Lost in Ourselves

Veronica Faradilla
Chapter #1

Pertemuan

Aku duduk membisu di sudut kamarku, menghadap puluhan lembaran-lembaran foto yang berserak di lantai. Di sana terdapat potret seorang gadis dengan berbagai pose. Gadis yang sempat membuatku tersesat di dalam diriku sendiri. Ada fotonya yang sedang menatap sunset, ada yang sedang memasak, ada yang sedang naik perahu, ada yang sedang naik kuda, ada juga yang sedang mencoba bermain skateboard. 

Aku ingat memori itu. Saat dia mencoba untuk berlatih skateboard, dia sempat tergelincir dan menabrak tong sampah. Namun dia tak peduli. Dia tak seperti gadis-gadis kebanyakan yang takut terluka. Gadis itu berbeda. Aku melihat gadis itu gigih berusaha, sehingga akhirnya dia mampu meluncur dengan lancar menggunakan skateboard-nya. Dia tersenyum lebar kala itu, menampilkan sebuah ekspresi kebebasan. Gadis yang kutahu bersifat ceria dan pantang menyerah. Bergaul adalah hobinya, karena dia mempunyai ketertarikan kepada makhluk yang bernama manusia. Aku mengetahuinya karena dia sering bercerita mengenai teman-temannya. Hidupnya seperti tanpa beban, membuatku ikut bahagia ketika bersamanya.

Suatu sore musim hujan tahun lalu, aku pernah bertanya kepadanya, “Kenapa kamu suka dengan obyek yang bernama manusia?”

“Manusia itu unik. Karena setiap individu itu mempunyai karakteristik yang berbeda. Tidak pernah ada yang sama. Mereka juga dapat dikategorikan sebagai misteri,” ujarnya tegas, “menarik untuk diselidiki hingga perasaannya yang terdalam.”

Aku tersenyum mengenangnya. Tanpa sadar aku bergumam, “Ya. Makanya kamu suka banget bergaul denganku. Karena menurut kamu, aku ini adalah salah satu makhluk unik yang diciptakan Tuhan. Senang banget jika kamu mau menyelidikiku sampai perasaanku yang sedalam-dalamnya.”

TING. Tiba-tiba laptopku berbunyi. Suara itu pasti berasal dari media chatting yang sengaja kuaktifkan. Aku memang selalu mengaktifkan media chatting milikku selama 24 jam, jika aku sedang berada di rumah. Sudah lama sekali media chatting itu bisu, tak pernah tersentuh jemariku.

“Siapa ya?” gumamku. Pikiranku campur aduk, berusaha menerka-nerka.

 Aku terpaku ketika melihat layar laptopku. Sebuah pesan terpatri di kotak masuk akun sosial media milikku. 9.30 pm. 1 minute ago.

 Ah, gadis di foto itu. Aku telah mengabaikannya selama satu tahun. Tepatnya berusaha setengah mati untuk mengabaikan segala hal yang berkaitan dengan dirinya. Dan kini dia muncul lagi. Mungkin dia hendak mengulang sebuah catatan kisah lama yang nyaris terlupakan. Perjalanan persahabatan yang tak pernah kuanggap sempurna, dan memang tidak dapat kujadikan sempurna segigih apapun aku berusaha.

Kyla Isabella Santos :How are you, Andrew? Are you still alive there? Don’t hide anymore, please. I need to talk to you soon.”

Aku berpikir antara dua pilihan. Merasa seperti tengah berdiri di sebuah persimpangan jalan. Balas atau tidak? Jika kubalas, maka luka lamaku akan terkuak lagi. Namun jika tidak kubalas, aku tidak akan bisa tidur karena terus memikirkannya. Batinku bergejolak antara penasaran dan gengsi. Ada rasa rindu yang begitu kuat untuk mengobrol dengannya lagi. Apalagi belakangan ini aku tak pernah menemukan teman chatting yang asyik selain dia. Akhirnya aku membunuh gengsiku, lalu membalas pesannya. Jemariku menari sangat pelan di atas keyboard laptop, seperti penari yang terluka.

