Lost in the Paint

Siti Khadijah
Chapter #2

Bagian 2 - Farah Latisia

"Berhenti berlari! Dasar jalang!"

Derap langkah kaki masih menggema diantara dinding koridor yang tengah ku lalui. Tiang penyangga berukuran besar menjadi spot menarik yang kian lama semakin membuatku ingin terjun saja dari balik jendela yang tengah mengintip.

"Sialan!"

Umpatan demi umpatan semakin jelas ku dengar. Tubuhku sudah gemetaran sejak tadi.

Aku merunduk semakin dalam diantara lekukan tangga yang tengah menjadi tempat persembunyianku. Samar-samar ku dengar langkah kaki menjauh. Aku bersandar, mengusap dada dan menghela nafas lega.

Aku masih duduk dibawah tangga dengan tangan yang mencengkram erat bahu. Pria asing itu berhasil melukai bahuku hingga membuat darah mengalir deras dari balik pakaian.

Tangan kananku masih mencoba menghubungi Latia, teman satu asrama yang selalu bisa diandalkan dalam keadaan mendesak seperti ini. Tapi entah karena kebetulan atau apa, nomornya tidak berhasil di hubungi meski sudah seratus kali.

"Latia. Aku mohon."

Aku ingin menangis, tidak mungkin kembali berbalik pada gang masuk tadi. Mereka pasti masih disana, menunggu dengan pasti mencoba memastikan aku akan jadi korban selanjutnya.

Ya. Komplotan pencurian dan pemerkosaan itu sudah ada di sana sejak sekitar 2 bulan lalu. Entah apa dasarnya, tapi warga sekitar sering mengatakan 'jangan pernah keluar malam hari, jika tidak ingin bertemu dengan Ronald dan komplotannya. Mereka sangat berbahaya.'

Dan aku, sudah memastikan kebenarannya. Berbekal penasaran tingkat tinggi, aku dengan lancang memasuki kawasan kekuasaan mereka. Hanya berjalan-jalan di trotoar jalan dekat gang kecil dengan bangunan kosong yang sangat menyeramkan ketika malam hari. Dan sialnya, aku terjebak didalam bangunan tua yang kerapkali mengeluarkan bunyi yang semakin membuat nyaliku ciut.

Tap... Tap... Tap...

Suara langkah kaki dari depan membuat tubuhku menegang kaku, seluruh indera dalam tubuh seolah berlomba menjadi yang terkuat. Bunyi gesekan sepatu dengan lantai menambah kesan menakutkan dari lorong gelap yang nampak usang dan berdebu jika dilihat dari tempatku.

Aku merunduk, menangis dari balik lutut yang gemetaran. Tidak ada lagi harapan. Ini semua karena kebodohanku bukan?

Pelan. Langkah kaki itu semakin mendekat diiringi dengan suara rintik hujan yang mulai membasahi tanah.

"Hei. Kau sedang apa disini?"

Seorang pria dengan penutup kepala tengah berjongkok didepanku. Kepalanya menoleh sana sini, entah apa yang dicarinya. Ia melepaskan penutup kepalanya, sangat tampan.

"Aku Brian. Rumahku di belakang sana. Ayo pergi."

Tangisku masih berlangsung, hingga ia mengeluarkan sapu tangan dan mengikatnya di bahuku. Sakit dan perih bercampur menjadi satu.

"Cepat. Aku mendengar suara Ronald. Sejak tadi aku mendengar pria sialan itu mengumpat. Aku- aku takut seseorang jadi korban. Ibu..."

Ia menggelengkan kepalanya. Mengulurkan tangan kanan lalu mencoba memapahku.

"Berhenti menangis, Ronald punya pendengaran yang tajam."

Dan isakanku terhenti seiring langkah kakinya yang keluar dari bangunan tua itu. Sejenak, aku melihat seorang wanita berusia akhir 40an tengah memandang kami dengan sebuah senyuman terukir di wajahnya. Kemudian berbalik.

Pikiranku berkecamuk, ingatan-ingatan masa lalu mencoba menyeruak ke permukaan. Ikut memusingkan perasaan.

Tepukan di pipi membuatku menoleh dengan mulut terbuka, pria itu terkekeh. Kami sampai disebuah rumah dengan gaya klasik. Asri dan nyaman.

Dan saat itulah, aku melihat seorang gadis muda yang sangat mirip dengan wanita yang ku lihat dibangunan tua tadi.

"Rania. Ambilkan kotak P3K."

Gadis itu mengangguk, kemudian masuk kedalam rumah. Sekilas, dapat ku lihat banyak lukisan dan foto yang terpajang di dinding rumah mereka. Tapi, satu foto menjadi pusat perhatianku.

Wanita tadi.

Gadis bernama Rania datang dengan sekotak obat dan baskom berisi air hangat. Masih ada uap yang mengepul dari dalam.

"Obati lukanya. Aku ingin pergi sebentar."

Rania bergeming. Ia menatap Brian dengan tatapan yang sulit ku artikan. Hingga mereka bersitatap lalu Rania menghembuskan nafas kasar.

"Pergilah. Sampaikan salamku pada bajingan-bajingan itu. Eh, maksudku paman."

Rania mendengus dengan senyuman miring, meninggalkan Brian yang mengepalkan tangannya kuat.

"Mau apalagi? Tidak jadi pergi?"

Lihat selengkapnya