Aku memijat pundak kiriku secara perlahan. Setelah mengeluarkan sihir hingga tidak sadarkan diri seperti tadi, aku merasa heran karena tidak merasakan lelah yang berlebihan. Hal yang sama pernah terjadi dua tahun yang lalu, namun saat itu aku juga tidak merasa kelelahan. Sepertinya, bukan hanya diriku saja yang menjadi lepas kendali, namun aliran sihirku pun dikendalikan oleh kutukan itu.
Aku menghela napasku, “Merepotkan.”
Sepertinya, tidak banyak waktu yang tersisa untuk mencari tahu lebih dalam tentang kutukan ini. Aku sedikit kesal karena selama ini terlalu sibuk dengan urusanku sebagai anggota 7 Dewan dan siswi sekolah. Sejak menerima kutukan itu, aku menghabiskan waktu setahun penuh hanya untuk meredam rasa sakit setiap kali teringat dengan traumaku. Kesibukan itu membuatku tidak menduga jika gejala dari fase selanjutnya akan muncul secepat ini.
Aku menggerakkan kepalaku ketika merasakan hawa tidak nyaman saat memikirkan tentang traumaku. Benar, hal yang membuatku menderita selalu datang dari sana dan tempat itu berada di masa lalu. Aku sudah terbebas darinya, tapi mengapa aku merasa seperti sedang terkurung di dalam sebuah penjara? Masa-masa itu telah berlalu, namun jiwaku masih terjebak di sana. Padahal kukira aku telah berlari cukup jauh...
Pintu kamar terbuka secara tiba-tiba dan Karrie muncul dari balik pintu sambil berkacak pinggang, “Bagaimana keadaanmu, Ester?”
Aku menatap Karrie dan tersadar. Wajah Karrie yang berusaha terlihat tenang setiap kali bertemu denganku membuatku sedikit lega. Benar, semua hal perih itu telah berlalu. Sekarang aku memiliki keluarga yang bisa kupercaya, setidaknya bisa membuatku bernapas lega.
“Lebih baik dari sebelumnya,” jawabku.
Karrie sedikit memiringkan kepalanya, “Ada apa?”
“Tidak, aku hanya sedih mengingat kaka—”
“Aku bukan bertanya tentang itu,” potong Karrie.
Aku menatapnya, “Lalu?”
“Kau pasti mengerti maksudku. Apa yang kau pikirkan?” tanyanya.
Aku terdiam. Ah, benar juga. Perempuan yang ada di hadapanku ini kan Karrie, tidak ada yang dapat menyembunyikan sesuatu darinya. Lagipula, bukan suatu kebetulan juga Karrie tiba-tiba datang ke tempatku berada. Dia pasti menyadari keberadaanku di sini walaupun aku tidak mengerti bagaimana dia bisa melakukannya. Kalau dipikir-pikir, aku memang belum pernah menanyakan hal itu padanya.
Aku menghindari kontak mata dengan Karrie dan lebih memilih untuk menatap bayangannya di permukaan lantai. Seketika teringat sesosok diriku di masa lalu yang tidak pernah merasa aman ketika melihat bayangan seseorang. Entah sudah berapa puluh atau bahkan ratusan kali aku melihat bayangan dan siluet dari sosok yang ingin membunuhku, hal itu membuatku terjaga sepanjang malam. Berbeda dari semua bayangan yang pernah kulihat, bayangan yang sekarang tengah kuperhatikan terasa sangat familiar dan hangat hingga tidak membuatku takut.
Hanya ketika sedang bersama Karrie dan yang lainnya lah aku bisa merasa tenang. Perasaan semacam itu membuatku selalu ingin mempercayakan segala sesuatunya pada mereka. Namun, tiap kali aku ingin membuka mulutku untuk memberitahukan tentang kegelisahanku, hatiku meragu untuk beberapa saat. Apakah aku boleh mengharap bantuan dari mereka? Bagaimana jika teman-temanku merasa terbebani karena harus selalu membantuku? Lagipula aku adalah orang yang menyebabkan mereka semua berada dalam kesulitan, apakah pantas jika aku mengeluhkan kegelisahanku padanya? Semua keraguan itu selalu diakhiri dengan satu pertanyaan yang sama; Apakah aku dapat mempercayai mereka?
