Lost In You

Pikadita
Chapter #4

Kafe In

Kala

    “Apa yang kamu lakukan di bak sampah?” ucapku setelah menemukan Yuna mengorek-ngorek tempat itu dengan sebatang kayu panjang. Barusan aku menghubungi Yuna untuk menanyakan keberadaannya. Yuna tidak mau memberitahu sedang di mana ia berada. Ia menyuruhku langsung pergi ke tempat Prita. Lho, buat apa aku ketemu Prita? Tunanganku, kan, Yuna. Akhirnya, kuaktifkan apliaksi tracking lokasi Yuna di ponsel. Tidak sampai lima belas menit berkendara, aku langsung menemukannya. Di bak sampah.

    “Kala? Kamu ngapain?” Yuna terkejut melihatku sudah berada di belakangnya. Aku tidak habis pikir Yuna bisa punya kegiatan di bak sampah. Padahal, untuk buang air kecil di toilet umum saja dia berpikir jutaan kali.

    “Kamu yang ngapain?” balasku. Aku ingin tahu alasan dia berada di situ sampai-sampai harus melupakan janji dengan sahabatnya. “Tuh liat, semua orang melihatmu,” imbuhku. Yuna tidak berbuat apa-apa saja sudah cukup mencuri perhatian orang dengan rambut pink terangnya, kini rambut pink itu berjibaku di bak sampah. Beneran, aku jadi sakit kepala melihat tingkahnya itu.

    “Ehm, aku lagi cari sesuatu. Aku sudah menelusuri sepanjang jalan. Kini giliran bak ini,” urai Yuna. Ujung tongkat yang ada di tangannya masih berada di dalam tempat sampah.

    “Berikan tongkat itu,” perintahku. Alih-alih memberikannya kepadaku, Yuna malah menjatuhkannya ke sisi lain. “Apa yang kamu cari?” tanyaku.

Yuna terlihat berpikir. Aku tahu ia sedang berbohong kalau seperti itu. “Ehm, kartu nama,” jawabnya.

“Hanya kartu nama? Sepenting itu, kah? Kamu enggak bisa mendapatkannya lagi?”

Yuna mulai tampak kesal. Sangat tergambar di wajahnya. Aku terus menekannya karena ia tidak pernah berkata jujur jika dalam kesulitan. “Iya, penting. Aku baru dapat kartu nama itu hari ini. Untuk keperluan bisnis. Bagaimana bisa aku menghilangkannya.”  

Sementara itu, langit mulai mendung lagi. Dari pada Yuna semakin tidak jelas bentuknya, maka aku langsung mengajak gadis itu masuk ke dalam mobil. Dan melupakan kartu nama yang aku ragukan kehilangannya.

Di dalam mobil, Yuna menyemprotkan handsanitizer yang baru kuberikan, berkali-kali. Setelah itu ia menelisik celah di kuku. Lalu ia menyemprotkan handsanitizer lagi. Setelah puas, gadis itu membebaskan telapak kakinya dari cengkeraman heels berhak runcing yang entah bagaimana Yuna bisa berjalan di atasnya, sambil ngorek-ngorek bak sampah lagi. Sulit di percaya, kan?

“Oh ya, untuk kartu nama yang hilang, kamu kan bisa menghubungi perusahaan orang itu lagi, Na. Enggak perlu seheboh itu, kan? Masak tunangannya Kala Mahendra mainan di tempat kayak gitu,” godaku agar Yuna tidak manyun melulu.

Yuna tidak bilang apa-apa. Ia hanya menatap ke depan, memperhatikan langit yang mulai kelabu. “Kita jadi ke tempat Prita?” tanyaku.

“Hah? Prita?!” Yuna terperanjat.

“Jangan-jangan kamu enggak bilang apa-apa ke dia?”

Buru-buru Yuna mengambil ponsel dan menggulir layarnya. Sambil menunggu panggilannya tersambung, Yuna berkata, “Aku bilang, sih, tadi bakalan agak terlambat. Tapi enggak selambat ini.”

 Gara-gara kartu nama? Kartu nama apa sih yang bisa membuat gadisku begitu lupa segalanya.

Lihat selengkapnya