Setelah memastikan jika Ester sudah pergi, aku duduk di kursi yang tadi dibuatnya.
“Apa menurutmu Ester—”
“Cariessy,” Alex memotong perkataanku.
Aku sedikit tersentak dan menatapnya. Nada bicara Alex terdengar serius, namun ekspresinya terlihat sangat tenang.
“Tolong diam ya, aku sudah mengetahuinya,” lanjut Alex.
Aku tidak merespon. Begitu ya? Aku menatap pantulan diriku pada permukaan teh di dalam cangkir yang berada di atas meja. Karena suatu alasan, terjadi perdebatan antara ego dan persahabatan di dalam batinku. Seumur hidupku, aku telah berbuat banyak hal egois demi kepentingan sepihak. Aku selalu memikirkan cara apa yang bisa kulakukan untuk membayar semua keegoisan itu. Setiap aku sedang memikirkan hal ini, tiba-tiba saja wajah Ester terlintas di benakku. Ya, benar-benar aneh.
Apakah pertemuanku dengan Ester memang ditakdirkan sebagai salah satu pilihan bagiku untuk menyelesaikan semuanya? Aku menghela napasku. Setiap akhir dari perdebatan itu selalu berujung pada penyelesaian yang sama. Aku benci untuk mengakuinya karena takdir yang aku bicarakan tadi bisa saja salah alamat.
=====================================================================
“Hei, Ester. Apakah kau tidak lapar?” tanya Leon.
Aku dan Leon tengah berada di kamar perawatan kakak. Aku berencana untuk bermalam di sini untuk menemani kakak karena besok aku sudah harus kembali ke Jepang. Dia sudah siuman dan wajahnya terlihat sedikit cerah. Aku merasa sedikit lega.
“Oh, benar juga,” aku menatap Leon, “kebetulan aku ingin makan makanan dari Jepang. Tolong belikan dua set paket sushi dari toko dekat sekolah untukku ya.”
“Hei hei! Memangnya siapa yang ingin membelikanmu makanan? Aku hanya bertanya!” gerutu Leon.
“Oh? Kupikir kau menawariku untuk makan. Itu berarti kau bersedia untuk mencari makanan, kan?” tanyaku seraya menyodorkan uang pada Leon.
“Tapi, tidak untuk pergi ke bumi! Lagipula itu berarti aku harus berteleport ke sana dan itu membutuhkan energi yang tidak sedikit,” Leon menunjuk perutnya, mencoba mengingatkanku jika dirinya juga lapar.
“Kalau begitu akan kutraktir,” aku mengeluarkan uang dengan jumlah lebih banyak dari sebelumnya.
“Tetap saja—”
“Atau kau yang ingin menraktrirku? Sebagai balasan karena aku telah membantumu melepaskan diri dari cewek pengganggu di sekolah tadi?” aku menaikkan sebelah alisku.
Mulut Leon terbuka namun dia tidak jadi berbicara. Dengan sedikit kesal dia mengambil uang di tanganku lalu pergi meninggalkan ruangan. Kakak tertawa melihat tingkah Leon.
“Ya ampun, Ester,” kakak terkekeh.
Aku menghela napas, “Maaf, kak, berisik ya?”
“Tidak, tidak. Aku menikmatinya kok,” kakak tersenyum.
Aku tersenyum seraya mengerutkan keningku. Hanya dengan melihat kakak tersenyum saja aku sudah bahagia.
“Bagaimana dengan tanaman yang kakak butuhkan? Apakah sudah lengkap semua?” tanyaku.
Kakak mengangguk, “Ya, ya. Semua yang kubutuhkan sudah di sini.”
“Semoga dengan itu, kakak dapat sembuh dengan cepat,” ujarku.
“Jangan khawatir,” kakak tersenyum, “bagaimana dengan kehidupanmu di sekolah?”
Aku terdiam sejenak, “Tidak ada yang menarik.”
“Begitu, ya? Sebaiknya kau mengingat alasanmu bersekolah di bumi, Ester,” ujar kakak.
Aku menghela napas, “Untuk menyembunyikan keberadaanku dari dia, kan? Aku mengerti dan semua berjalan dengan lancar tuh. Aku tidak bilang itu hal buruk, aku hanya merasa sekolah di sana tidak sesuai ekspektasiku saja.”
Pintu kamar terbuka dan Alex memasuki ruangan seraya membawa sebuah nampan berisi makanan.
“Maaf mengganggu obrolan kalian. Minty, ini makan malam untukmu, Vionne tadi datang kemari dan membuatkan makanan untukmu,” ujar Alex.
“Tadi? Berarti sekarang sudah pulang?” tanyaku.