Aku tersentak hingga terpental mundur ke belakang, gembor besi yang sedang kupegang pun terjatuh dan airnya membasahi kedua kakiku.
“Apa itu barusan?” gumamku.
Aku melihat Ester sedang mengeluarkan sihir dalam jumlah besar di sebuah hutan. Penglihatan itu terjadi begitu cepat, mungkin hanya sekitar lima detik saja hingga aku tidak bisa menangkap situasinya. Aku terdiam menatap permukaan tanah yang basah di sekitar kakiku, mencoba mengingat lima detik yang kulihat tadi. Begitu banyak pepohonan yang daunnya gugur di tempat itu, lapisan salju pun terlihat melapisi setiap batang pohon tersebut. Pohon yang melepaskan daunnya saat musim dingin adalah maple dan oak. Pohon jenis itu hanya ada di benua bagian utara. Aku menelan ludahku. Apa yang Ester lakukan di benua bagian utara?
Dengan cepat aku berlari ke dalam rumahku dan mendekati cermin besar yang berada di ruang kerjaku. Aku mendekatkan tangan kananku pada cermin itu namun menahannya sebelum berhasil menyentuh permukaan cermin. Terdapat keraguan di dalam hatiku tentang lokasi yang kuperkirakan, namun aku segera menepis keraguan itu dan menyentuh cermin itu.
“Tiga puluh persen saja cukup,” gumamku.
Aku mencoba untuk melihat situasi di hutan pohon maple melalui cermin ini untuk memastikan jika lokasi yang kutebak itu benar. Jika tebakanku salah, maka penggunaan sihirku akan sia-sia dan aku hanya akan kelelahan sebelum sempat menolong Ester. Tak lama kemudian, cermin itu mulai bercahaya terang lalu menampilkan pemandangan hutan pohon maple dengan badai salju tidak wajar yang menutupinya. Tanpa menunggu lama, aku menghentikan sihirku kemudian berteleportasi ke hutan tersebut.
Sesampainya di sini, aku sedikit terkejut dengan suhu hutan ini. Benar-benar seperti badai salju alami! Aku mengganti pakaianku menjadi lebih tebal lalu berlari mencari Ester di dalam hutan ini. Aku sungguh khawatir jika Ester melewati batas sihirnya. Kumohon, bertahanlah sedikit lagi!
“Ester!” seruku.
Aku mendapati Ester tengah terduduk dengan kedua tangan yang mencengkram kepalanya. Hatiku begitu teriris ketika menyadari ternyata Ester berusaha untuk tidak mengeluarkan sihir yang lebih kuat lagi daripada badai salju. Dia mencegah dirinya melakukan hal yang lebih berbahaya lagi dengan cara menutup kedua saluran sihirnya yang paling kuat—telapak tangannya. Samar-samar dapat kulihat mata kiri Ester mengeluarkan aura berwarna ungu tua. Kutukan itu... Dia pasti telah mengeluarkan sihirnya lebih dari lima puluh persen!
“Ester!” panggilku seraya menghalangi wajahku dengan kedua lenganku.
“Minty!”
Aku menengok ke belakang dan melihat Leon yang sedang mendaratkan kakinya di tanah. Sepertinya dia terbang kemari dengan menggunakan mantra Thruster—mengeluarkan api dari kedua kakinya yang dapat mendorongnya ke udara—miliknya.
“Bagaimana Ester bisa ada di sini, Leon?! Bukankah dia seharusnya kembali ke Lotus bersamamu?” tanyaku kesal.
“Aku memang bersamanya tadi! Dia menyuruhku untuk memanggil ketua dan Karrie di markas saat dia tahu jika dia tidak bisa menahannya!” sahut Leon.
“Jadi, kau meninggalkannya?!” tanyaku tidak percaya.
Aku benar-benar tidak menyangka jika Leon meninggalkan Ester sendirian untuk mencari bantuan.
“Ester yang menyuruhku! Tidak ada waktu untuk berdebat, Minty! Saat aku berhasil membuka celah di dekatnya, kau harus segera masuk kesana dan sadarkan dia!” Leon menyalakan Thruster dan terbang tinggi di udara.
Aku mengangguk dan berlari memutar untuk mencari sisi yang tidak terlalu dingin. Aku sangat takut melihat kekuatan sebesar ini, namun aku lebih takut jika melihat Ester terluka. Ingatan tentang kejadian serupa mulai menghantui pikiranku. Bahkan hanya dengan mengingatnya membuatku ingin menangis.
