Louve "Serigala Betina"

Pebriyatna Atmadja
Chapter #11

Foret d'Eu

Waktu menunjukan pukul tujuh lebih tiga puluh malam, namun matahari masih bersinar terang meskipun nampak cahayanya sudah akan tenggelam di sisi barat. Udara menjadi agak dingin sementara angin terus berhembus membuat dedaunan terus berbisik bergesekan satu sama lain di atas kepalaku.

Aku harus sampai ke gudang bekas penyimpanan cidre apel itu. Hanya itu yang ada di pikiranku saat ini meskipun aku tidak tahu apa yang akan menimpaku nanti. Apakah Samuel benar-benar ada disana, apakah Mariah juga disana? aku sama sekali tidak memiliki gambaran apapun. Bisa berada di tengah hutan sendirian seperti ini saja tidak pernah aku pikirkan dalam hidupku.

“ZARIA!”

Suara teriakan seseorang tiba-tiba saja menyadarkanku dari lamunan.

“ZARIAAAA!”

Suara itu kini terdengar kembali.

“Nicholas?” gumamku, itu adalah teriakan Nicholas.

Aku mulai berlari mencari arah teriakan itu.

“SAKIT!” Kali ini suara wanita berteriak, aku bisa mengenalinya, itu adalah suara Zaria.

Aku berlari ke arah suara tadi datang. Menembus pepohonan dan berhenti ketika melihat Nicholas berlutut di depan pohon besar.

“Za... ria... ” suaraku tercekat seperti berhenti di tenggorokan, mataku terbelalak melihat pemandangan yang terjadi di hadapanku saat ini.

“Zaria... sayang... ” suara Nic gemetar seiring dengan tangisan.

Aku melihat Zaria melayang di udara, seperti ada tali atau sesuatu yang mengikat lehernya tetapi tidak terlihat.

Sesekali ia memberontak menggoyangkan tubuh dan kakinya namun tidak terjadi apa-apa hanya raut kesakitan yang nampak di wajahnya.

“Nic... ” aku mencoba menyadarkan Nicholas dari tangisannya. Ia sontak berbalik dan melihat ke arahku.

“Kanina!” Ia menyadari aku sedari tadi berdiri di belakangnya,

“Hutan ini terkutuk Kanina, ada sesuatu yang tidak beres disini!” ia mendekatiku dan berbicara dengan suara gemetar.

“Lihat itu, Zaria, aku sudah mencoba lompat dan menggapainya tetapi tidak bisa. Terlalu tinggi.” Ia menunjuk Zaria yang masih melayang dan terlihat kesakitan.

“Apa yang terjadi?” aku mencoba bertanya.

“Kami baru saja tiba di sini, kemudian aku melihat tanda pentagram terukir di pohon besar itu.” Ia menunjuk pohon besar yang ada dibalik tubuh Zaria.

“Aku memotretnya, kemudian Zaria menyentuh lambang ukiran pentagram itu, tidak sengaja jarinya tertusuk serat kayu yang menyembul keluar dari lambangnya, ia memekik kesakitan kemudian tiba-tiba saja angin menjadi bertiup sangat kencang dan sesuatu seperti mengikat Zaria melayang di udara.” Nic bercerita dengan nafas memburu.

Aku menelan salivaku sendiri melihat pemandangan tidak lazim ini, sesuatu yang bersifat gaib pasti benar-benar ada di tempat ini.

“Bagaimana kalau kau coba mengangkatku keatas pundakmu? Aku akan mencoba meraih Zaria untuk turun.” Aku memberikan ide.

“Baiklah, kita coba.” Nic menyetujui.

Aku segera melepas ranselku dan menuju ke arah Zaria, Nic berjongkok memberikan tanda, aku segera naik ke punggungnya.

“Hati-hati.” Nic mencoba memperingatkanku.

“Perlahan Nic, aku akan mencoba memegang kakinya.” Aku membalasnya.

“Sakiiiit... ” Zaria menangis masih menahan sakit.

“Zaria, aku mencoba meraih kakimu,” Aku dengan susah payah mencoba menggapainya, tinggi sekali, entah mengapa rasanya lebih tinggi dari penglihatanku.

“Bagaimana?” Nic bertanya sambil menahan beban tubuhku.

“Sulit, tinggi sekali, lebih tinggi dari perkiraanku.” Nafasku mulai memburu mencoba beberapa kali menggapai kaki Zaria namun gagal.

“Turun dulu Nic.” Aku meminta Nic, kasihan dia menahan beban tubuhku.

“Aneh sekali, ketika kita mencoba menggapainya entah mengapa menjadi begitu tinggi dan sulit.” Aku berbicara seketika Nic menurunkanku dari punggungnya.

“Aku bilang kan, hutan ini terkutuk, aku mencoba melompatpun rasanya sia-sia.” Nic menimpaliku.

“Tolong... ” Zaria masih menangis.

Nic memegang kepalanya kebingungan. Ia mulai menangis lagi melihat Zaria kesakitan di atas sana.

“LILITH!” Aku berteriak kesal.

“LILITH! Lepaskan temanku! ERECA! SIAPAPUN KALIAN! AKU DISINI!” Aku berteriak ke segala penjuru hutan.

Nic nampak kebingungan melihat kelakuanku.

“Kanina, kau kenapa?” Ia bertanya masih dalam kondisi menangis.

Lihat selengkapnya