Andrew Ginanjar :I’m fine.Thanks. What's up?”

Kyla Isabella Santos : “Oh my God! Glad you’re online now! You don’t know how happy i am when you replied me. I missed you! Why didn’t you contact me at all after that? Andrew, do you wanna kill me, huh?”

Aku tersenyum pahit. Aku ingin membunuhnya? Dialah yang ingin membunuhku. Mengapa gadis ini suka memutarbalikkan fakta? Aku menarik nafas panjang, mencoba sekuat tenaga untuk menghalau semua perasaan yang bercampur aduk. Lalu aku kembali mengetik. Jemariku kembali menari-nari dengan sangat pelan, sembari otakku berputar keras untuk merangkai kata-kata demi membalas pesan gadis itu.

Andrew Ginanjar : So what's the problem?”

Kyla Isabella Santos : May I call you?”

Andrew Ginanjar : “What's for?”

Beberapa menit setelah aku membalas pesan-pesannya, handphone-ku langsung berdering. Di layar hape-ku tertera sebuah nomor yang dulu sering mengisi inbox hape-ku. +639169728031. Nomor dari Filipina. Ah, padahal dia belum kuizinkan untuk meneleponku.

(Percakapan dalam bahasa Inggris)

“Kenapa?” tanyaku dingin, setelah aku mengangkat telepon darinya.

“Aku pikir kamu sudah lupa sama aku,” sahut Kyla. Suaranya sedikit bergetar.

“Memangnya mau apa sih kamu nelepon aku lagi?”

“Kenapa kamu bertanya seperti itu? Kita kan sahabat lama. Jangan-jangan kamu masih marah ya, Andrew?”

“Tentu saja.”

“Maaf ya. Padahal aku rindu sama kamu.”

Aku terdiam. Jika dia sudah mengucapkan kata-kata itu, artinya dia benar-benar rindu kepadaku. Tetapi ada sesuatu yang membuatku heran: apa yang dia rindukan dari aku? Setelah aku dan dia melewati semuanya, masih pantaskah dia mengucapkan kata-kata rindu seperti itu? Tidakkah terdengar munafik?

“Aku serius,” ujarnya lagi.

***

Manila, 18 Juni 2011

Aku tiba di Ninoy Aquino International Airport (NAIA) tepat pukul sebelas siang. Tubuhku terasa pegal karena perjalananku cukup panjang. Aku terbang menggunakan maskapai penerbangan Jetstar, dan mengharuskanku untuk transit terlebih dahulu di Changi International Airport, Singapura. Setelah menunggu sekitar empat jam di Changi, akhirnya aku terbang ke Manila. Membawa seluruh harapan dan mimpiku terbang bersamaku.

Libur musim panas telah usai, namun udara di Manila hari ini masih saja begitu panas. Tak ada bedanya dengan Jakarta. Matahari yang menyengat, rasanya mampu menembus atap bandara, lalu membakar kulitku. Ditambah lagi hiruk pikuk yang terjadi di bandara, membuatku semakin gerah dibuatnya. 

Kuseka peluh yang membanjiri keningku dengan menggunakan punggung tanganku. Kesan pertama yang kutangkap adalah NAIA tidak terlalu isitmewa. Bandara ini hampir mirip dengan Soekarno Hatta. Ramai dan penuh sesak. Orang-orang berjubel berjalan menuju pintu keluar. Tetapi hal itu tidak membuatku mengeluh, karena aku mempunyai sebuah tujuan dengan datang ke sini. Hari ini adalah hari yang paling kunanti-nantikan sejak sebulan yang lalu. Sepanjang perjalanan, hatiku tak berhenti berdebar, menghantarkan keringat dingin di sekujur tubuhku.

Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari seseorang yang telah berjanji untuk menjemputku.

Mabuhay, Andrew!” seru seseorang. 

