Ray
Gadis yang berada di hadapanku ini sedang menelisik kruk yang kusandarkan di samping meja. Aku bisa membaca pikirannya. Yuna penasaran dengan kruk itu. Walaupun kami sudah lama tak berjumpa, aku masih mengenalnya. Lihat saja caranya menatap alat bantu jalanku. Walaupun diam-diam ia memperhatikan benda itu, tetap saja dia ketahuan. Dia sama sekali tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya; yang sebenarnya bisa saja membuat orang lain tidak nyaman.
"Aku kecelakaan sepeda motor," seruku. "Kamu mau tanya itu, kan?"
"Ke ... kecelakaan?!" Yuna menutup mulut dengan tangan, setelah itu terdiam.
Aku tidak menyangka kalau penjelasanku sungguh membuat Yuna terkejut. Padahal hampir 90% orang yang bertemu denganku langsung bisa menebak penyebab aku harus menggunakan kruk dan juga kaki palsu sebelah kanan.
"Apa kabar, Yuna? Kamu belum jawab pertanyaanku sejak tadi," kataku memecah keheningan di antara kami. Yuna menggenggam permukaan cangkir latte-nya dengan kedua tangan. Aku bisa melihat setitik air di arlojinya. Kemudian titik-titik air itu semakin banyak di lengan baju. Aku menyangka Yuna sedang mencoba menghangatkan diri dengan permukaan cangkir itu. Atau, kalau tebakanku yang satu ini benar, ia juga sedang kikuk karena berjumpa denganku.
"Baik," jawabnya singkat.
Setelah menyeruput latte-nya, Yuna langsung membuang pandangan ke arah lain. Ia tidak berani menatapku langsung. Tatapannya terkunci pada pasangan berwajah murung di sudut ruangan. Sang lelaki sedang mencoba merayu, namun wanitanya menggerutu.
"Kebetulan sekali, ya. Kita ketemu," ucapku lagi. Kedai kopi bukan tempat untuk diam-diaman, kan? "Enggak terasa sudah delapan tahun. Kayak baru kemarin kita ketemu. Kamu sama sekali enggak berubah."
"Oh, ya? Sebaliknya, kamu berubah banyak, Ray." Akhirnya gadis itu bicara lebih dari tiga kata.
"Tidak ada yang berubah dariku, Yuna. Kamu hanya tidak mengenalku. Itu saja."
"Ah, kamu benar." Yuna terdiam lagi. Akhirnya gadis itu menyeruput latte yang sejak tadi ia genggam dengan kedua tangan. Melihatnya sekarang membuatku kembali ke masa di mana aku dan Yuna pertama kali bertemu. Kami satu sekolah saat SMP, SMA, bahkan kuliah. Sejak pertama aku memang sudah menyukainya. Dalam rentang waktu itu, aku yakin sudah dua puluh kali aku menyatakan cinta padanya, semuanya ditolak. Pernyataan cinta yang kesembilan berakhir dengan sumpah serapah. Aku menyumpahi gadis ini jadi perawan tua, jomlo seumur hidup, pokoknya yang berkaitan sama masalah cinta akan berubah bencana untuknya. Hal itu membuat Yuna marah besar. Entah benar atau tidak, katanya Yuna benar-benar nggak punya pacar. Setiap kali naksir sama cowok, tak pernah sekalipun berakhir dengan status pacaran. Paling beruntung statusnya cuma pacar tapi 'boong'.