sampai salah-satu dari mereka berteriak.
“Ada sepatu bola!”
Semua melongok ke bawah melihat sepatu dilambaikan. Hanya sebelah. Handoko nyaris pingsan melihat sepatu itu. Itu benar sepatu Ido. Begitu melihat sepatu itu Pak Samsul segera mengomandoi rombongan untuk membunyikan kentongan, panci, apapun yang mereka bawa dari rumah tadi sambil memanggil-manggil nama Ido. Pak Ustadz membantu mereka dengan doa-doa. Selama sejam mereka terus melakukan itu tapi tak melihat tanda-tanda Ido. Magrib mulai turun.
Ido menatap bagian atas jurang yang sepi. Apakah setan berwujud mengerikan atau berwujud seperti orang-orang yang dikenalnya masih ada di sana? Apa yang harus dilakukan jika bertemu setan? Berdoa, bukan? Ido memejamkan mata lalu berdoa sebisanya.
“Allah, bawa Ido pulang lagi. Ido kangen mau bertemu ayah dan ibu. Ido mau pulang. Bismillah.”
Ido memanjat sulur berduri itu dengan mengandalkan kekuatan lengannya yang lelah. Tujuannya hanya satu. Ia sampai ke atas dengan selamat. Selangkah, dua langkah, tiga langkah. Ketika panjatannya mendekati bibir jurang ia melihat seorang lelaki bercaping menunggu di sana.
“Sini naik, saya bantu.” Ia mengulurkan tangannya.
Ido berdoa, “Audzubillahi minassyaitonnirrojim. Jauhkan aku dari godaan setan yang terkutuk, Ya Allah.”
Bapak bercaping itu tertawa terbahak, tawanya menggelegar lalu ia kembali berubah menjadi sosok mengerikan berambut acak-acakan tadi. Kali ini ketakutan Ido nyaris menguap, ia mengulangi bacaan tadi berulang-ulang sambil terus memanjat. Ia akhirnya mencapai bbir jurang di mana bolanya tergeletak. Ido memungut bola tersebut lalu berlari secepat kilat ke arah mana saja asalkan tidak menabrak pohon karet. Kakinya lelah, nafasnya habis, Ido menyeret kakinya lunglai. Saat itu ia mendengar serombongan orang lewat sambil bercakap-cakap. Ido memberanikan diri mendekat ke arah suara tadi. Ia melihat beberapa orang yang dikenalnya, dan ada ayahnya di sana. Apakah mereka mencarinya? Apakah mereka benar manusia sungguhan? Ido merasa tidak ada salahnya mencoba memanggil mereka. Ia menerobos sela-sela pepohonan karet lalu memanggil.
“Ayahhh!”
“Ayaahhhh!”
Tak sedikit pun lelaki itu menoleh, jadi Ido mendekati mereka, menarik-narik lengan baju ayahnya, memegang tangannya tapi ayahnya bergeming dan tak satupun rombongan tersebut melihatnya. Ia seolah tak ada di sana. Rombongan itu melewatinya begitu saja lalu pergi meninggalkannya. Air mata Ido menggenang di pelupuk matanya. Ia begitu putus asa dan lelah. Ia berhenti dan duduk bersandar pada sebatang pohon karet. Untuk pertama kalinya sejak kehilangan bolanya ia tertidur.
*
Ia terbangun karena mendengar rintihan anaknya. Suara itu begitu jelas sehingga ia yakin itu bukan mimpi. Ia beristighfar sambil mengelus-elus dadanya. Suaminya ikut terbangun.
“Mimpi lagi, bune?”