Lost In Memory

Bramanditya
Chapter #2

Pulang

Pesawat Exspress Air jurusan Palembang Jogjakarta mendarat mulus di Bandara Adi Sutjipto. Segera Rini menyalakan handphonenya saat sedang menunggu kopernya di ruang pengambilan bahasi, untuk melihat apa ada pesan atau telpon masuk.

'Aku telat Rin. Gino.' 

Sebuah pesan masuk di handphonenya dari seseorang yang tidak dikenalnya.

Rini mencari nomor Bayu adiknya, lalu mengirim pesan padanya. 

'Yu dimana? Aku sudah sampai.' 

Setelah mendapatkan kopernya, Rini berjalan keluar menuju ruang tunggu kedatangan lalu duduk di kursi panjang.

Handphonenya berbunyi, ada nama Bayu di layarnya.

"Dimana Le? Aku sudah sampai ini di Jogja." Ucap Rini. 

"Mbak, nanti yang jemput mas Gino ya, soalnya aku lagi nganter Sri ke puskesmas." Suara Bayu putus putus di ujung telpon.

"Oalah ya sudah, tadi ada sms dari Gino, soalnya aku tidak tahu siapa Gino." 

"Iya mbak, nanti langsung ke warung di pantai ya." 

"Ya Yu, nanti aku langsung ke warung." 

"Ya wis mbak, hati-hati." 

Bayu menutup telponnya.

Rini membuka kembali pesan dari Gino lalu menyimpan nomornya dan menelponnya.

"Halo Rin, ini aku sudah sampai di ring road, paling sepuluh menit lagi masuk bandara." Suara Gino kencang beradu keras dengan musik koplo dibelakangnya.

"Ya mas, aku sudah diruang tunggu, nanti kabari mas kalo sudah masuk parkiran." 

Rini terkejut Gino tiba tiba tertawa dengan kerasnya.

"Kenapa Mas?" Tanya Rini heran.

"Kamu lupa tho sama aku?" Samar samar suara Gino.

Rini terdiam, mencoba mengingat ingat sosok yang menelponnya. 

"Lupa mas, nanti pas ketemu coba, siapa tahu aku ingat setelah melihat wajahnya mas Gino." Rini menyerah.

Gino tertawa. " Ya wis Rin, tunggu ya." 

Sebulan setelah Rini divonis menderita alzheimer, dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaaanya. Lima belas tahun bukanlah waktu yang sebentar baginya berada di perusahaan tempat dia bekerja saat ini. Sebuah pencapaian tertinggi bagi Rini adalah saat dirinya ditunjuk untuk menjadi kepala cabang di Palembang tiga tahun lalu. Namun mau tidak mau, dirinya harus jujur kepada pihak manajemen alasan kenapa dia mengundurkan diri agar keputusan dari manajemen cepat segera turun dan tentunya tidak ada prasangka buruk dari manajemen perusahaannya. 

Perpisahan dengan Tina dan Rama adalah yang terberat baginya. Mereka sudah Rini anggap seperti saudara sendiri yang membantu Rini dan Rendra beradaptasi saat pindah ke Palembang. Merekalah yang selalu ada dan menguatkan Rini saat menghadapi proses perceraiannya dengan Rendra, suaminya.

Rini memeluk Tina erat saat peripisahaan mereka dia pintu masuk keberangkatan Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang. 

Tangis haru masih mewarani perpisahan mereka. Rini melepas pelukannya dengan Tina lalu memeluk Rama sebentar. 

"Jaga diri kalian baik baik." Pesan Rini. 

"Kamu juga Rin, tetap kabari perkembangan dirimu disana, jangan putus komunikasi." Tina mengusap air mata Rini. 

"Terimakasih untuk semuanya, terutama beberapa bulan terakhir ini. Maafkan aku kalau suatu saat aku tidak mengingat kalian. Buatlah sesuatu untukku agar saat kita bertemu nanti aku menjadi tahu bahwa kalianlah sahabat terbaikku."

Rama dan Tina memeluk Rini sambil terisak, melepas kepergian sahabat mereka. 

**

Rini berdiri di titik penjemputan yang dia sepakati dengan Gino. Beberapa kali mobil berhenti didepannya namun bukan Gino, agak menyesal Rini tadi tidak menanyakan mobil yang dibawa Gino.

Sebuah mobil avanza berhenti di depannya, tak henti-hentinya Rini menatap mobil itu namun tidak ada seorangpun yang keluar dari dalam mobil.

"Rini." Sebuah teriakan mengagetkannya. Sumber suara dari mobil carry coklat yang berhenti tidak jauh dari mobil avanza didepannya.

Lihat selengkapnya