Aku melangkahkan kakiku tanpa semangat menuju ke sekolah. Kedua tanganku terasa sakit sekali karena mengerjakan tugas semalam. Aku juga tidak bisa tidur karena terlalu memikirkan rencana konyol itu dan sekarang aku mengantuk sekali. Alex mendatangiku tadi pagi dan aku sedikit terkejut dengan pernyataan Alex yang mengatakan bahwa dia tidak menduga jika aku akan kehilangan kendali seperti itu. Alex yang kutahu selalu memikirkan segala sesuatunya dengan teliti dan tidak terburu-buru. Mengapa dia bertindak seperti orang yang baru pertama kali membuat rencana? Aku sungguh kesal melihatnya.
“Awas!” seru seseorang di belakangku.
Sebelum aku sempat menoleh ke belakang, sebuah sepeda menabrakku dengan kencang hingga membuatku terpental cukup jauh. Kulihat orang itu pun terjatuh dari sepeda. Aku meringis kesakitan ketika tersadar jika aku mendarat dengan kedua telapak tanganku.
“Ah, maafkan aku. Aku baru saja berbelok dan benar-benar tidak melihatmu di sana,” anak laki-laki itu menghampiriku dan membantuku untuk duduk.
“Tidak apa-apa, aku yang salah. Aku sedang melamun tadi,” sahutku.
“Apa kau terluka? Astaga, banyak sekali darahnya.”
Akupun menyadari jika kepalaku tetap terbentur aspal walau aku sudah menahannya. Kepalaku terasa sakit sekali dan aku dapat merasakan kedua lututku sangat perih. Rasa mengantukku pun jadi hilang.
“Gunakan ini untuk menahan darah yang keluar dari kepalamu,” anak itu memberikanku sebuah sapu tangan.
Aku mengambilnya dan menekan luka di kepalaku, “Terima kasih, apa kau terluka?”
“Tidak, tidak. Aku baik-baik saja,” dia mengeluarkan botol minuman dari tasnya.
Aku melihat wajahnya dengan susah payah dan menyadari ternyata dia mengenakan seragam yang sama dengan seragam sekolahku.
“Apa kau bersekolah di SMA yang berada di ujung jalan itu?” tanyaku.
“Ya, aku bersekolah di sana. Minumlah ini, aku baru membelinya, kok,” anak itu menyodorkan botol yang tadi dia keluarkan.
Aku menerima botol itu kemudian meminumnya, “Terima kasih.”
“Ah, aku baru menyadarinya. Apa kau juga bersekolah di sana?” tanya anak itu.
“Ya, sepertinya kita akan terlambat,” ujarku.
Mungkin karena kepalaku terluka, tiba-tiba kepalaku terasa pusing sekali. Seluruh tubuhku melemas dan pandanganku mulai buram. Tapi, mengapa aku juga merasa mual? Ini bukan karena luka di kepalaku. Sebelumnya, aku masih baik-baik saja walau habis terbentur aspal dengan kencang. Seluruh tubuhku merinding ketika mengingat minuman yang tadi kuminum. Aku berusaha melihat kearah anak tadi dan dia hanya menatapku dengan wajah datar. Sekolah yang sama, namun wajahnya sangat asing. Tidak mungkin...
“Kau...”
Sebelum aku dapat menyelesaikan kalimatku, aku kembali tergeletak di aspal dan tidak dapat menggerakkan tubuhku. Sial, aku tidak pernah menduganya. Sial, sial! Sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaranku, aku dapat mendengar suara anak itu.
“Tidur yang nyenyak, Ester.”
=====================================================================
“Saya minta maaf atas keterlambatan saya untuk menyerahkan laporan wajib bulan ini, Tuan Oliver,” aku membungkuk hormat pada orang di hadapanku.
“Saya tidak terkejut jika kalian terlambat melaporkannya, tapi mengapa bukan Pangeran Alexander yang mengantarnya?” tanya Tuan Oliver.
Aku menegakkan tubuhku, “Saya juga ingin minta maaf mengenai hal itu, dia pergi pagi-pagi sekali karena ada urusan mendesak.”
“Begitu, ya. Sepertinya, akhir-akhir ini kalian sedang mengalami kesulitan, ya?” Tuan Oliver menyimpan berkas yang kuberikan ke dalam tasnya.
Aku sedikit tersentak namun tetap menjaga senyumku, “Bagaimana Anda bisa tahu?”
“Kedua matamu itu tidak terlihat sehat dan tidak biasanya Pangeran Alexander pergi tanpa memberitahu jika yang akan menggantikannya adalah Anda,” Tuan Oliver tersenyum.
Aku merasa sedikit malu mendengarnya. Sepertinya, kedua mataku menjadi bengkak karena menangis semalam. Alasan keterlambatan pengiriman laporan ini pun karena aku yang baru menyelesaikannya tadi pagi. Aku juga tidak akan pernah tahu kalau Alex meninggalkan markas, jika Vionne tidak cukup berani untuk mendobrak pintu kantornya dan mendapati Alex tidak ada di dalamnya. Kepergiannya yang sangat mendadak berhasil membuatku kesal sekaligus khawatir. Disaat-saat seperti ini dia malah menghilang, sebenarnya anak itu pergi kemana?
“Yah, apapun itu, kuharap kalian bisa menyelesaikannya,” Tuan Oliver beranjak dari tempat duduknya.
“Semoga harimu menyenangkan, Tuan Oliver,” aku membungkuk lagi dan menunggu hingga Tuan Oliver pergi.
Aku menegakkan tubuhku dan menatap dua buah cangkir berisi teh yang keduanya belum tersentuh sama sekali. Aku mulai memikirkan kemungkinan tempat yang dikunjungi Alex tiap kali dia menghilang tiba-tiba seperti ini. Tembok perbatasan, rumah Vionne, kamar rahasiaku, dan sekolah Ester... Aku tidak menerima laporan apapun tentang masalah di perbatasan, Vionne juga tidak tahu tentang keberadaannya, seharian kemarin aku berada di kamar rahasiaku dan tidak bertemu siapapun di sana, apa mungkin di sekolah Ester?
“Walaupun penjaga perbatasan sudah kehilangan kepercayaannya padamu, namun kau masih suka bermain-main ke bumi, ya?” gumamku.
Baru saja aku ingin berangkat menuju sekolah Ester, tiba-tiba aku dapat mendengar suara Leon dan derap kaki yang mengarah ke ruanganku. Pintu perpustakaan terbuka dan Leon memasuki ruangan bersama Minty. Dari ekspresi mereka berdua, aku tahu jika sesuatu telah terjadi.
“Karrie, Ester!” seru Leon.