Aku menghela napasku dan tersenyum tipis, “Aku hanya ingin tahu apa yang sebaiknya aku lakukan terhadap kutukan ini.”
Karrie terdiam sejenak, “Begitu, ya. Ikuti aku,” ujarnya seraya berbalik badan.
Aku tidak merespon. Aku berpikir jika jawaban yang kukatakan saat ini adalah kebohongan terbaik untuk menutupinya. Meskipun Karrie mengetahuinya, aku tahu dia akan tetap membantuku agar dia tidak menyakiti hatiku yang berusaha membohonginya. Aku telah mengenalnya selama lima belas tahun dan mulai dekat dengannya sepuluh tahun yang lalu. Waktu selama itu tentu saja cukup bagi Karrie untuk mengenal kebiasaan serta pola pikirku.
Aku mengangkat tangan kananku dan membuat sebuah ornamen kecil dari sihir esku, kemudian aku meletakkannya di meja kecil di sebelah ranjang kakak. Ornamen itu berbentuk kucing setengah manusia yang tengah membungkuk hormat. Tangan kanannya berada di dada kirinya sedangkan tangan kirinya berada di punggungnya. Bentuk ini memiliki sebuah makna menghormati, permintaan maaf, dan kasih sayang. Hanya aku dan kakak yang dapat memahami arti dari ornamen ini karena kami mengartikannya sendiri.
“Hei, Karrie. Ada yang ingin kutanyakan,” ujarku sambil mengikuti Karrie dari belakang.
Rambut panjang sepinggang berwarna perak itu nampak berkilau dengan perpaduan warna hijau muda di bagian bawahnya. Aku teringat tentang bagaimana Alex sering menyebut kami sebagai saudara kembar. Karena sebutan itulah aku memutuskan untuk sedikit merubah penampilanku dengan sedikit memanjangkan poniku. Karrie pun memutuskan untuk mengepang sedikit rambut depannya.
“Tanya saja,” sahut Karrie.
Aku mengusap leher belakangku, “Ini terlepas dari masalah kutukanku, sih. Ketika kau mengetahui keberadaanku di kamar tadi, bagaimana kau bisa tahu kalau itu adalah aku?” tanyaku.
“Oh, aku sedikit terkejut mendengar kau bertanya hal seperti itu, mengingat ini pertama kalinya kau menanyakan hal itu setelah sepuluh tahun kita saling kenal. Tapi, ya sudahlah, aku juga tidak ingin berdebat mengenai hal itu,” Karrie terkekeh.
“Maaf, aku terlalu sibuk bertahan hidup,” sahutku.
“Aku dapat membedakan orang yang kulihat berdasarkan getaran pada detak jantung mereka. Sebagai contohnya, Alex memiliki frekuensi getaran yang selalu tenang karena dia memang selalu berusaha untuk tetap tenang di situasi apapun dan Leon selalu memiliki semangat yang menggebu-gebu jadi getaran dia yang paling tinggi di tempat ini. Sedangkan kau, Ester,” Karrie terdiam sejenak.
Aku menatap punggung Karrie, menunggu kelanjutan dari penjelasannya.
“Walaupun dari luar kau terlihat tenang seperti Alex, namun getaran milikmu selalu berubah-ubah setiap waktu, terutama ketika kau sedang ada masalah. Frekuensi seperti itu yang paling mudah untuk kukenali,” jelas Karrie.
“Adakah saat di mana kau gagal dalam memakai kemampuanmu itu?” tanyaku.
Karrie tertawa kecil, “Wah, coba kau bertanya dengan pola pertanyaan yang sama pada Alex, aku penasaran dengan reaksinya.”
“Pertanyaan yang bodoh, ya?” aku terkekeh.
