Ray
Sebenarnya, perjumpaan pertamaku dengan Yuna bukan waktu SMP. Seingat Yuna memang saat SMP. Tapi ingatanku lebih panjang. Pertama kali kami bertemu adalah saat kami kelas 4 SD, di sebuah gang sempit pinggir kampung.
Saat itu ...
"Mana yang lainnya? Cuma segini?" teriak seorang anak bertubuh gemuk. Temannya yang kurus sedang menempelkan pipi kananku ke tanah sambil menimpa pundak.
"Enggak ada lagi, Bang," kataku setelah memberinya duit lima ratus perak. Si kurus menekan lagi pundakku. Kali ini ia juga menjambak rambut yang sudah ibu tata rapi sedemikian rupa.
"Bohong. Ayo kita geledah," kata yang gemuk. Mereka pun mulai menggeledah seluruh tubuhku dan tidak menemukan apa-apa. Alih-alih melepaskanku, mereka malah semakin menjadi. Si gemuk menendangku dan temannya menarik kerah bajuku, menekanku lagi ke tanah, dan aku pun tidak bisa bergerak. Aku pikir sebentar lagi akan melihat malaikat maut.
Cuma, malaikat maut kok bisa secantik itu? Seorang anak dengan baju terusan renda-renda berwarna putih berlari ke arahku. Umurnya sepertinya sama denganku, sekitar sepuluh. Tentu saja ia panik melihat keadaanku. Ia pun berteriak memanggil ibunya. Dua anak sok keren tadi pun lari tunggang-langgang dengan duit lima ratusku.
"Kamu enggak apa-apa, Nak?" kata Ibu si anak manis tadi. Sementara aku cuma menatap anak yang bersembunyi dibalik pundak ibunya, sambil sesekali mengintipku.
"Enggak apa-apa, Bu," jawabku. Ibu itu tak mendengarku. Ia langsung mengangkat tubuhku agar bisa bangun, dan menuntunku ke mobilnya. Mau dibawa ke rumah sakit katanya. Aku, sih, iya-iya aja waktu itu. Terlebih bisa satu mobil dengan anak itu.