Aku menatap langit-langit kamarku dengan tatapan kosong. Kurentangkan kedua tangan dan kakiku di atas kasur. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu siang. Aku mengunjungi Vionne semalam dan baru kembali pukul tujuh pagi. Tadinya, aku berniat untuk beristirahat sebelum berangkat ke Jepang pukul setengah dua siang, namun ingatan tentang percakapanku dengan Vionne masih terbayang-bayang di kepalaku.
Vionne gagal mengajariku cara untuk memperlakukan naga itu dengan lembut karena aku tidak bisa memanggil naga itu. Kami telah mencoba memanggilnya dengan cara apapun selama tujuh jam penuh, namun hasilnya nihil. Akhirnya, Vionne menyarankanku untuk berlatih memanggil naga itu terlebih dahulu sebelum kembali menemuinya. Hal itu membuatku malu dan merasa bersalah, terlebih lagi aku telah menghubunginya di jam kerja.
Aku melirik jam di dinding lalu merangkak menuju kamar mandi untuk bersiap-siap sekolah. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk kembali melangkahkan kakiku tanpa semangat menuju ke sekolah. Alex telah berbicara dengan penjaga perbatasan mengenai insiden penyerangan waktu itu, mereka memberi kami peringatan setelah membereskan kekacauan yang kami buat.
Di sisi lain, seluruh tubuhku masih terasa pegal dan kedua tanganku masih belum sembuh total. Pasti akan sulit untuk menulis dengan kondisi tangan seperti ini, aku harap tidak semua guru menghadiri kelas hari ini. Dari kejauhan, aku dapat melihat Leon tengah berdiri di depan gerbang sekolah dan dia terlihat seperti sedang menunggu seseorang.
“Apa yang anak itu lakukan di sana?” gumamku.
Leon menoleh kearahku dan terlihat gembira seperti biasanya, “Ara!” Leon melambaikan tangan kanannya padaku.
Aku mengerutkan keningku dan bergumam, “Tidak seharusnya dia akrab denganku di tempat seperti ini.”
Aku berjalan mendekatinya, “Mengapa kau tidak masuk ke kelasmu?”
“Aku menunggumu. Ayo!” Leon langsung menarik tanganku sebelum aku sempat mengatakan apapun.
“Hey! Tunggu!” ujarku.
Aku dapat melihat beberapa murid perempuan tengah menatap kami berdua dengan tatapan kesal, lebih tepatnya menatap kami yang tengah bergandengan tangan seraya menyeberangi lahan parkir.
“Tentu saja aku sedang berjalan menuju kelas, sebentar lagi kan jam pelajaran pertama akan dimulai,” jawab Leon santai.
“Berjalanlah sendiri, aku sama sekali tidak berencana untuk menambah masalah di hidupku!” ujarku pelan.
Aku berusaha melepaskan tanganku dari genggamannya, namun genggaman Leon malah semakin erat. Rasa sakit di telapak tangan yang digenggam Leon sama sekali tidak kurasakan, aku terlalu fokus pada tatapan penuh kebencian dan iri dari orang-orang di sekitarku.
“Jangan diperhatikan, hanya akan membuatmu tidak nyaman,” ujar Leon.
“Bagaimana aku bisa mengabaikannya?!” gerutuku pelan.
Tanpa kusadari, kami telah sampai di depan kelasku dan akhirnya Leon melepaskan genggamannya.
“Sana masuk,” ujar Leon seraya tersenyum.
Aku menatapnya geram. Apa yang terjadi padanya kemarin? Leon menjadi dua kali lebih bodoh dari biasanya. Tanpa mengatakan apapun, aku berjalan memasuki kelas dan tersentak begitu melihat teman-teman sekelas menatapku sambil berbisik-bisik. Aku menghela napas dengan berat kemudian berjalan menuju tempat dudukku. Setelah duduk, aku menundukkan kepalaku sambil tetap mengerutkan keningku dan berusaha mengatur napasku. Leon, apa maksudnya tadi?
Aku memejamkan kedua mataku dan menghela napas dalam-dalam. Aku menoleh dan menatap langit di luar jendela. Cuaca di bumi hari ini terlihat sedikit gelap dengan awan hitam yang menggantung di langit, seakan-akan hujan dapat membasahi bumi kapan saja. Benar-benar cuaca yang sempurna untuk melambangkan nasib buruk.
====================================================================
Bel istirahat makan siang berbunyi dan hampir seluruh murid di kelasku menghilang entah kemana. Aku meletakkan kepalaku di atas meja dan menatap keluar jendela. Selama pelajaran berlangsung, aku sama sekali tidak bisa fokus karena terlalu kesal dengan kejadian tadi pagi. Tidak hanya itu, ternyata Leon juga diam-diam memerhatikanku dari luar jendela kelas. Beberapa orang di kelasku menyadarinya dan mulai membuat keributan sehingga guru yang mengajar saat itu memberi kami hukuman berupa tugas menulis essay yang harus dikumpulkan minggu depan. Hilang sudah harapan untuk mengistirahatkan tanganku dari kegiatan menulis.
