"Kanina."
"Kanina, bangun."
"Kanina."
Aku membuka mata perlahan, mendengar seseorang memanggil namaku.
Aku baru sepenuhnya tersadar dari tidur kala Jo membangunkanku dengan suara pelan.
"Jo, pukul berapa ini?" aku bertanya sambil bangkit dari posisi tidur.
"Pukul lima sore, bagaimana keadaanmu, masih terasa mual?" Jo menatapku khawatir.
"Kita terlambat ke stasiun dong? aku sudah tidak mual."
"Tidak apa-apa, Claude sudah membelikan kita tiket online, jadi sampai di sana kita langsung menuju peron tidak perlu antri di loket lagi."
"Kenapa tidak membangunkanku pukul empat?"
"Aku tidak tega, kau mendengkur keras sekali, aku pikir kau kelelahan." Jo mengusap lenganku lembut.
"Kalau begitu ayo kita bergegas turun."
Aku mengambil ransel di sisi ranjang kemudian teringat akan paper bag yang aku bawa. Hampir saja aku lupa memberikan hadiah untuk Jo.
"Jo, sebentar, kau ingat janjiku memberimu hadiah?"
"Hah? Oh ketika ditelepon itu!"
"Ini untukmu." Aku menyodorkan hadiahnya kepada Jo.
"Apa isinya?" Jo bertanya keheranan.
"Buka di mobil saja, kita bisa terlambat." Aku menarik tangan Jo dan lekas keluar dari ruang kerja Claude.
Di lantai bawah, Claude sudah menunggu kami. Dengan segera kami semua memasuki mobilnya. Mobil melesat menuju stasiun dengan cepat.
"Wah! Cantik sekali!" Jo memekik, Claude dan aku sampai terkaget.
"Kanina! gaun ini terlalu cantik! serius kau benar-benar membelikan ini untukku?"
Aku melihat Claude tersenyum ke arah Jo yang duduk di kursi depan.
"Aku membelinya ketika berbelanja di Paris, aku suka desain dan warnanya tapi karena aku bingung untuk aku pakai kemana, jadi aku berikan saja untukmu." Aku menjawabnya dengan ekspresi bahagia.
"Merci beaucoup! Je t'aime!" Jo menengok ke belakang, Ia begitu sumringah memberiku kecupan jarak jauh.
"Jijik!" aku menjawabnya sambil tertawa.
"Aku iri dengan pertemanan wanita muda seperti kalian, seperti tidak ada batas." Claude tersenyum ke arah Jo dan melirik ku dari spion kemudi.
"Paman awas!" Tiba-tiba saja Jo berteriak.
Mobil bermanuver ke kiri, menghindari sesuatu di depan. Aku merasakan sedikit guncangan di kursi belakang.
"Ya Tuhan! Mengapa sore hari seperti ini rusa-rusa masih lewat?" Claude mulai mematikan mesin mobilnya.
Aku memastikan pandanganku ke kaca, aku melihat tiga ekor rusa besar bertanduk menghadang mobil kami.
"Tin... tin!" Claude menyalakan klakson mobil berusaha membuat rusa-rusa itu menepi dari tengah jalan.
Ketiga rusa itu tidak bergeming, masih memperhatikan mobil kami dengan seksama.
"Kenapa mereka tidak mau pergi?" tanya Jo ketakutan.
"Paman lihat itu!" Aku menunjuk papan penanda di sisi jalan yang menunjukan tanda rusa sering melintas.
"Sepertinya memang di sini daerah mereka melintas." sambungku.
Aku memperhatikan rusa-rusa itu mulai mengalihkan tatapan ke tengah hutan di sisi jalan yang kami lewati, satu sama lain terlihat tidak nyaman dan saling memekik dengan suara khas hewan yang ketakutan.
Kemudian ketiganya berlari masuk ke arah hutan yang berlawanan.
"Akhirnya mereka pergi." Claude menarik nafas lega.
"Paman apa itu?" Jo berkata pelan menunjuk ke arah hutan.
Kami spontan melihat kearah Jo menunjuk, aku melihat mata yang menyala dari balik rimbunnya semak-semak.
"Mungkin jaguar atau hyena atau jenis hewan buas lainnya." Claude menjawab sambil melihat sepasang mata yang menyala dari balik semak-semak.
"Paman ayo lekas pergi." Pintaku buru-buru, perasaanku entah mengapa menjadi tidak enak.
Claude kembali menyalakan mobil, mobil melesat membelah jalan di sisi hutan yang kami lewati. Lima belas menit kemudian kami tiba di stasiun Le Havre.
"Kita sudah sampai gadis-gadis." Claude melepas sabuk pengamannya dan membuka kunci mobil.
Kami keluar bersamaan.
"Paman, terima kasih banyak maaf sekali kami merepotkan." Aku mendekat ke arah Claude.
"Terima kasih banyak paman! Aku senang bisa berkunjung ke La Saison lagi." Jo menyambung menghampiri kami.
Claude membuka tangannya lebar, memeluk kami berdua.
"Aku senang kalian berkunjung, Jo salam untuk Ibumu dan Marie ya, ajaklah mereka kesini."
"Baik paman, akan aku sampaikan ke Ibu." Jo tersenyum.