Hari Minggu menjelang siang, aku dan Kyla sudah berdiri di area pintu masuk sebuah condominium Taft Ave Manila 2 Torre Lorenzo. Justin, teman kyla tinggal di salah satu unit dalam gedung tersebut. Menurut Kyla, di sanalah aku akan tinggal untuk sementara waktu, selama aku berada di kota ini. Sesuai perkataan Kyla, condominium ini memang terletak tak jauh dari De La Salle University, kampus Kyla.
“Kamu yakin akan menempatkanku di sini? Apakah aku tidak akan merepotkan teman kamu?” tanyaku memastikan. “Sebenarnya aku sudah menyiapkan dana yang cukup untuk tinggal di hostel murah selama sebulan.”
“Aku sudah bilang, jangan khawatir berlebihan. Kamu tidak akan merepotkan. Justin adalah temanku yang sangat baik. Dia itu laki-laki yang ramah. Kamu pasti suka berteman dengannya. Lagipula lebih baik kamu simpan uangmu untuk biaya makan dan biaya travel kita nanti.”
Akhirnya tanpa banyak berkata-kata lagi, aku segera masuk ke dalam condominium tersebut dengan membawa tas ranselku dan sebuah koper kecil. Aku di sambut dengan ramah oleh seorang pemuda berkulit putih, bermata agak sipit, dan memiliki rambut pendek yang dicukur rapi. Pemuda ini dapat dibilang tampan, dan lumayan berwibawa. Aku dapat melihatnya dari auranya dan sikapnya yang begitu dewasa. Dia mengenakan kaos putih berkerah dengan motif garis-garis biru, dan celana panjang hitam.
“Kamu pasti Andrew kan? Teman Kyla dari Indonesia?” tanya Justin dengan bahasa Inggrisnya yang lumayan fasih. Aku jadi terkagum-kagum akan kemampuan Filipino yang rata-rata mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris, termasuk supir taksi yang mengantarku kemarin ke hotel.
Aku tersenyum dan menjabat tangannya. “Iya benar. Aku Andrew Ginanjar.”
“Masuklah. Kamu bisa tinggal di sini sampai kapanpun kamu mau.” Justin membuka pintu lebar-lebar.
Aku melirik ke arah Kyla. Kyla tersenyum menenangkanku. Dia pun menggamit lenganku lalu menyeretku masuk ke dalam. “Ayolah Andrew, kamu tak perlu malu-malu seperti itu!”
Aku sempat terharu juga ketika mengetahui keramahan dan kehangatan yang ditawarkan oleh para Filipino tersebut. Mereka memperlakukanku dengan sangat baik, seakan-akan aku adalah sahabat mereka yang sudah mereka kenal lama. Aku jadi merasa punya sahabat baik. Sangat kontras jika dibandingkan dengan pergaulanku di Indonesia.
Aku meletakkan tas ranselku di sebuah sofa kulit yang diletakkan di ruang tamu. Kemudian aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Condo ini lumayan bagus dan bersih. Dapat kupastikan bahwa Justin adalah orang yang senang kebersihan. Condo ini tidak terlalu luas, namun tidak terlihat sempit karena semua fungsi ruangannya dibuat secara maksimal. Dinding condo ini didominasi oleh warna putih bersih. Aksen hangat alami ditampilkan dari pemilihan furniture-nya yang sebagian besar berwarna cokelat kayu, dan sedikit sentuhan warna hijau.
Sebuah sofa kulit berwarna krem 3 seat diletakkan di ruang tamu, menghadap ke arah televisi LCD yang digantung di dinding. Di samping sofa, tepatnya di pojok ruangan, terdapat pot berisi tanaman hijau dari plastik setinggi satu meter. Di lantai depan sofa digelar karpet berwarna hijau muda bermotif daun-daun berwarna hijau tua. Di bawah tv terdapat coffee table berwarna cokelat. Jarak satu meter dari sebelah kiri televisi, terdapat sebuah papan menggantung, yang di bawahnya terdapat dua buah kursi bar berwarna hijau muda. Rupanya papan kayu tersebut difungsikan sebagai meja makan ala meja bar. Di samping papan kayu tersebut terdapat dapur mini dan juga toilet. Semuanya terawat dengan baik. Selain itu, condo ini juga mempunyai pencahayaan yang cukup bagus karena terdapat sebuah jendela besar yang menampilkan pemandangan kota Manila. Dari sana aku juga mampu melihat De La Salle University. Gedung tersebut benar-benar megah.
“Semoga kamu betah di sini,” ujar Justin.
“Dia pasti betah kok, asalkan kamu jangan usil sama dia!” seru Kyla bercanda.
“Tentu saja tidak! Malah dia tidak betah kalau ada kamu. Telinganya pasti sakit mendengarkan kecerewetanmu. You talk too much!” sahut Justin tak mau kalah.
Aku tak mampu menghilangkan perasaan cemburuku saat melihat Kyla berbincang sedemikian akrabnya dengan Justin. Aku sedikit kesal dengan Justin. Sesaat aku merasa menjadi orang yang sangat berdosa. Justin sudah sangat baik karena sudah mau menampungku selama aku berada di sini. Lagipula Kyla bukan siapa-siapaku, jadi aku tidak pantas untuk cemburu. Tetapi perasaan iri melihat Kyla yang sangat dekat dengan Justin mau tak mau semakin memuncak.
Seakan hendak memecahkan kebekuan di antara kami, Justin mulai bercerita, “Kyla sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Usia kami terpaut jauh, sekitar delapan tahun. Bulan September nanti usiaku bertambah lagi, menjadi 26 tahun.”
“Oh, aku pikir kalian berdua sebaya. Ternyata kau bahkan lebih tua dari aku,” sahutku.
“Berarti aku kelihatan muda dong?” canda Justin, membuat Kyla tertawa hingga terbungkuk-bungkuk.
“Kamu pasti sedang menghibur diri sendiri,” tukas Kyla.
“Sudahlah, akui saja!” seloroh Justin.
Kyla langsung memasang wajah pura-pura cemberut. “Tidak!”
“Kamu memang kelihatan jauh lebih muda daripada usiamu yang sebenarnya. By the way hubungan kalian dekat sekali ya.” Mau tak mau komentar tersebut meluncur juga dari mulutku. Mendadak aku merasa seperti seorang nenek-nenek nyinyir yang senang bergosip. Ah, aku merasa menyesal tak mampu menyembunyikan apa yang ada di dalam hatiku.
“Kami memang akrab, karena kami berdua adalah teman dari kecil. Adikku pernah pacaran dengan Kyla. Mereka menjalin hubungan bahkan di saat mereka baru berusia tiga belas tahun.”
Ucapan Justin spontan membuatku menoleh ke arah Kyla. Aku heran karena aku tak pernah mendengar cerita ini dari Kyla sebelumnya. Padahal aku berkenalan dengan Kyla saat gadis itu berusia 14 tahun. Tak ada sedikit pun kudengar cerita mengenai Kyla yang sudah mempunyai pacar. Tak ada pula foto-foto Kyla bersama pacarnya tersebut. Tetapi aku tak jadi mengungkapkan keherananku tatkala aku menangkap kesedihan yang terpancar dari wajah Kyla. Keceriaannya mendadak langsung lenyap.
“Masa lalu,” ujar Justin.
“Lalu kenapa kamu tinggal sendirian, tidak bersama adikmu dan orangtuamu?”
Justin tersenyum. “Mereka semua sudah tiada.”
Aku kembali terkejut. “Ah, sorry to hear that.”