Rania Daniella, perempuan berambut pirang dengan bola mata hazel tengah menyusuri sudut-sudut kota. Sesekali meniup tangan mungilnya yang tertutupi es, seingatnya terakhir kali ia memegang dompet disekitar jalanan yang tengah ia lalui.
Sudah 2 jam Rania mondar-mandir di sebuah kedai minuman hangat, matanya menelisik dengan teliti setiap sudut jalan dan trotoar. Tapi hingga larut malam, dompetnya tetap tidak ketemu.
"Kau mencari ini? "
Pria tampan bertubuh atletis menyodorkan sebuah dompet pink, bertuliskan Nona Rania di tali pegangannya. Rania menghela nafas lega, sebelum ia dapat mengambil dompetnya. Pria tersebut kembali menarik tangannya.
"Sayangnya saya perlu imbalan, Nona... "
Pria misterius itu melihat kembali tali pegangan dompet.
"Rania. "
Rania mengangkat alisnya samar.
"Sebutkan kau ingin apa. "
Pria misterius itu menurunkan topinya, kemudian mata mereka bertemu. Saling melengkapi.
Dug... Dug... Dug...
Rania terbangun dengan wajah bertemu tanah dan pantat bertemu langit, pose yang sangat absurd sekali.
Debu mengepul dari atas tubuhnya, Rania terbatuk hingga menyita perhatian beberapa hewan dan tentunya warga sekitar. Warga yang tidak pernah melihat 'apa' itu manusia.
"Nonoaaa!! Da Lagendaa!! "
Seorang perempuan paling cantik disana dengan tubuh tinggi menjulang menunjuk-nunjuk Rania yang masih mengatur nafas.
"Bencana apalagi ini Ya Tuhan. "
Rania memilih membaringkan tubuhnya, sebab kantuk tiba-tiba menghampiri. Sedang disekitarnya kini banyak sekali prajurit berpakaian putih, serta seorang pemuda tampan berkuda yang tengah menatap Rania tanpa kedip.
"Loa! "
Ia berteriak, membuat seisi hutan perbatasan bergema.
"Loa! "
Kembali, burung-burung beterbangan dari balik hutan yang sangat gelap. Menyisakan aura menakutkan yang membuat penyadap madu bunga langsung kembali ke sarang mereka.