LOTUS

Misseri. cek bio
Chapter #12

Chapter 11 : "Who's The Real Culprit Now?"

Aku melangkahkan kakiku menjauhi ruangan tempat Ester berada. Tempat ini sangat sunyi dan gelap, hanya ada beberapa permata air yang terletak saling berjauhan. Aku menghela napasku. Tentu saja, penculiknya sudah pasti berelemen air. Ester mungkin tidak menyadarinya karena terlalu gelap, tapi seluruh tempat ini benar-benar terbuat dari es. Hal ini membuatku kembali teringat dengan perkataan Alex tadi.

“Terdapat beberapa jarum es yang menusuk tubuhnya, dia meninggal karena kehabisan darah.”

Aku mengepal kedua tanganku dengan erat sesampainya aku di luar. Masih melekat di ingatanku akan keadaan Ester yang sangat menyedihkan, namun aku tidak bisa melepaskan dia atau dia akan mencegahku untuk menjalankan rencana ini. Alex juga sudah mengingatkan jika ada kemungkinan Ester akan menghajarku demi menggagalkan rencana ini. Ya, Alex yang menyuruhku untuk mendatangi penyihir itu menggantikan Ester. Dia berkata akan mengumpulkan anggota dewan dan menyiapkan jebakan, namun aku khawatir jika rencana itu tidak akan berjalan dengan baik. Mengingat orang itu berhasil menculik Ester dan membunuh Tuan Avyanne, aku sangat yakin dia memiliki banyak pengalaman dalam hal seperti itu.

“Sekarang aku mengerti mengapa Alex selalu menyamakanku dengan Ester,” gumamku.

Aku menghela napas panjang sebelum berteleportasi menuju Hutan Abanite. Alex memberitahuku bahwa dia menduga penyihir itu masih berada di sana karena untuk keluar dari Hutan Abanite bukanlah suatu hal yang mudah. Hutan Abanite memiliki pohon-pohon yang menjulang tinggi dan suasana hutan yang sedikit gelap karena kurangnya cahaya matahari yang masuk ke dalam hutan. Hutan ini terletak di sebelah utara benua timur, dekat dengan samudera perbatasan benua.

Sesampainya di sana, aku menarik napas dalam-dalam seraya memejamkan mataku. Aku mengaktifkan Heyr dan menggunakan tiga puluh persen sihirku untuk menemukan orang itu. Aku menemukan beberapa frekuensi yang sangat tenang di dalam hutan. Beberapa hewan yang dapat mendeteksi jalan keluar memang sering berlalu-lalang di dalam hutan ini karena banyaknya sumber makanan. Diantara frekuensi itu, aku menemukan satu frekuensi yang sangat mirip dengan detak jantung manusia, namun frekuensi itu terasa sangat tenang.

“Seperti sedang tertidur,” gumamku.

Aku membuka mataku dan berlari memasuki hutan. Berdasarkan perkataan Alex, aku berasumsi bahwa orang itu tengah beristirahat setelah bertarung melawan Alex. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk sampai di dekat lokasi orang itu berada. Dari jarak lima meter, aku dapat melihat seorang pria dengan seragam sekolah yang sama dengan Leon tengah terduduk bersandar di sebuah pohon. Aku mencoba mengenali siapa orang itu, namun wajahnya tampak asing. Aku berusaha mengatur napasku yang memburu seraya berjalan mendekatinya. Tanpa sengaja aku menginjak sebuah ranting pohon hingga mengeluarkan bunyi yang cukup nyaring. Pria itu membuka matanya seiringan dengan aku yang buru-buru bersembunyi di balik pohon.

“Aku tahu kau ada di sana,” ujar pria itu.

Aku menatap tajam pada dedaunan kering di kakiku, “Lalu, apa yang akan kau lakukan?”

“Aku telah menunggumu,” sahutnya.

Aku membalikkan badanku dan menatap pria itu dari balik kegelapan. Pria itu tersenyum sinis.

“Aku tahu kau pasti bisa melarikan diri dari sana, tapi aku tidak menyangka kau akan menemuiku,” ujarnya.

“Mengapa kau melakukannya?” tanyaku.

“Apa?” pria itu mengangkat sebelah alisnya sambil tetap tersenyum, “Oh, maksudmu tentang mengurungmu dan rencana jahat yang kubuat selama ini?”

