Yuna
Aku menatap gedung setinggi enam puluh sembilan lantai di hadapanku. Katanya, sih, itu gedung tertinggi di Indonesia. Aku menyangka dengan berteduh di seberangnya maka air hujan tak akan menyentuh ujung rambut panjang merah mudaku. Pada kenyataannya, ujung rokku pun ikut basah. Aku menepuk-nepuk permukaan blazer cokelatku yang terpercik air. Sepatu merahku yang paling menderita, sudah basah terpercik lumpur pula. Padahal tingginya sudah sembilan senti. Kalau bukan karena habis meeting di dekat gedung tinggi sore itu, aku akan lebih memilih sandal jepit. Dan kalau bukan karena janji berikutnya dengan si bawel Prita di kedai kopi yang baru buka di Bintaro, aku akan tetap berada di dalam gedung sampai hujan berhenti.
Sejak tadi ponselku sudah berdenting. Kebanyakan pesan dari Prita dan beberapa dari Kala. Aku baca pesan Prita yang isinya mendesakku untuk tiba tepat waktu. Kubalas dengan ‘OK’ dan ‘OTW’. Setelah itu aku baca pesan dari Kala. Tunanganku itu menawarkan diri untuk menjemput dan mengantarku ke tempat Prita. Aku menolaknya karena kupikir itu bukan ide yang bagus mengingat kemacetan yang kini berduet dengan hujan deras. Tidak. Lebih baik aku memesan taksi online saja.
Aku menggulir layar ponsel dan mengetik tujuanku di aplikasi taksi online. Beberapa kali pesananku ditolak. Sudah lima belas menit dan belum ada yang menerima pesananku. Aku menggerutu sepanjang waktu hingga sebuah bau mengalihkan perhatianku. Bau yang selalu mengingatkan aku pada seseorang dari masa lalu. Aku menatap satu-satu wajah orang yang sedang berteduh di dekatku. Di sebelah kiriku tidak ada yang perlu aku perhatikan. Kemudian di belakang juga tidak. Aku mengendus pria di sebelahku. “Ya Tuhan, baunya mirip sekali. Parfum pasaran!” batinku. Pria yang kuendus baunya langsung bergeser. Mungkin karena menganggapku cewek gila.