“Ara!” panggil seseorang dengan suara yang sangat kukenal.
Aku meremas pensil yang berada di tanganku hingga patah lalu menoleh kearah datangnya suara. Lututku melemas begitu melihat si pemilik suara.
“Apa yang kau lakukan di sini? Pergilah,” ujarku pasrah.
Leon tersenyum dan menarik kursi di dekatnya lalu duduk di sebelahku, “Aku tidak bisa menuruti keinginanmu, setidaknya untuk sekarang,” Leon berbicara dengan cukup pelan.
“Jangan berbelit-belit, bicara yang jelas!” gerutuku pelan.
Leon menegakkan tubuhnya kemudian berdiri, “Semuanya dengar!” Leon mengambil lenganku kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi, “mulai hari ini, aku harap tidak akan ada lagi yang mengganggu Ara.”
“Apa yang—”
Perkataanku terpotong karena Leon melirikku sejenak, mengisyaratkanku untuk diam. Anehnya, aku malah menurutinya.
“Karena mulai hari ini, aku resmi menjadi kekasih Ara,” Leon tersenyum bangga.
Mulutku menganga dan aku menatap tak percaya pada Leon. Seisi kelas mulai riuh membicarakan kami berdua, sebagian orang mulai menggoda kami dan sebagian lainnya menatap kami dengan pandangan tidak suka. Aku melirik Leon dengan tajam, namun Leon hanya menatapku seraya tersenyum. Sepertinya dia memang mendeklarasikan perang denganku.
=====================================================================
“Ah, jadi seperti itu kejadiannya,” aku menghela napasku dengan frustasi.
Aku menarik kembali kekuatan yang telah terkumpul di tangan kiriku. Setelah insiden pengakuan yang dilakukan Leon saat makan siang, aku langsung menghajar Leon tanpa ampun sesampainya kami di dunia Lotus. Aku telah menahan kesabaranku sejak tadi pagi sehingga tidak sedetikpun aku memberikan waktu bagi Leon untuk menjelaskan situasinya.
Leon memegang bahu kanannya yang terluka, “Wah, kau datang di waktu yang sangat tepat, ketua. Telat sedikit saja aku bisa mampus.”
Tepat saat aku ingin menyerang Leon dengan Icy Shockwave-ku, tiba-tiba Alex datang dan menjelaskan bahwa yang dilakukan Leon adalah perintah darinya.
“Maaf, aku memang sudah menduga jika Ester akan marah, tapi tidak pernah menduga jika dia akan menyerangmu seperti ini,” Alex mengusap leher belakangnya dengan canggung.
“Tetap saja, setidaknya kau harus memberitahuku. Ya sudahlah, maafkan aku, Leon,” aku mengulurkan tangan kananku pada Leon untuk membantunya berdiri.
“Yah, salahku juga,” Leon menerima tanganku dan berdiri dengan susah payah.
“Apa tanganmu baik-baik saja, Ester? Kulihat warna perbanmu berubah menjadi kemerahan,” ujar Alex.
Aku menatap kedua tanganku dan menyadari jika tanganku memang berdarah. Apa ini karena aku mengeluarkan sihir tadi?
“Yang sebenarnya korban di sini siapa, sih?” gerutu Leon.
“Sepertinya perbanmu harus diganti, Ester. Ayo, kita temui Karrie di ruang perawatan,” Alex mengabaikan gerutuan Leon dan membuka portal menuju markas.
Aku memapah Leon dan berjalan mengikuti Alex menyeberangi portal. Aku merasa bersalah pada Leon karena telah menyerangnya begitu saja. Mengapa aku tidak bisa mengendalikan emosiku tadi? Apa mungkin karena aku sedang tidak enak badan? Saat aku sedang memikirkan tentang hal itu, kami sudah sampai di ruang perawatan. Aku melihat Karrie tengah meracik sesuatu di sebuah kuali besar dan rupanya Vionne juga ada di sana.
“Oh, Vionne,” sapaku.
“Kak Ester!” Vionne tersenyum saat melihatku kemudian wajahnya berubah menjadi cemas saat melihat kedua tanganku dan Leon, “apa yang terjadi?! Ada yang menyerang kalian?!”
“Ya, Ester menyerangku,” ujar Leon seraya membaringkan tubuhnya secara perlahan pada sebuah ranjang.
Aku membantu Leon untuk membaringkan tubuhnya kemudian berjalan menuju ranjang di sebelahnya, lalu duduk di sana seraya meregangkan tubuhku.
“Kak Ester yang melakukannya?” Vionne nampak terkejut.
Karrie membawa beberapa perban dan obat luka dari lemari, “Kalau begitu, siapa yang menang?”
“Tidak ada yang menang atau kalah, aku menghentikan mereka sebelum Ester mengeluarkan Icy Shockwave miliknya,” Alex mengambil perban di tangan Karrie kemudian membuka perban di tanganku.