LOTUS

Misseri. cek bio
Chapter #1

Prologue

Sebaris kalimat telah terbentuk dari hasil goresan benda putih yang digenggam oleh seorang anak berseragam sekolah. Dia tengah berdiri membelakangi dua puluh lima anak dengan seragam yang sama. Tidak, jumlahnya adalah dua puluh empat. Aku kembali memerhatikan siswa tadi, ternyata dia telah kembali ke tempat duduknya setelah mendapat sebuah anggukan dari sosok yang tengah duduk di balik meja guru—Pak Mizuya. Aku menatap Pak Mizuya seraya menopang kepalaku dengan tangan kananku dan mulai menulis ketika beliau menjelaskan arti dari kata yang tertulis di papan tulis.

“Jika kalian melihat contoh yang ditulis oleh Tuan Akira, kalian bisa mengetahui rumus dari tenses yang satu ini, yaitu verb 2 ditambah dengan...”

Aku menginterpretasikan perkataan Pak Mizuya ke dalam buku catatanku dengan cepat. Mataku terus terpaku pada setiap huruf yang kutulis. Setiap kali beliau berhenti berbicara, tangan kiriku secara otomatis berhenti menulis. Bosan. Pelajaran bahasa Inggris kali ini terasa membosankan karena aku tidak menyukai materinya. Padahal, biasanya aku sangat tertarik dengan sastra dan sejenisnya.

Aku mengangkat kepalaku dan menatap keluar jendela. Kelasku berada di lantai tiga gedung barat, jadi aku dapat melihat halaman belakang sekolah yang sepi serta sejumlah pohon yang menjulang tinggi hingga setara dengan lantai dua gedung ini. Kemudian aku menatap sedikit lebih keatas lagi dan melihat langit yang masih berwarna biru walaupun waktu sudah menunjukkan pukul dua lewat lima belas menit. Bel tanda berakhirnya pelajaran akan berbunyi kira-kira lima belas menit lagi, namun nampaknya Pak Mizuya belum berniat untuk menghentikan penjelasannya.

Aku menghela napasku diam-diam. Setelah penantian selama lima belas menit, akhirnya Pak Mizuya memutuskan untuk mengakhiri kelasnya sesaat sebelum bel pulang sekolah berbunyi. Aku dapat mendengar beberapa helaan napas lega dari sekelilingku. Rupanya, bukan hanya aku saja yang menginginkan kelas untuk segera berakhir. Aku memasukkan buku catatanku ke dalam tas beserta dengan beberapa alat tulis yang kupakai. Saat sedang mengangkat tasku ke atas meja, tiba-tiba ada sebuah benda yang terjatuh dari dalam tasku. Aku menatap sebuah buku yang tergeletak di lantai dan seketika teringat jika aku harus mengembalikan buku itu ke perpustakaan sekolah empat hari lagi. Aku mengambil buku berjudul Dongeng Peri Es itu, lalu meletakkannya di atas meja.

Aku kembali menggantungkan tasku di meja lalu mulai membaca buku yang cukup tipis itu. Buku ini setidaknya memiliki enam puluh halaman dan berukuran dua puluh kali sepuluh senti meter. Dengan ketebalan buku seperti ini, aku merasa aneh pada diriku sendiri karena tidak bisa menyelesaikannya sejak kali pertama aku meminjam buku ini.

“Hei, lihat anak itu! Setiap hari dia hanya duduk sendirian di tempatnya, apa dia tidak merasa bosan, ya?” ujar seorang perempuan.

Aku sedikit tersentak mendengar suara seseorang tak jauh dari tempatku berada. Kelas sudah dibubarkan sekitar lima menit yang lalu, orang yang berkemungkinan masih berada di kelas ini setelah bel pulang sekolah adalah petugas piket kelas. Seingatku, Sora dan Haruna adalah petugas piket perempuan yang paling rajin.

“Oh, itu Ara, kan?” sahut seorang lainnya.

Ya, benar sekali. Mereka adalah Sora dan Haruna.

“Mengapa murid cantik seperti dia selalu menyendiri, ya?” tanya Sora.

“Dia terlalu misterius, makanya sekarang dia tidak punya banyak teman. Banyak rumor yang beredar jika tidak ada yang mengetahui masa lalunya, klub detektif sekolah kita pun tidak mendapatkan informasi apapun tentangnya.”

“Kalau begitu, setidaknya dia memiliki satu orang teman, kan? Tapi, aku tidak pernah melihatnya berbincang dengan siapapun,” Sora terdengar ragu.