Suara itu begitu familiar, sehingga membuatku menoleh. Mataku tertumpu pada seorang gadis yang mengenakan kaos berwarna hijau muda bertuliskan bahasa Tagalog yang tidak kumengerti maknanya, dan celana pendek berwarna hitam. Kakinya terbalut sepatu sneakers berwarna kuning terang, senada dengan warna tulisan di kaosnya. Dia menggendong sebuah ransel berwarna hitam. Tas yang tidak kelihatan berat. Mungkin dia membawa tas itu hanya untuk menambah gaya. Aku melihat sebuah kamera NIKON tergantung di lehernya. Dia terlihat seperti seorang backpacker. Kemudian aku melihat gadis itu tersenyum lebar sambil melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Ekspresi wajahnya menampakkan kehangatan dan keceriaan, sebagaimana aku mengenalnya. 

“Kyla!” Aku balas melambai kepada gadis itu. Sporty, fresh, dan tetap cantik. Itulah kesan pertama yang kutangkap dari sosoknya. Dia mendekatiku. Aku terpesona melihat fisiknya. Rambutnya panjang menyentuh bahu. Sesekali rambutnya menari-nari kecil tertiup angin. Bola matanya bening serupa manik hitam, hidungnya mungil, dan bibirnya tipis. Dia tampil natural. Tak ada make up berlebih pada wajahnya. Dia hanya memoles wajahnya dengan bedak tipis dan lip gloss bening.

Kyla Isabella Santos adalah gadis Filipina yang tanggal 16 Juli nanti berusia 19 tahun. Saat ini dia sedang kuliah di De La Salle University (DLSU). Sebuah universitas tua yang terletak di Taft Ave Malate, Manila Philippines. Universitas ini lumayan terkenal di Filipina. Menurut Kyla, berdasarkan perkataan teman-temannya yang tinggal di luar Manila, universitas ini lumayan ketat dan juga sangat mahal. Sulit untuk lolos masuk ke sana.

“Jadi merupakan hal yang langka bagi aku yang bodoh ini, untuk masuk ke sana. Aku sedang dipeluk oleh dewa keberuntungan,” canda Kyla waktu dia tengah chatting denganku.

“Kamu hanya merendah saja. Aku yakin kamu memang aslinya pintar,” sahutku.

“Hahaha, ucapanmu selalu membuatku tersanjung, Andrew.”

 Sedangkan aku sendiri sudah lulus kuliah sejak dua tahun yang lalu. Aku pernah bekerja menjadi cameramen sebuah acara traveling selama enam bulan. Karena pekerjaanku tersebutlah aku menjadi cinta dengan dunia traveling. Karena saat aku tengah melakukan sebuah perjalanan, aku seperti dapat melebur dengan alam. Masalah-masalahku dan rasa kesepianku dapat terlupakan sejenak. Hal itu pula yang membuatku mencintai pekerjaanku.

 Namun karena aku dianggap tidak kompeten secara sosialisasi, akhirnya masa kontrakku tidak diperpanjang. Rupanya perusahaan tersebut hanya merekrut orang-orang yang atraktif. Sedangkan atasanku tidak menganggapku sebagai orang yang atraktif. Memang sih, saat istirahat kantor, aku lebih memilih minum kopi sendirian di ruangan, sembari sibuk mengutak-atik kamera. Hampir setiap saat aku menolak jika teman-teman kerjaku mengajak minum kopi atau makan di kantin kantor. Aku sering beralasan sedang ingin makan sendiri.

 Tidak jarang teman-teman kantorku mengundang ke acara ulang tahunnya dan ingin mentraktirku di restoran-restoran favorite. Atau mengundangku untuk sekedar menambah keakraban dengan pergi karaoke bersama. Namun aku selalu punya sejuta alasan untuk menolaknya. Ya beginilah aku. Aku lebih menikmati waktu kesendirian, karena aku dapat merenungkan banyak hal. I love solitude.

“Maaf ya. Tapi kami akan tetap memberikanmu surat referensi,” ujar atasanku saat tidak memberikan perpanjangan kontrak kepadaku.

Aku hanya dapat memakluminya. Namun hal itu mampu menghancurkan kepercayaan diriku, serta membuatku putus asa. Untung saja kala itu Kyla membuatku termotivasi untuk kembali bangkit. 

Lihat selengkapnya