“Yah, tidak juga sih. Kembali lagi pada pertanyaanmu, aku menilai kemampuanku dan memberinya angka sembilan puluh sembilan persen. Keharusan untuk berhasil juga termasuk ke dalam peraturan pada pekerjaanku, bisa kau bayangkan jika aku salah mendeteksi seseorang? Aku sendiri tidak ingin membayangkannya, aku benci jika harus memikirkannya,” jelas Karrie.
Aku tersenyum. Bukan Karrie kalau dia tidak perfeksionis dalam segala sesuatu. Tidak hanya tentang kemampuan pendeteksinya. Berkat sisi perfeksionisnya, setiap kasus yang ditangani olehnya pun dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Dia selalu berhasil menemukan kepingan yang hilang dan sulit ditemukan orang lain. Hal ini membuat sebuah pertanyaan timbul di dalam benakku.
“Kalau begitu, bagaimana menurutmu tentang Nyonya Schwinn?” tanyaku.
Tentu saja, aku bertanya seperti itu karena aku tidak begitu mempercayai Quayer. Mereka semua selalu bersikap netral pada siapapun dan hanya mengikuti perintah orang yang mereka anggap akan menguntungkan mereka. Aku pernah mendengar rumor tentang seorang Quayer yang membantu musuh saat terjadi peperangan dengan alasan lebih menguntungkan. Sedangkan seorang Quayer di dunia ini berperan seperti dokter ahli yang mengetahui setiap penyakit pasien mereka. Hal itu bisa digunakan sebagai senjata bagi musuh-musuh pasien tersebut untuk menjatuhkan target mereka.
Aku bertanya seperti itu pada Karrie karena aku adalah orang dengan banyak musuh, tidak sedikit orang yang ingin menyingkirkanku. Itu karena aku memiliki kemampuan sihir tingkat atas dan berasal dari keluarga Avyanne yang terkenal dengan kepemimpinan ayahku yang bisa dibilang seorang penggila kekuasaan. Dengan posisinya sebagai pemimpin Pasukan Pertahanan Samudera di benua utara dan sifatnya yang otokratis, tidak sedikit bangsawan yang mengancam ayahku dengan cara ingin membunuhku. Padahal, cara seperti itu hanya akan merepotkanku, bukan dia.
“Entahlah, Quayer adalah orang yang sulit dibaca dan keputusannya selalu berubah-ubah. Jika hari ini dia mengatakan yang sejujurnya, ada kemungkinan besok dia akan mengatakan yang sebaliknya, walaupun dia jujur. Tapi, tenang saja, kita sudah mempertimbangkan tentang itu. Jika memang harus mempercayai seorang Quayer, Nyonya Schwinn adalah orang yang tepat untuk kita,” jelas Karrie.
“Bagaimana kau bisa seyakin itu saat mengatakannya?” aku mengernyitkan keningku.
“Entahlah, mungkin testimoni adalah kata yang tepat. Seseorang menyarankanku untuk memanggilnya dan kebetulan aku percaya dengan orang itu,” jawab Karrie.
Aku dan Karrie sampai di sebuah perpustakaan kuno di bagian bawah markas. Perpustakaan ini bisa dibilang merupakan pondasi bagi bangunan ini. Awalnya, tempat ini hanyalah tempat pemujaan kuno untuk para pendahulu kami dengan adanya air terjun kecil di bagian belakangnya, namun Karrie jatuh cinta pada pandangan pertama dengan tempat ini, lalu mengubahnya menjadi perpustakaan megah dan penuh dengan buku-buku langka. Perpustakaan ini adalah tempat istirahat sekaligus tempat kerja Karrie. Dia tidur, makan, dan bekerja di tempat ini. Walaupun memang terdengar sedikit aneh, tapi Karrie adalah orang yang sangat jenius. Dalam keanggotaan 7 Dewan, Karrie berperan sebagai pengumpul informasi dan sering terjun ke pasar gelap atau tempat persembunyian musuh.
“Walaupun begitu, aku ingin kau selalu waspada karena aku tidak bisa menjamin kejujurannya,” tambah Karrie seraya menghampiri sebuah meja dengan seperangkat alat minum teh di atasnya.