Lost and Fund

TYSPS
Chapter #3

3

“Lho? Dam? Kamu sama siapa ini? Calon istrimu?”

Ada dua hal yang bisa Elijah lakukan kalau kewarasannya sudah hilang begitu pertanyaan itu diutarakan dengan polos oleh seorang wanita paruh baya yang masih terlihat segar, pertama, Elijah akan tertawa terbahak sambil bilang “Apa? Calon istri? Ogah banget!” atau yang kedua, Elijah akan langsung melemparkan kopernya untuk menubruk wanita tua itu. Tapi, berhubung Elijah masih waras, dia hanya diam dan membiarkan Adam yang memberi respons.

“Devan belum bilang, Oma? Aku bawa teman, dia nanti bantu-bantu aku selama ngurusin persiapan. Dan, aku kayaknya nggak sehari dua hari di sini. Devan belum bilang juga ya?” suara yang sedari tadi terdengar sangat otoriter dan menyebalkan itu melembut, membuat Elijah mengernyit heran.

“Oh gitu, iya dia belum bilang. Ya udah, kamu boleh di sini sampai bosan kok,” katanya kemudian menoleh, “Nama kamu siapa?” si nenek memandang Elijah dengan ramah. Yah, memang sulit untuk tidak bersikap lembut pada wajah penuh keteduhan macam itu. Mau tak mau, Elijah terenyuh sendiri.

“Elijah, Oma,” jawab Elijah diikuti senyuman.

“Namamu cantik, seperti orangnya.” Komentar yang hangat di tengah kegalauan Elijah belakangan ini, membuat batinnya ikut menghangat dan tarikan bibir sekaligus anggukan sopan Elijah menjadi jawaban.

“Ayo, masuk-masuk. Kalian pakai kamar di lantai dua ya, ada tiga kamar yang kosong. Tapi satu kamar yang di pojok AC-nya lagi rusak. Jadi jangan pakai yang itu,” jelasnya sembari mendorong Adam menuju tangga. “Adam, kamu tahu kan, dikasih tahu ya temannya. Oma ke belakang dulu, nanti kita makan malam sama-sama, udah Oma siapin.”

Adam mengangguk dan menarik dua sudut bibirnya, lagi-lagi membuat Elijah mengernyit. Itu adalah jenis senyuman yang bisa membuat perempuan di mana pun meleleh dan lelaki itu memilih untuk menyembunyikannya.

Akhirnya Elijah mengikuti Adam menaiki tangga kayu yang sangat kokoh menuju lantai dua, dengan bersusah payah mengangkat kopernya sendirian. Dia bukannya mau ditolong, dia juga tahu kok Adam enggan membantunya. Tapi kalau tahu begini, dia tidak akan terlalu banyak bawa barang, deh!

Saat sampai tadi, Elijah sempat terpesona. Rumah itu sangat nyaman. Terasa hangat dan dipenuhi kebahagiaan. Pertama, rumahnya berjarak dari hiruk pikuk perkotaan, meski tak terlalu jauh, tapi rumah ini memiliki suasana yang jauh berbeda dengan jalanan kota. Begitu sampai, Elijah disuguhi oleh perkebunan bunga yang sepertinya ditanam sendiri. Rumahnya tak terlalu besar namun memiliki banyak kamar. Semua dekorasinya bertemakan kayu-kayuan, begitu juga dengan pondasi utamanya. Semuanya cokelat kayu dan terasa sangat hangat.

“Saya pakai kamar ini, kamu bisa pakai yang di sampingnya karena kamar yang ujung rusak,” kata Adam kembali pada nada bicaranya sebelum bertemu Oma. Bagaimana bisa ada orang dengan nada bicara yang begitu bertolak belakang? Dia ini berkepribadian ganda atau bagaimana?

Elijah mengangguk, dia harus menenangkan diri, ini bukan saatnya untuk mengutuk Adam. Dia harus berterima kasih karena pemandangan luar biasa yang dia dapatkan.

Kemudian Adam masuk ke kamarnya tepat di pintu pertama di dekat tangga, Elijah menempati kamar di sampingnya. Begitu pintu kayu Elijah buka, dia terpesona untuk yang ke sekian kalinya. Kamar ini tidak terlalu besar, dengan lantai kayu dan jendela raksasa di dindingnya yang langsung membawa dia pada pemandangan kebun sayuran di belakang rumah. Ranjangnya tidak terlalu besar, ada satu lemari dan sebuah meja rias. Seperti kamar pada umumnya, tapi rasanya, jika Elijah bisa membuat sebuah rumah saat ini juga, dia pasti akan membuat rumah serupa.

Elijah menghampiri jendela raksasa itu dan menggesernya, oh, rupanya itu pintu kaca. Elijah tersenyum begitu dia ternyata bisa keluar dan duduk di balkon kecil untuk memandangi kebun.

Ini adalah kehidupan masa tua yang sangat dia impi-impikan.

Setelah cukup puas mengagumi tempat itu, Elijah berjalan ke ranjang dan berbaring. Dia lelah. Di saat-saat seperti ini dia kembali merasa lelah. Kapan ya, terakhir Elijah tertidur dengan nyenyak?

***

“Temanmu itu kayaknya capek banget, Dam?” Oma bertanya sambil membereskan piring bekas makan malam, matanya mengarah ke tangga rumahnya sendiri.

Adam tidak menjawab karena tidak tahu harus menjawab apa. “Habis lembur kali, Oma.” Akhirnya sebuah jawaban terlontar asal dari mulut Adam begitu mendapati wajah nenek sahabatnya itu seperti menantikan jawabannya.

“Nanti kalau kebangun disuruh makan ya,” suruh Oma sambil berlalu ke dapur, meninggalkan Adam dan suami wanita itu di meja makan bundar yang ukurannya tak terlalu besar. Adam ingat dia dan Devan sempat berdebat waktu memilih meja makan untuk rumah ini.

“Gimana bisnismu, Dam?” Opa bertanya dengan suara beratnya, karena sangat dekat dengan Devan, alhasil Oma dan Opa Devan sudah seperti keluarganya sendiri. Bahkan kalau dipikir-pikir, Adam lebih sering mengunjungi mereka dibanding Devan.

“Lancar, Opa. Adam juga ke sini mau meeting sama salah satu klien.” Jawab Adam yang kembali teringat pada cetak biru malang kebanggaannya yang dia kerjakan sampai begadang bahkan tidak tidur.

“Opa tau kamu pasti sukses,” kata lelaki itu diikuti dengan tepukan di bahu Adam. Lalu setelah lanjut mengobrol mengenai keluarga Adam di Jakarta dan kesibukannya belakangan ini, Opa memilih untuk menyusul istrinya ke belakang. Orang tua memang tidak suka tidur terlalu malam tapi Adam tetap saja tertawa kecil ketika matanya memandang jam dinding kayu yang menunjukkan pukul sembilan. Karena bagi Adam, jam sembilan itu masih sore.

Lihat selengkapnya