Tiba-tiba aku mendengar suara Karrie disusul dengan kedatangan Alex dan Karrie dari kejauhan. Ketika mataku bertemu dengan Alex, dia segera mengarahkan busur panahnya kearah Ester. Tepat saat Alex menembakkan tiga anak panah api—Tresla—miliknya kearah Ester, aku dapat melihat salah satu anak panahnya berhasil membuka celah di dekat punggung Ester. Tanpa ragu, aku langsung berlari kearahnya.
“Ester!” aku menggapai pundak Ester lalu membalikkan tubuhnya dan memeluknya erat.
Suhu di sekitar Ester benar-benar sedingin es. Dengan mengabaikan rasa sakit yang kurasakan, aku berusaha memikirkan cara yang tepat untuk menyadarkannya. Tidak, walaupun kami berbagi darah yang sama, aku tidak memiliki kemampuan untuk bertahan dari udara dingin seekstrim ini karena es bukanlah elemen utamaku.
“Minty! Apa kau sudah gila?! Itu berbahaya!” seru Karrie.
“Oh, ayolah… Aku baru saja menembus badai es, orang waras tidak mungkin melakukannya, kan?”
Sesuai dugaanku, Ester tidak mengurangi sedikitpun sihirnya. Aku tersenyum pahit kemudian menyentuh kening Ester dengan keningku. Ah, aku sudah tidak dapat merasakan kedua kakiku.
“Sial! Seharusnya kita meredakan badai ini terlebih dulu agar Minty lebih mudah untuk masuk kesana!” seru Karrie.
“Kau pikir aku sedang apa?!” gerutu Leon yang sedang menghasilkan uap api yang menyebar.
“Tidak apa... Abaikan sekitarmu, Ester. Tidak perlu marah pada diri sendiri, aku tidak akan pernah menyalahkanmu...” aku dapat merasakan suaraku bergetar.
Perlahan, aku dapat merasakan bahwa kekuatan yang dihasilkan oleh Ester berangsur-angsur melemah. Badai salju yang dibuatnya pun menghilang dan aura ungu di matanya lenyap. Aku menatap Ester yang mulai bisa mengendalikan tubuhnya lagi. Dengan sisa tenaga yang ada, aku tersenyum padanya. Beberapa detik kemudian, pandanganku menjadi buram dan aku tidak sadarkan diri.
=====================================================================
Aku membuka kedua mataku dan menemukan diriku tengah melayang di sebuah tempat yang sangat luas. Tidak, aku sedang mengambang di dalam air. Aku mencoba untuk mengeluarkan sihirku namun tidak bekerja. Aku melihat ke sekelilingku dan tersentak ketika menyadari jika aku dapat bernapas di sini. Di tengah keterkejutanku, tiba-tiba aku merasakan kehadiran sesuatu di belakangku. Dengan cepat aku menoleh ke belakang dengan perasaan was-was. Seluruh tubuhku membeku begitu melihat sepasang mata berwarna ungu menyala di kegelapan. Sepasang mata itu tidak terlihat seperti pupil mata manusia, melainkan seperti binatang.
Tiba-tiba aku menyadari jika air di tempat ini membeku secara cepat hingga menyentuh tubuhku. Sebelum aku sempat bergerak, tubuhku sudah terperangkap hingga yang tersisa hanyalah leher dan kepalaku. Aku menatap sepasang mata itu dengan penuh tanya dan memohon pertolongan. Tak butuh waktu lama bagiku untuk menyadari jika sosok itu hanya bisa memerhatikanku dari kejauhan. Aku mulai merasakan leherku terasa membeku secara perlahan. Di tengah-tengah situasi ini, aku menghela napasku seraya memejamkan mata. Perlahan, aku dapat merasakan sihir mulai mengalir kembali di tubuhku. Ketika aku membuka mataku, aku telah berada di sebuah ruangan bersama Alex, Karrie, dan seorang sesepuh perempuan.
“Ester!”
Mengapa aku bisa berada di sini? Apa mereka— Tunggu dulu! Secepat kilat aku melompat dari sofa dan bergerak menjauhi mereka bertiga. Aku berposisi siaga dengan kedua tangan mengeluarkan embun es seraya menatap tajam mereka.
“Apa yang—” Alex nampak bingung.
“Jangan mendekat! Aku tidak percaya dengan kalian!” seruku.
“Apa yang kau katakan? Kami temanmu, Ester!” ujar Karrie.
“Kalian pikir aku baru pertama kali mengalami situasi seperti ini?” tanyaku.
Terjadi keheningan mendadak di ruangan ini. Aku menatap Alex yang memasang ekspresi datar seperti biasanya. Aku melirik Karrie yang menatapku dengan sedikit mengernyitkan keningnya.