Aku melirik mereka berdua melalui pantulan kaca jendela kelas. Kulihat mereka sedang berdiri di bagian depan kelas dan Haruna terlihat sedang membisikkan sesuatu pada Sora. Aku menggelengkan kepalaku sedikit, lalu kembali menatap buku di tanganku. Tidak usah diperdulikan.

“Si idola satu sekolah itu?! Bagaimana bisa?!” seru Sora.

Haruna meringis, “Pelankan suaramu, nanti dia bisa mendengarmu.”

Aku mengernyitkan keningku—berusaha memfokuskan pikiranku pada buku yang tengah kubaca, namun tidak ada satupun kata yang terserap ke dalam otakku. Akhirnya aku menyerah dan hanya menatap datar pada lembaran kertas penuh kalimat tanpa membacanya. Sepertinya, rumor beredar begitu cepat di dunia ini—mengingat belum ada sebulan sejak aku bersekolah di sini. Aku tidak terkejut sih, kehidupanku memang tidak jauh dari hal-hal seperti ini. Aku menghela napas sebelum melanjutkan membaca buku yang tadi kutunda sejenak.

“Aku dengar ada banyak murid yang sering mengganggunya, tapi mereka malah kena sial,” ujar Haruna.  

“Maksudmu?”

“Entahlah, dari yang kudengar sih setiap orang yang mencari masalah dengannya selalu kena ganjaran dengan cara yang tidak wajar,” jelasnya.

“Memangnya apa yang terjadi pada mereka?” tanya Sora.

“Kemarin, Nana dari kelas 3 – C mencoba untuk mengerjainya, namun sebelum sempat memulainya, dia malah tersiram air dari ember yang dipegang temannya. Tama kelas 3 – A juga pernah berencana menceburkan Ara ke sungai di belakang sekolah, tapi malah mereka yang tercebur duluan,” Haruna memelankan nada bicaranya.

Sora tertawa, “Anehnya!”

“Aku masih bisa menerima kebetulan semacam itu, walaupun aku tidak tahu apakah itu ulah Ara atau memang benar-benar sebuah kebetulan. Tapi, aku tidak suka dengan sikap dia yang berani melawan kakak kelas, bisa-bisa kelas 2 – C juga ikut diincar karena dia.”

“Yah, anak yang misterius memang tingkahnya tidak pernah bisa ditebak, lagipula kita tidak ada hubungannya dengan dia jadi kau tidak perlu takut,” sahut Sora.

“Temanku pernah menggodanya karena tidak percaya dengan rumor tersebut. Saat itu perkataannya memang berlebihan dan sesaat setelah temanku membalikkan tubuhnya, temanku terpeleset hingga kepalanya terbentur meja dan berdarah,” ujar Haruna.

“Wah, benar-benar kebetulan yang tidak menyenangkan, ya.”

“Terlalu aneh jika disebut sebagai suatu kebetulan! Apalagi, semua hal yang terjadi selalu berhubungan dengan air,” Haruna terdengar kesal.

“Apa yang ingin kau katakan?” Sora nampak sedikit kesal.

“Setelah mendengar semua kejadian itu dan fakta bahwa dia juga anak pindahan—sudah hampir sebulan sejak kepindahannya namun tidak ada yang tahu latar belakang keluarganya, ditambah dia sering sekali meminjam buku dongeng yang berbau tentang sihir—”

“Tunggu dulu, apa maksudmu dengan buku itu?” potong Sora.

“Aku adalah petugas relawan perpustakaan, Sora. Aku ingat setiap orang yang meminjam buku di perpustakaan dan buku apa yang dia pinjam. Maksudku, coba saja kau lihat sekarang, dia sedang membaca dongeng sihir es!” jelas Haruna dengan nada yang lebih tinggi.

Percakapan mereka terjeda selama beberapa saat sebelum Sora menyahutinya, “Terus terang, aku tidak akan setuju denganmu jika kau benar-benar mengira dia adalah penyihir atau semacamnya. Hal seperti itu sangat tidak masuk akal.”

Setelah itu, aku dapat mendengar mereka mulai membicarakan hal yang lain. Aku menoleh kearah jendela, lalu menatap datar pada sekumpulan murid yang tengah berjalan di lapangan. Perkataan mereka sedikit menyakiti perasaan dan harga diriku. Aku sedikit terkekeh ketika mengingat Haruna yang berusaha meyakinkan Sora.

Terdengar suara peralatan kebersihan yang diletakkan di lemari besi. Aku menoleh kearah mereka dan mendapati mereka ingin keluar kelas. Aku melirik koridor depan kelasku dan tersenyum ketika melihat petugas kebersihan yang sedang mengepel lantai di sana.

“Hey,” ujarku dengan sangat pelan.

Lihat selengkapnya