Rini menatap kursi kosong di sampingnya. Seseorang seharusnya duduk dikursi itu, menjawab dan berdebat dengannya dan ketua hakim di depan mereka. Namun dia sengaja menghindari hari penting itu, hari yang akan menjadi moment penting bagi nasib pernikahan mereka berdua. Rendra, laki laki yang hampir delapan tahun membina rumah tangga dengannya, lebih memilih absen datang ke pengadilan agama untuk memperlancar putusan cerai mereka.
Hanya ada Tina dan Rama, yang menjadi saksi dari pihak Rini. Setelah mereka memberikan keterangan dan menjawab segala pertanyaan dari hakim, Rini diputuskan sah bercerai dengan Rendra.
"Kamu baik baik saja.?" Tanya Tina saat mereka sudah keluar dari ruang sidang.
Rini menutup berkas yang tersusun di mapnya, dan memberikan kepada petugas di loket.
"Ini yang terbaik Tin, untuk aku dan Rendra."
Mereka berjalan menuju mobil mereka di parkiran mobil Pengadilan Agama Palembang.
"Tidak ada yang terbaik Rin dalam sebuah perceraian, pasti ada yang terluka disana." Protes Tina.
Rini tersenyum. "Siapa bilang tidak ada yang terluka.?"
"Semuanya pasti terluka, kita hidup bersama selama delapan tahun, dan itu bukan waktu yang singkat untuk menyelami hati masing masing." Lanjutnya.
"Mungkin ini yang terbaik buat dirinya, mendambakan apa yang selama ini tidak dia dapatkan dari pernikahan kita."
"Ya tapi tidak dengan menyakitimu Rin, selingkuh dibelakangmu hingga kekasihnya hamil." Tina tampak emosi.
"Sudah Tin." Rama mencoba meredam amarah Tina dengan mengusap bahunya.
Rini hanya tersenyum.
"Aku sudah melalui prosesnya berbulan bulan Tin, hingga ke titik ketok palu. Aku hanya ingin melanjutkan hidupku. Bab tentang mas Rendra sudah aku tutup."
Mereka masuk kedalam mobil.
"Kamu tahu, aku pernah mengatakan pada Rendra diawal awal pernikahan kami, bahwa aku tidak akan menjadi pihak yang membuat pernikahan ini berakhir. Cinta dan setiaku ini hanya untuknya. Dan aku tidak akan menahan langkahnya untuk orang lain."
Rini menyandarkan dirinya ke kursi mobil diikuti Tina.