Sabtu senja, saat Ameli sedang bersantai di cafe hits di kota, sebuah panggilan masuk di ponselnya. Tidak biasa, karena panggilan itu dari asisten pribadi sang ayah.
"Untuk apa pria tua ini menghubungiku?", Ameli malas mengangkatnya. Panggilan itu terus masuk hingga beberapa kali. Terganggu dengan deringan ringtone bernada lagu boyband papan atas Korea Selatan yang terus berbunyi, ia pun menyerah.
"Ada apa, Chris?"
"Nona, tuan Allen, ayah Anda..", Chris tidak siap untuk mengatakan hal yang ingin disampaikannya.
"Iya, ada apa dengan ayahku?", rasa penasaran Ameli tiba-tiba memuncak.
"Beliau meninggal"
Ameli tidak mengerti dengan maksud Chris. "Aku sedang berkumpul dengan temanku. Jangan mengganggu ku dengan lelucon konyol!"
"Tidak, nona! Ayah Anda baru saja meninggal!", seru Chris.
Ameli tersentak, "Tidak mungkin!". Sulit dipercaya, baru tadi siang ia pamit pada sang ayah sebelum pergi main ke luar. Ayahnya juga terlihat normal dan sehat, hanya saja ayahnya memang memiliki riwayat penyakit jantung tapi bukan dalam tahap yang mengkhawatirkan. Penyakitnya sangat jarang sekali kambuh, itu pun setelah minum obat pasti segera pulih dengan cepat.
Ameli pergi meninggalkan teman-temannya yang bingung karena ia langsung lari tanpa pamit. Ia menghentikan taksi untuk menuju rumah sakit yang diberi tahu oleh Chris. Sesampainya di sana, ia langsung bertemu dengan Chris di pintu masuk rumah sakit. Mereka saling bertatapan, keduanya serius tanpa senyuman maupun sapaan.
Chris menggiringnya berjalan menyusuri lorong menuju satu tempat di ujung sisi barat rumah sakit. Ruang jenazah, tertulis tulisan itu di atas pintu berwarna putih di ujung lorong. Semakin dekat, langkah Ameli semakin berat. Ibu dan saudari tirinya sedang berdiri sambil berpelukan di depan pintu. Ameli berkumpul dengan mereka.
"Ibu..", Jenna, ibu tirinya terlihat kacau.
"Ameli", Ameli menghampiri Jenna. Ia menatap Jenna dan saudari tirinya, Julie, bergantian. Ameli tidak bisa berkata-kata, seolah ada batu yang menyangkut di tenggorokannya.
Ameli meminta Chris menemaninya masuk ke ruang jenazah untuk melihat jasad sang ayah. Tepat di tengah ruangan itu, satu-satunya ranjang rumah sakit dengan kain putih yang menutupi jasad terbujur kaku. Ameli meneguhkan hatinya untuk mendekat, namun rasanya tidak sanggup untuk melihat.
Chris menyibakkan kain putih itu, menampakkan wajah Allen yang pucat. Tangis Ameli seketika pecah, ia memeluk jasad sang ayah tidak percaya.
"Katakan bahwa ini hanya mimpi!"
Ameli bak makhluk tak bernyawa. Ia dipapah dua temannya saat menghadiri pemakaman. Setelah itu hari terus terasa kelabu. Hari-hari indah sekarang musnah. Sudah lima hari Ameli mengurung diri di kamar tanpa keluar sedikit pun. Untuk makan, seorang pelayan setia mengantarnya tiga kali sehari meski tidak selalu dihabiskan.
Satu-satunya keluarga yang tersisa sudah pergi. Setelah ibunya meninggal saat Ameli berusia lima tahun, kini ayahnya yang pergi. Padahal baru dua minggu lalu ayahnya mengadakan pesta ulang tahun ke 23 Ameli dengan meriah.
"Tidak habis pikir aku kehilanganmu secepat ini", Ameli mengusap foto ayahnya di dalam bingkai. "Kau tega, yah! Meninggalkan ku dengan dua orang itu. Kau kan tahu aku tidak suka dengan mereka!"
"Ameli! Ameli sayang!", suara Jenna terdengar dari balik pintu.
"Masuklah, pintunya tidak dikunci!", sahut Ameli.
Jenna mengintip sedikit lalu melangkah masuk.
"Sudah habiskan makan siangmu?", padahal Jenna melihat makanan di piring masih utuh tidak tersentuh sedikit pun.
"Aku tidak nafsu makan"
"Jangan begitu, Ameli. Nanti kau sakit"
Ameli duduk bersandar di pinggir ranjang. Jenna berusaha mendekatinya.