Aruna menatap garang pada nadira yang menuntun sepedanya menuju tempat parkir. Seingat dirinya telah memberikan dispensasi dua hari untuk gadis itu libur, tetapi belum satu hari anak tengil itu sudah kembali bekerja.
“Seingatku, baru kemarin kau meminta dispensasi dan kuizinkan libur dua hari, kenapa hari ini tiba-tiba sudah menampakkan wajahmu di sini?” Aruna berkacak pinggan, memandang Nadira yang tersenyum kecil sambil menggaruk kepalanya.
Mobil Aruna yang sudah terparkir cantik di parkiran market, memberikan sedikit lahan untuk sepeda Nadira berdiri di samping benda mewah itu.
“Aku bosan di rumah sendirian,” jelas Nadira. “Dispensasinya untuk besok saja. Aku mau check up ke rumah sakit bersama mama,” lanjutnya.
Aruna menggeleng pelan melihat tingkah Nadira.
Mereka berdua jalan beiringan menuju bagian belakang market, Nadira melepas ransel yang ia pakai, meraba isi tas nya, mencari kartu absensi.
Aruna menghentikan langkahnya, memandang pada Nadira dengan kedua mata menyipit.
“Jangan bilang kau lupa kartu absensimu,” selidik Aruna.
Dirinya sangat geram melihat tingkah Nadira yang tidak pernah mau menurut, kalau sampai gadis itu lupa membawa kartu absensinya, Aruna tidak akan segan memberikan hukuman agar sahabatnya jera dan mau sedikit mendengar omongan.
“Aku pikir tetinggal, ternyata terselip di saku belakang tas.” Senyum cerah Nadira mengembang.
Gadis itu mengibar-ngibarkan sebuah kertas tebal, berwarna hijau muda di hadapan Aruna, dan berhasil membuat sahabatnya menarik napas kesal.
“Beruntunglah kau tidak lupa sehingga aku tidak jadi memberikan hukuman pada anak nakal sepertimu,” rutuk Aruna kesal. “hari ini kau bertugas memeriksa stock saja, jangan ke depan dulu!” lanjut gadis itu memberi perintah yang langsung ditanggapi anggukan oleh Nadira.
“Siap boss!” jawab Nadira setengah meledek.
Tangannya memberi hormat pada Aruna, kemudian berlari kecil menuju mesin absensi dan menyimpan tas nya di loker. Namun, Nadira harus menghela napas pelan, mengingat kebodohannya kembali terjadi. Ia lupa membawa seragam ganti, di loker hanya tersedia seragam yang sudah ia pakai dua kali dan baunya pasti sangat tidak enak untuk di pakai.
Nadira menggapai baju yang tergantung rapi, mengendus sedikit bau yang menempel pada baju tersebut, seketika perutnya terasa terbalik, menyebabkan dirinya hampir saja muntah.
“Astaga, baju ini baunya seperti naga,” keluh Nadira, tetapi mau tidak mau, ia harus memakai baju tersebut.
***