“Ya, tentang mengapa kau menyiksaku sampai sejauh ini,” ujarku.

“Maaf,” sahutnya.

Aku mengerutkan keningku, “Apa?”

Pria itu terdiam sejenak, “Dari awal, aku tidak ingin menyiksamu.”

“Apa yang kau bicarakan?”

“Aku hanya sedang menggunakanmu untuk membalaskan dendamku,” jelasnya.

Aku tersentak dan terdiam sejenak. Diam-diam aku menyalakan Heyr untuk melihat apakah dia sedang membual atau tidak.

“Dendam? Pada siapa?” tanyaku.

Pria itu menghela napasnya, “Seseorang telah merenggut nyawa dari orang yang paling kusayangi, aku hanya ingin membuat orang itu merasakan penderitaan yang sama yang telah kurasakan selama ini.”

Aku mengepal kedua tanganku, “Tapi, dari sekian banyak orang, mengapa harus aku yang menjadi korbannya?”

“Karena kau adalah orang yang tepat untuk memancingnya keluar. Rencana ini tidak bisa dijalankan jika bukan kau yang kutargetkan,” pria itu menatapku datar.

Apa maksudnya? Apakah artinya dia tidak sungguh-sungguh mengincar Ester? Apakah

Ester hanyalah sebuah umpan untuk pelaku yang dia sebut-sebut itu? Tapi, aku tidak bisa terima jika Ester menderita hanya karena perasaan dendam pria ini pada seseorang. Apapun alasannya, Ester tidak berhak menderita seperti ini!

Aku merasa bingung sekaligus terluka ketika menyadari bahwa semua hal yang dialami Ester dan kakaknya merupakan buah dari perbuatan seseorang. Mereka bahkan tidak melakukan apapun, tapi mereka terkena imbasnya. Sektika aku merasa sangat ingin bertemu dengan orang yang dimaksud pria ini.

“Siapa orang yang kau bicarakan itu?” tanyaku.

“Oh, ayolah,” pria itu meninggikan suaranya, “kita berdua tahu siapa pelakunya, Karrie.”

Aku terdiam. Bagaimana...

“Aku tahu kalau itu adalah kau?” tanya pria itu.

Aku tersadar dari keterkejutanku dan menatapnya curiga, “Bagaimana kau bisa tahu nama panggilanku?”

Nama ‘Karrie’ hanya diketahui oleh anggota 7 Dewan, aku tidak pernah menyebarkannya pada orang lain dan kami selalu merahasiakannya. Sebenarnya siapa pria ini?!

Pria itu berdecak seraya mengangkat ujung kiri bibirnya. Dia memalingkan wajahnya seraya menggeleng pelan.

“Aku akan memberitahumu jika kau berhasil mengalahkanku,” ujarnya.

Aku menghela napasku, “Kenapa aku harus repot-repot bertarung denganmu?”

Sekilas aku dapat melihat pria itu menyeringai, sedetik kemudian dia berlari dengan cepat kearahku. Aku tersentak dengan kecepatan berlarinya dan tidak sempat menghindar. Pria itu berhasil mencengkeram leherku dan mendorongku jauh ke belakang hingga punggungku membentur sebuah pohon dengan keras. Aku berusaha menjauhkan tangan pria itu dari leherku, namun cengkramannya sangat erat. Aku tidak bisa bernapas! Aku melihat tatapan pria itu yang sungguh menyeramkan dan yang lebih mengerikan lagi adalah dia tersenyum.

“Terkejut, ya?” tanyanya.

Aku tidak dapat merespon perkataannya karena aku kesulitan bernapas. Kekuatannya benar-benar mengerikan! Pria itu menurunkan tatapannya dan ekspresinya berubah begitu melihat kalungku. Dia menatap dingin pada kalungku dan mengambilnya dengan tangan kirinya. Dia melepaskan cengkramannya dan membiarkanku terjatuh karena lemas.

“Sepertinya kau akrab sekali dengan pemilik asli kalung ini,” ujarnya seraya melangkah mundur beberapa langkah.

Aku mengerutkan keningku dengan napas yang masih terengah-engah, “Kenapa? Tiba-tiba kau bertanya mengenai kalung itu.”

“Kenapa?” pria itu menatapku datar, “karena kalung ini milikku.”

Lihat selengkapnya